Monday, August 04, 2008

Global Warming

LAPORAN SEMINAR INTERNASIONAL
”Optimalisasi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Mendukung Keamanan Pangan dan Kesehatan Hewan Akuatik dalam Mengantisipasi Pemanasan Global”



Pembicara                                :
1.      Prof. Dato’ Dr. Sulaiman Md Yassin, Rektor University Malaysia Terengganu
2.      Prof. Dr. Mohd. Azmin bin Ambak, Dekan Pasca Sarjana UMT
3.      Prof. Dr. Sahala Hutabarat, M.Sc., Ketua Pemberdayaan Sumberdaya Manusia, Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia
4.      Ir. Budi Sugiati, MM., Ketua Karantina Ikan Indonesia
5.      Ir. Haris Muhtadi, M.Sc., Shrimp Club Indonesia (SCI)
6.      Dr. Ir. Hari Soeprapto, M.Agr., Dosen Fakultas Kedokteran Hewan, Jurusan Budidaya Perairan UNAIR
7.      Ir. Muharyadi, M.Sc., Departemen Riset Budidaya Perikanan Laut, Maros
8.      Dr. Ir. Isdy Sulistyo, DEA., Dosen Program Studi Perikanan, UNSOED













Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH2), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global termasuk Indonesia yang terjadi pada kisaran 1,5 – 4° Celcius pada akhir abad 21.
Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan permukaan air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi sarana prasarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara, (c) gangguan terhadap pemukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan rasio kanker dan wabah penyakit dsb.
 Oleh karena itu kita harus memikirkan dan mengevaluasi bagaimana cara memprediksi masalah-masalah yang terjadi di masa depan dan bagaimana meminimalisir masalah-masalah tersebut dengan efektif dan ekonomis. Hal ini sangat penting untuk para petani, petambak dan pembudidaya, serta aktivitas manusia lainnya.
Berdasarkan dari sudut pandang akuakultur, pemanasan global mungkin sangat berbahaya dalam budidaya ikan dan udang karena hal tersebut tidak dapat terprediksi perubahannya dalam setiap negara. Beberapa negara mungkin dapat berubah menjadi sangat kering dan beberapa negara yang lain dapat berubah menjadi sangat basah. Akibatnya, beberapa parameter kualitas air seperti suhu, pH, alkalinitas total, ammonia (NH3), and nitrit (NO2) mungkin berubah setiap harinya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa perbedaaan suhu minimum dan maksimum pada air yang tidak mengalir (stagnant water) seperti kolam atau tambak seharusnya kurang dari 3°C. Fluktuasi suhu perairan akan merubah fisiologi ikan yang dibudidaya seperti perubahan metabolisme, sistem hormonal, kebutuhan akan pakan, dan kebutuhan akan oksigen.
Penigkatan suhu perairan tambak akan meningkatkan aktivitas dan perkembangbiakan beberapa mikroorganisme akuatik yang dapat menguraikan bahan-bahan organik lebih cepat dan akhirnya akan menigkatkan konsentrasi ammonia dan nitrit pada perairan tambak. Jika hal ini terjadi tetapi tidak diikuti dengan keberadaan mikroorganisme akuatik yang lain seperti Nitrobacter spp. untuk mengubah nitrit menjadi nitrat (NO3), maka ammonia dan nitrit akan menjadi faktor penyebab stress pada udang.
Suhu perairan tambak yang tinggi pada siang hari, akan menyebabkan peningkatan fotosintesis dari bentik algae dan phytoplankton, jika pada perairan tersebut terdapat cukup nutrien (carbon, nitrogen, dan phosphat). Namun, blooming dari produsen tingkat pertama (algae dan phytoplankton) akan menjadi hal yang menakutkan pada malam hari, karena mereka banyak menggunakan oksigen dalam perairan. Sehingga keberadaan oksigen terlarut berada dalam kondisi di bawah ambang batas toleransi udang untuk dapat bertahan hidup.
Kematian dari bentik algae dan phytoplankton dalam perairan tambak yang kemudian bercampur dengan sisa pakan akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi total organic matter (TOM) dalam tambak, dan berkembangnya bakteri yang merugikan seperti Vibrio harveyi serta virus yang dapat menyerang dengan mudah pada udang yang mengalami stress. Jadi kemunculan penyakit yang disebabkan oleh virus pada udang kemungkinan merupakan efek dari pemanasan global secara tidak langsung.
