LAPORAN SEMINAR INTERNASIONAL
”Optimalisasi
Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Mendukung Keamanan Pangan dan Kesehatan
Hewan Akuatik dalam Mengantisipasi Pemanasan Global”
Pembicara :
1.
Prof. Dato’ Dr. Sulaiman Md
Yassin, Rektor University Malaysia Terengganu
2. Prof. Dr. Mohd. Azmin
bin Ambak, Dekan Pasca Sarjana UMT
3. Prof. Dr. Sahala Hutabarat, M.Sc., Ketua
Pemberdayaan Sumberdaya Manusia, Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia
4. Ir. Budi Sugiati, MM., Ketua Karantina
Ikan Indonesia
5.
Ir. Haris Muhtadi, M.Sc.,
Shrimp Club Indonesia
(SCI)
6.
Dr. Ir. Hari Soeprapto, M.Agr.,
Dosen Fakultas Kedokteran Hewan, Jurusan Budidaya Perairan UNAIR
7.
Ir. Muharyadi, M.Sc.,
Departemen Riset Budidaya Perikanan Laut, Maros
8. Dr. Ir. Isdy Sulistyo, DEA., Dosen
Program Studi Perikanan, UNSOED
Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan
fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya
efek rumah kaca (greenhouse effect)
yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2),
metana (CH2), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi
matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan
kenaikan temperatur global termasuk Indonesia yang terjadi pada kisaran 1,5 –
4° Celcius pada akhir abad 21.
Pemanasan global
mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti
pelelehan es di kutub, kenaikan permukaan air laut, perluasan gurun pasir,
peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna
tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi
aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi
kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi sarana prasarana
seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara, (c) gangguan terhadap pemukiman
penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan rasio
kanker dan wabah penyakit dsb.
Oleh karena itu kita harus memikirkan dan
mengevaluasi bagaimana cara memprediksi masalah-masalah yang terjadi di masa
depan dan bagaimana meminimalisir masalah-masalah tersebut dengan efektif dan
ekonomis. Hal ini sangat penting untuk para petani, petambak dan pembudidaya,
serta aktivitas manusia lainnya.
Berdasarkan dari sudut
pandang akuakultur, pemanasan global mungkin sangat berbahaya dalam budidaya
ikan dan udang karena hal tersebut tidak dapat terprediksi perubahannya dalam
setiap negara. Beberapa negara mungkin dapat berubah menjadi sangat kering dan
beberapa negara yang lain dapat berubah menjadi sangat basah. Akibatnya,
beberapa parameter kualitas air seperti suhu, pH, alkalinitas total, ammonia
(NH3), and nitrit (NO2) mungkin berubah setiap harinya.
Sebagaimana kita ketahui
bahwa perbedaaan suhu minimum dan maksimum pada air yang tidak mengalir
(stagnant water) seperti kolam atau tambak seharusnya kurang dari 3°C. Fluktuasi
suhu perairan akan merubah fisiologi ikan yang dibudidaya seperti perubahan
metabolisme, sistem hormonal, kebutuhan akan pakan, dan kebutuhan akan oksigen.
Penigkatan suhu perairan
tambak akan meningkatkan aktivitas dan perkembangbiakan beberapa mikroorganisme
akuatik yang dapat menguraikan bahan-bahan organik lebih cepat dan akhirnya
akan menigkatkan konsentrasi ammonia dan nitrit pada perairan tambak. Jika hal
ini terjadi tetapi tidak diikuti dengan keberadaan mikroorganisme akuatik yang
lain seperti Nitrobacter spp. untuk
mengubah nitrit menjadi nitrat (NO3), maka ammonia dan nitrit akan
menjadi faktor penyebab stress pada udang.
Suhu perairan tambak
yang tinggi pada siang hari, akan menyebabkan peningkatan fotosintesis dari bentik
algae dan phytoplankton, jika pada perairan tersebut terdapat cukup nutrien (carbon,
nitrogen, dan phosphat). Namun, blooming dari produsen tingkat pertama (algae
dan phytoplankton) akan menjadi hal yang menakutkan pada malam hari, karena
mereka banyak menggunakan oksigen dalam perairan. Sehingga keberadaan oksigen
terlarut berada dalam kondisi di bawah ambang batas toleransi udang untuk dapat
bertahan hidup.