Oleh karena kemunculan penyakit udang adalah akibat dari kondisi benur yang lemah, keberadaan  mikroorganisme pathogen dalam perairan, dan kondisi kualitas air yang buruk, maka jalan yang terbaik untuk meminimalisir masalah tersebut adalah dengan menggunakan benur yang SPF (specific pathogen free) dan mempertahankan kualitas air tambak pada kondisi yang optimal untuk pertumbuhan dan kehidupan udang.
Disamping itu, seiring dengan meningkatnya pergerakan dan transportasi ikan baik itu untuk perdagangan domestik maupun untuk kegiatan ekspor impor, juga dapat memberikan efek negatif dalam aktivitas budidaya baik secara langsung maupun tidak langsung. Efek negatif tersebut adalah menyebarnya penyakit dari satu daerah ke daerah yang lain atau dari satu negara ke negara yang lain. Pergerakan dan transportasi produk perikanan untuk kegiatan ekspor impor bahkan dapat menyebarkan penyakit ikan yang sebelumnya tidak ditemukan dalam satu negara. Dalam banyak kasus, penyakit ikan yang berasal dari luar negeri dapat menyebabkan akibat yang fatal bagi perkembangan akuakultur, antara lain dapat menyebabkan ikan mati dalam waktu yang relatif singkat.
Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan strategi nasional yang massif yang dapat melawan masuknya penyakit jenis baru atau penyakit yang belum diketahui penyebabnya dalam rangka mencegah tersebarnya penyakit ikan dari satu daerah ke daerah yang lain dalam teritorial Indonesia. Sistem ini dikerjakan oleh pemerintah melalui badan pusat karantina ikan untuk mengontrol dan mengawasi status kesehatan ikan dan melindunginya dari serangan penyakit yang berasal dari luar untuk mengamankan produk akuakultur dan sumberdaya perikanan serta pergerakan dan transportasinya. Indonesia selama ini berusaha untuk menjalankan sistem perlindungan yang maksimal dalam mencegah masuknya segala bentuk penyakit seperti bagian dari program biosecurity.
Indonesia telah menemukan dan membuat daftar penyakit ikan yang dikarantina (PID) yaitu jenis penyakit ikan yang belum pernah ditemukan di Indonesia atau yang telah ada di Indonesia namun hanya pada daerah tertentu saja, dan penyakit tersebut berpotensi dalam menimbulkan wabah penyakit pada ikan. Apabila PID telah mewabah, maka hal ini akan menjadi masalah kesehatan yang serius yang akhirnya berdampak pada penurunan yang sangat tajam dalam bidang ekonomi, mengingat perikanan merupakan komoditas ekonomi yang sangat penting.
PID dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah PID kategori I, yaitu wabah dan penyakit ikan yang tidak dapat dibasmi, dihilangkan dan diobati dengan berbagai macam teknik dan metode. Kategori yang terakhir adalah PID kategori II, yaitu wabah dan penyakit ikan yang telah dapat dibasmi, dihilangkan dan diobati dengan berbagai macam teknik dan metode. Target utama dari pengendalian dan pengawasan penyakit adalah yang termasuk dalam daftar PID baik itu kategori I maupun kategori II. Terdapat 53 jenis penyakit yang termasuk dalam PID. Daftar ke 53 penyakit tersebut disajikan dalam tabel di bawah ini.
No.
Disease
Causative Agent/Organism
Category
VIRAL DISEASE
1.
Channel Catfish Virus Disease
Herpesvirus ictaluri
I
2.
Spring Viraemia of Carp Disease (SCV)
Rhabdovirus carpio
I
3.
Infectious Pancreatic Necrosis Disease (IPN)
Infectious pancreatic necrosis virus (Birnavirus)
I
4.
Infectious Haematopoeitic Necrosis Disease (IHN)
Infectious haematopoeitic necrosis virus (Rhabdovirus)
I
5.
Infectious Hypodemal and Haematopoietic Necrosis Disease (IHHND)
Infectious hypodermal and haematopoietic necrosis virus (Parvovirus)
I
6.
Baculovirus Penaei Disease
Baculovirus penaei
I
7.
Monodon Baculavirus Disease (MBVD)
Monodon baculovirus
I
8.
Yellow Head Disease
Yellow head virus (Baculovirus)
I
9.
Taura Syndrome Disease (TS)
Taura syndrome (Picornavirus)
I
10.
White Spot Disease
White spot syndrome virus (Whispovirus)
I
11.
Red Sea Bream Iridoviral Disease
Red sea bream iridovirus
I
12.
Viral Nervous Necrosis Disease (VNN)
Viral nervous necrosis (Nodavirus)
Viral Encephalopathy and retino pathy (VER)
I
13.
Koi Herpesvirus Disease (KHV)
Koi herpesvirus
I
14.
White Tail Disease Disease (WTD)
Macrobrachium rosenbergii nodavirus Extra small virus
I
15.
Infectious Myonecrosis Disease (IMN)
Infectious myonecrosis virus
I