Kematian dari bentik
algae dan phytoplankton dalam perairan tambak yang kemudian bercampur dengan
sisa pakan akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi total organic matter (TOM)
dalam tambak, dan berkembangnya bakteri yang merugikan seperti Vibrio harveyi serta virus yang dapat
menyerang dengan mudah pada udang yang mengalami stress. Jadi kemunculan
penyakit yang disebabkan oleh virus pada udang kemungkinan merupakan efek dari
pemanasan global secara tidak langsung.
Oleh karena kemunculan
penyakit udang adalah akibat dari kondisi benur yang lemah, keberadaan mikroorganisme pathogen dalam perairan, dan
kondisi kualitas air yang buruk, maka jalan yang terbaik untuk meminimalisir
masalah tersebut adalah dengan menggunakan benur yang SPF (specific pathogen
free) dan mempertahankan kualitas air tambak pada kondisi yang optimal untuk
pertumbuhan dan kehidupan udang.
Disamping itu, seiring
dengan meningkatnya pergerakan dan transportasi ikan baik itu untuk perdagangan
domestik maupun untuk kegiatan ekspor impor, juga dapat memberikan efek negatif
dalam aktivitas budidaya baik secara langsung maupun tidak langsung. Efek
negatif tersebut adalah menyebarnya penyakit dari satu daerah ke daerah yang
lain atau dari satu negara ke negara yang lain. Pergerakan dan transportasi
produk perikanan untuk kegiatan ekspor impor bahkan dapat menyebarkan penyakit
ikan yang sebelumnya tidak ditemukan dalam satu negara. Dalam banyak kasus,
penyakit ikan yang berasal dari luar negeri dapat menyebabkan akibat yang fatal
bagi perkembangan akuakultur, antara lain dapat menyebabkan ikan mati dalam
waktu yang relatif singkat.
Oleh karena itu,
Indonesia membutuhkan strategi nasional yang massif yang dapat melawan masuknya
penyakit jenis baru atau penyakit yang belum diketahui penyebabnya dalam rangka
mencegah tersebarnya penyakit ikan dari satu daerah ke daerah yang lain dalam
teritorial Indonesia. Sistem ini dikerjakan oleh pemerintah melalui badan pusat
karantina ikan untuk mengontrol dan mengawasi status kesehatan ikan dan
melindunginya dari serangan penyakit yang berasal dari luar untuk mengamankan
produk akuakultur dan sumberdaya perikanan serta pergerakan dan transportasinya.
Indonesia selama ini berusaha untuk menjalankan sistem perlindungan yang
maksimal dalam mencegah masuknya segala bentuk penyakit seperti bagian dari
program biosecurity.
Indonesia telah
menemukan dan membuat daftar penyakit ikan yang dikarantina (PID) yaitu jenis
penyakit ikan yang belum pernah ditemukan di Indonesia atau yang telah ada di
Indonesia namun hanya pada daerah tertentu saja, dan penyakit tersebut
berpotensi dalam menimbulkan wabah penyakit pada ikan. Apabila PID telah
mewabah, maka hal ini akan menjadi masalah kesehatan yang serius yang akhirnya
berdampak pada penurunan yang sangat tajam dalam bidang ekonomi, mengingat perikanan
merupakan komoditas ekonomi yang sangat penting.
PID dibagi menjadi dua
kategori. Kategori pertama adalah PID kategori I, yaitu wabah dan penyakit ikan
yang tidak dapat dibasmi, dihilangkan dan diobati dengan berbagai macam teknik
dan metode. Kategori yang terakhir adalah PID kategori II, yaitu wabah dan penyakit
ikan yang telah dapat dibasmi, dihilangkan dan diobati dengan berbagai macam
teknik dan metode. Target utama dari pengendalian dan pengawasan penyakit adalah
yang termasuk dalam daftar PID baik itu kategori I maupun kategori II. Terdapat 53 jenis penyakit yang termasuk dalam PID. Daftar ke 53 penyakit tersebut disajikan
dalam tabel di bawah ini.
No.
|
Disease
|
Causative Agent/Organism
|
Category
|
VIRAL DISEASE
|
|||
1.
|
Channel
Catfish Virus Disease
|
Herpesvirus
ictaluri
|
I
|
2.
|
Spring
Viraemia of Carp Disease (SCV)
|
Rhabdovirus
carpio
|
I
|
3.
|
Infectious
Pancreatic Necrosis Disease (IPN)
|
Infectious
pancreatic necrosis virus (Birnavirus)
|
I
|
4.
|
Infectious
Haematopoeitic Necrosis Disease (IHN)
|
Infectious
haematopoeitic necrosis virus (Rhabdovirus)
|
I
|
5.
|
Infectious
Hypodemal and Haematopoietic Necrosis Disease (IHHND)
|
Infectious
hypodermal and haematopoietic necrosis virus (Parvovirus)
|
I
|
6.
|
Baculovirus
Penaei Disease
|
Baculovirus
penaei
|
I
|
7.
|
Monodon
Baculavirus Disease (MBVD)
|
Monodon
baculovirus
|
I
|
8.
|
Yellow
Head Disease
|
Yellow
head virus (Baculovirus)
|
I
|
9.
|
Taura
Syndrome Disease (TS)
|
Taura
syndrome (Picornavirus)
|
I
|
10.
|
White
Spot Disease
|
White
spot syndrome virus (Whispovirus)
|
I
|
11.
|
Red
Sea Bream Iridoviral Disease
|
Red sea
bream iridovirus
|
I
|
12.
|
Viral
Nervous Necrosis Disease (VNN)
|
Viral
nervous necrosis (Nodavirus)
Viral Encephalopathy
and retino pathy (VER)
|
I
|
13.
|
Koi
Herpesvirus Disease (KHV)
|
Koi
herpesvirus
|
I
|
14.
|
White
Tail Disease Disease (WTD)
|
Macrobrachium
rosenbergii nodavirus Extra small virus
|
I
|
15.
|
Infectious
Myonecrosis Disease (IMN)
|
Infectious
myonecrosis virus
|
I
|
|
|
|
|
BACTERIAL DISEASE
|
|||
16.
|
Furunculosis,
Carp erytrodermatitis Disease
|
Aeromonas
salmonicida
|
II
|
17.
|
Bacterial
Kidney Disease (BKD) Corynebacterial kidney disease
|
Renibacterium
salmoninarum
|
I
|
18.
|
Fish
Tuberculosis Disease
Fish
Mycobacteriosis Disease
|
Mycobacterium
marinum
Mycobacterium
chelonei,
Mycobacterium
fortuitum
|
II
|
19.
|
Nocardiosis,
Gill
tuberculosis Disease
|
Nocardia seriolae
Nocardia campachi
Nocardia asteroides
|
I
|
20.
|
Edwardsiellosis
Emphisematous
Putrefactive
Disease of Catfish (EPDC), Red
|
Edwardsiella
tarda
|
II
|
21.
|
Enteric
Septicaemia of Catfish Disease (ESC)
|
Edwardsiella
ictaluri
|
II
|
22.
|
Streptococcosis
Disease
|
Streptococcus
iniae
|
II
|
23.
|
Pasteurellosis,
Pseudo tuberculosis Disease
|
Pasteurella
piscicida
|
II
|
24.
|
Enteric
Red Mouth Disease (ERM)
Salmonid
bloodspot, Yersiniosis Disease
|
Yersinia
ruckeri
|
II
|
25.
|
Gaffkemia
Disease
|
Aerococcus
viridans var Homeri
|
I
|
26.
|
Red
Spot Disease
Sekiten-byo
|
Pseudomonas
anguilliseptica
|
I
|
|
|
|
|
PARASITICAL
DISEASE
|
|||
27.
|
Whirling
Disease
|
Myxobolus
cerebralis
|
I
|
28.
|
Pleistophorosis
Disease
|
Pleistophora
hyphessobrycon
|
I
|
29.
|
Pleistophorosis
Disease
|
Pleistophora
anguillarum
|
I
|
30.
|
Ceratomyxosis
Disease
|
Ceratomyxa
shasta
|
I
|
31.