BACTERIAL DISEASE
16.
Furunculosis, Carp erytrodermatitis Disease
Aeromonas salmonicida
II
17.
Bacterial Kidney Disease (BKD) Corynebacterial kidney disease Dee disease
Renibacterium salmoninarum
I
18.
Fish Tuberculosis Disease
Fish Mycobacteriosis Disease
Mycobacterium marinum
Mycobacterium chelonei,
Mycobacterium fortuitum
II
19.
Nocardiosis,
Gill tuberculosis Disease
Nocardia seriolae
Nocardia campachi
Nocardia asteroides
I
20.
Edwardsiellosis
Emphisematous
Putrefactive Disease of Catfish (EPDC), Red Pest Disease
Edwardsiella tarda
II
21.
Enteric Septicaemia of Catfish Disease (ESC)
Edwardsiella ictaluri
II
22.
Streptococcosis Disease
Streptococcus iniae
II
23.
Pasteurellosis, Pseudo tuberculosis Disease
Pasteurella piscicida
II
24.
Enteric Red Mouth Disease (ERM)
Salmonid bloodspot, Yersiniosis Disease
Yersinia ruckeri
II
25.
Gaffkemia Disease
Aerococcus viridans var Homeri
I
26.
Red Spot Disease
Sekiten-byo
Pseudomonas anguilliseptica
I




PARASITICAL DISEASE
27.
Whirling Disease
Myxobolus cerebralis
I
28.
Pleistophorosis Disease
Pleistophora hyphessobrycon
I
29.
Pleistophorosis Disease
Pleistophora anguillarum
I
30.
Ceratomyxosis Disease
Ceratomyxa shasta
I
31.
Henneguyan Disease
Henneguya exillis
I
32.
Cotton Shrimp Disease
Thelohania duorara
I
33.
Cotton Shrimp Disease
Thelohania penaei
I
34.
Bonamiasis Disease
Haemocyte Disease of Dredge Oysters
Microcell Disease
Bonamia exitiosus
I
35.
Bonamiasis Disease
Bonamia ostreae
I
36.
Haplosporidiosis
Seaside Organism Disease (SSO)
Haplosporidium costale
I
37.
Haplosporidiosis
Multinucleate Sphere X
(MSX) Disease
Haplosporidium nelsonii
I
38.
Marteiliasis Mussels Disease
Marteilia refringens
I
39.
Marteiliosis
QX Disease
Marteilia sydneyii
I
40.
Perkinsiosis
Dermo Disease
Proliferatif Disease
Perkinsus marinus
I
41.
Perkinsiosis Disease
Perkinsus atlanticus
I
42.
Perkinsiosis Disease
Perkinsus olseni
I
43.
Ergasiliosis Disease
Ergasilus sieboldi
II
44.
White Tumor Disease
Nosema sp.
I
45.
Lytoceatosis Disease
Lytoceatus parvulus
II
46.
Paragonimiasis Disease
Paragonimus pulmonalis
II
47.
Mikrocytosis
Denman Island Disease
Microcell Disease
Mikrocytos mackini
I
48.
Mikrocytosis
Australian Winter Disease
Microcell Disease of Sydney Rock Oysters
Mikrocytos roughley
I




FUNGAL DISEASE
49.
Sand Paper Disease
Swinging Disease
Ichthyoporosis
Ichthyophonus hofferi
I
50.
Branchiomycosis Disease
Branchiomyces sanguinis
I
51.
Branchiomycosis Disease
Branchiomyces demigrans
I
52.
Amphanomycosis
Crayfish Plaque Disease
Aphanomyces astaci
I
53.
Epizootic Ulcerative Syndrome Disease (EUS)
Aphanomyces invadans
I

          Hasil dari monitoring yang dilakukan secara regular di Indonesia (dua kali dalam setahun pada musim yang berbeda), bertujuan untuk mengawasi apakah daerah tersebut bebas atau tidak dari jenis penyakit tertentu yang termasuk daftar PID. Dari kegiatan tersebut, pusat karantina ikan dapat mengetahui bahwa terdapat jenis penyakit tertentu yang tidak ditemukan di Indonesia, seperti yang ditampilkan pada tabel di bawah ini.