|
Henneguyan
Disease
|
Henneguya
exillis
|
I
|
32.
|
Cotton
Shrimp Disease
|
Thelohania
duorara
|
I
|
33.
|
Cotton
Shrimp Disease
|
Thelohania
penaei
|
I
|
34.
|
Bonamiasis
Disease
Haemocyte
Disease of Dredge Oysters
Microcell
Disease
|
Bonamia
exitiosus
|
I
|
35.
|
Bonamiasis
Disease
|
Bonamia
ostreae
|
I
|
36.
|
Haplosporidiosis
|
Haplosporidium
costale
|
I
|
37.
|
Haplosporidiosis
Multinucleate
Sphere X
(MSX)
Disease
|
Haplosporidium
nelsonii
|
I
|
38.
|
Marteiliasis
Mussels Disease
|
Marteilia
refringens
|
I
|
39.
|
Marteiliosis
QX
Disease
|
Marteilia
sydneyii
|
I
|
40.
|
Perkinsiosis
Dermo Disease
Proliferatif Disease
|
Perkinsus
marinus
|
I
|
41.
|
Perkinsiosis
Disease
|
Perkinsus
atlanticus
|
I
|
42.
|
Perkinsiosis
Disease
|
Perkinsus
olseni
|
I
|
43.
|
Ergasiliosis
Disease
|
Ergasilus
sieboldi
|
II
|
44.
|
White
Tumor Disease
|
Nosema sp.
|
I
|
45.
|
Lytoceatosis
Disease
|
Lytoceatus
parvulus
|
II
|
46.
|
Paragonimiasis
Disease
|
Paragonimus
pulmonalis
|
II
|
47.
|
Mikrocytosis
Microcell
Disease
|
Mikrocytos
mackini
|
I
|
48.
|
Mikrocytosis
Australian
Winter Disease
Microcell
Disease of Sydney Rock Oysters
|
Mikrocytos
roughley
|
I
|
|
|
|
|
FUNGAL DISEASE
|
|||
49.
|
Sand
Paper Disease
Swinging
Disease
Ichthyoporosis
|
Ichthyophonus
hofferi
|
I
|
50.
|
Branchiomycosis
Disease
|
Branchiomyces
sanguinis
|
I
|
51.
|
Branchiomycosis
Disease
|
Branchiomyces
demigrans
|
I
|
52.
|
Amphanomycosis
Crayfish
Plaque Disease
|
Aphanomyces
astaci
|
I
|
53.
|
Epizootic
Ulcerative Syndrome Disease (EUS)
|
Aphanomyces
invadans
|
I
|
Hasil dari
monitoring yang dilakukan secara regular di Indonesia (dua kali dalam setahun
pada musim yang berbeda), bertujuan untuk mengawasi apakah daerah tersebut bebas
atau tidak dari jenis penyakit tertentu yang termasuk daftar PID. Dari kegiatan
tersebut, pusat karantina ikan dapat mengetahui bahwa terdapat jenis penyakit
tertentu yang tidak ditemukan di Indonesia , seperti yang ditampilkan
pada tabel di bawah ini.
|
VIRUS :
|
|
|
1
|
Herpesvirus Ictaluri Disease
|
2
|
Rhabdovirus carpio
Disease
|
3
|
Infectious pancreatic necrosis virus Disease (Birnavirus)
|
4
|
Infectious haematopoeitic necrosis virus Disease (Rhabdovirus)
|
5
|
Baculovirus penaei
Disease
|
6
|
Macrobrachium rosenbergii nodavirus Extra small virus Disease
|
|
|
|
BACTERIA :
|
|
|
1
|
Renibacterium salmoninarum Disease
|
2
|
Nocardia seriolae
Disease
|
3
|
Nocardia campachi
Disease
|
4
|
Nocardia asteroides
Disease
|
5
|
Aerococcus viridans var Homeri Disease
|
|
|
|
PARASITE :
|
|
|
1
|
Myxobolus cerebralis (Myxosoma) Disease
|
2
|
Pleistophora anguillarum Disease
|
3
|
Ceratomyxa shasta
Disease
|
4
|
Bonamia exitiosus Disease
|
5
|
Bonamia ostreae
Disease
|
6
|
Haplosporidium costale (Minchinia) Disease
|
7
|
Haplosporidium nelsonii (Minchinia) Disease
|
8
|
Marteilia refringens
Disease
|
9
|
Marteilia sydneyii
Disease
|
10
|
Mikrocytos mackini
Disease
|
11
|
Mikrocytos roughley
Disease
|
|
|
|
FUNGI :
|
|
|
1
|
Ichthyophonus hofferi
Disease
|
2
|
Branchiomyces sanguinis
Disease
|
3
|
Branchiomyces demigrans
Disease
|
Fakta bahwa terdapat penyakit yang masih belum ditemukan
di Indonesia ,
mengharuskan bahwa Indonesia
harus benar-benar waspada dalam mengantisipasi masuknya penyakit tersebut.
Boleh jadi penyakit-penyakit tersebut dapat muncul jika Indonesia
lengah dalam transportasi perdagangan ikan lintas negara.
Beberapa dari penyakit yang termasuk dalam daftar PID
ditemukan hanya pada beberapa daerah di Indonesia , dalam artian penyakit
tersebut belum belum menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Agar penyakit
tersebut tidak menyebar ke daerah yang lain , maka pusat karantina ikan
membutuhkan kerjasama yang sangat baik dari badan karantina ikan yang
ditempatkan di daerah-daerah yang tersebar di seluruh Indonesia untuk
mengawasi transportasi dan pergerakan produk perikanan domestik. Dengan adanya
kerjasama ini, penurunan pendapatan negara karena munculnya wabah penyakit ikan
dapat dihindari dan bebasnya habitat ikan yang dibudidaya dari ancaman penyakit
dapat terealisasi.
KESIMPULAN
Pemanasan global akan mengubah iklim menjadi tidak menentu,
tetapi hal ini masih dapat diprediksi. Cara yang terbaik yang harus dilakukan
adalah dengan memperkecil masalah yang akan muncul di masa depan. Bagi para pembudidaya
udang, untuk menekan efek dari pemanasan global, mereka harus mengikuti sistem
manajemen yang benar dalam budidaya udang. Salah satunya adalah dengan
menerapkan biosecurity untuk mencegah masuknya penyakit dari mikroorganisme patogen
yang mungkin masuk ke dalam areal budidaya dan mencegah menyebarnya penyakit ke
lingkungan sekitar.
Oleh karena munculnya penyakit pada udang adalah hasil
dari hubungan timbal balik dari lemahnya kondisi udang, keberadaan mikroorganisme
patogen, dan jeleknya kualitas air, maka jalan yang terbaik untuk meminimalisir
masalah penyakit pada udang adalah dengan menggunakan udang yang SPF (specific
pathogen free) serta mempertahankan kualitas air pada kondisi yang optimal bagi
kehidupan udang.
Untuk menjaga suhu perairan tambak dari luasnya
fluktuasi suhu harian, kita dapat menggunakan petak yang lebih dalam. Karena petak
tambak yang dalam lebih mampu mempertahankan suhu perairan pada kondisi yang
stabil, daripada petak yang dangkal. Kapur dan dolomite juga dapat digunakan
untuk mempertahankan suhu perairan pada tambak.
Apabila warna air
pada petak tambak berubah setiap harinya, yaitu kuning pada pagi hari, hijau
pada siang hari dan biru pada sore hari, menandakan alkalinitas total pada
perairan tambak relatif rendah. Rendahnya alkalinitas total dalam perairan
dapat menyebabkan fluktuasi pH yang tidak terkontrol. Untuk mencegah terjadinya
hal tersebut, maka pemberian dolomite secara periodik dapat dilakukan untuk
membantu mempertahankan pH perairan pada tambak.
Jika konsentrasi amonia dan nitrit pada perairan tambak
meningkat, bakteri jenis tertentu seperti Nitrobacter
spp. dapat ditambahkan pada tambak. Penambahan aerator atau kincir air juga
sangat penting untuk mempercepat proses perubahan amonia dan nitrit menjadi
nitrat.
0 reflection:
Post a Comment