VIRUS :


1
Herpesvirus Ictaluri Disease
2
Rhabdovirus carpio Disease
3
Infectious pancreatic necrosis virus Disease (Birnavirus)
4
Infectious haematopoeitic necrosis virus Disease (Rhabdovirus)
5
Baculovirus penaei Disease
6
Macrobrachium rosenbergii nodavirus Extra small virus Disease



 BACTERIA :


1
Renibacterium salmoninarum Disease
2
Nocardia seriolae Disease
3
Nocardia campachi Disease
4
Nocardia asteroides Disease
5
Aerococcus viridans var Homeri Disease



PARASITE :


1
Myxobolus cerebralis (Myxosoma) Disease
2
Pleistophora anguillarum Disease
3
Ceratomyxa shasta Disease
4
Bonamia exitiosus Disease
5
Bonamia ostreae Disease
6
Haplosporidium costale (Minchinia) Disease
7
Haplosporidium nelsonii (Minchinia) Disease
8
Marteilia refringens Disease
9
Marteilia sydneyii Disease
10
Mikrocytos mackini Disease
11
Mikrocytos roughley Disease



FUNGI :


1
Ichthyophonus hofferi Disease
2
Branchiomyces sanguinis Disease
3
Branchiomyces demigrans Disease

Fakta bahwa terdapat penyakit yang masih belum ditemukan di Indonesia, mengharuskan bahwa Indonesia harus benar-benar waspada dalam mengantisipasi masuknya penyakit tersebut. Boleh jadi penyakit-penyakit tersebut dapat muncul jika Indonesia lengah dalam transportasi perdagangan ikan lintas negara.
Beberapa dari penyakit yang termasuk dalam daftar PID ditemukan hanya pada beberapa daerah di Indonesia, dalam artian penyakit tersebut belum belum menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Agar penyakit tersebut tidak menyebar ke daerah yang lain , maka pusat karantina ikan membutuhkan kerjasama yang sangat baik dari badan karantina ikan yang ditempatkan di daerah-daerah yang tersebar di seluruh Indonesia untuk mengawasi transportasi dan pergerakan produk perikanan domestik. Dengan adanya kerjasama ini, penurunan pendapatan negara karena munculnya wabah penyakit ikan dapat dihindari dan bebasnya habitat ikan yang dibudidaya dari ancaman penyakit dapat terealisasi.

KESIMPULAN
Pemanasan global akan mengubah iklim menjadi tidak menentu, tetapi hal ini masih dapat diprediksi. Cara yang terbaik yang harus dilakukan adalah dengan memperkecil masalah yang akan muncul di masa depan. Bagi para pembudidaya udang, untuk menekan efek dari pemanasan global, mereka harus mengikuti sistem manajemen yang benar dalam budidaya udang. Salah satunya adalah dengan menerapkan biosecurity untuk mencegah masuknya penyakit dari mikroorganisme patogen yang mungkin masuk ke dalam areal budidaya dan mencegah menyebarnya penyakit ke lingkungan sekitar.
Oleh karena munculnya penyakit pada udang adalah hasil dari hubungan timbal balik dari lemahnya kondisi udang, keberadaan mikroorganisme patogen, dan jeleknya kualitas air, maka jalan yang terbaik untuk meminimalisir masalah penyakit pada udang adalah dengan menggunakan udang yang SPF (specific pathogen free) serta mempertahankan kualitas air pada kondisi yang optimal bagi kehidupan udang.
Untuk menjaga suhu perairan tambak dari luasnya fluktuasi suhu harian, kita dapat menggunakan petak yang lebih dalam. Karena petak tambak yang dalam lebih mampu mempertahankan suhu perairan pada kondisi yang stabil, daripada petak yang dangkal. Kapur dan dolomite juga dapat digunakan untuk mempertahankan suhu perairan pada tambak.
            Apabila warna air pada petak tambak berubah setiap harinya, yaitu kuning pada pagi hari, hijau pada siang hari dan biru pada sore hari, menandakan alkalinitas total pada perairan tambak relatif rendah. Rendahnya alkalinitas total dalam perairan dapat menyebabkan fluktuasi pH yang tidak terkontrol. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, maka pemberian dolomite secara periodik dapat dilakukan untuk membantu mempertahankan pH perairan pada tambak.
Jika konsentrasi amonia dan nitrit pada perairan tambak meningkat, bakteri jenis tertentu seperti Nitrobacter spp. dapat ditambahkan pada tambak. Penambahan aerator atau kincir air juga sangat penting untuk mempercepat proses perubahan amonia dan nitrit menjadi nitrat.
           
signature

0 reflection:

Post a Comment