Showing posts with label Perikanan. Show all posts
Showing posts with label Perikanan. Show all posts

Wednesday, August 01, 2012

Aeration

Olievera et al (1998) said  a  schematic  view  of  a  sub-surface  aeration  tank  is  presented  in  Figure  1.  The  aeration  gas  is  introduced through  diffusers  located near the bottom of the tank,  where  it  is introduced  into  the  liquid. The  diffused  gas bubbles  flow upwards,  through  the  liquid,  towards  the  tank  surface.  Gas  bubbling  produces  effective motion  and mixing of the  liquid.  It also produces  a  turbulent  liquid  surface.  Two mass  transfer  regions  can  be  distinguished,  (i)  the  turbulent  surface,  where  oxygen  transfer  occurs  between  the  liquid surface and  the atmosphere,  and  (ii) the gas bubble  dispersion zone,  located under  the liquid surface.


The gas bubble dispersion zone accounts for the majority of the mass transfer in diffused air and sub-surface mechanical aeration systems. There  is good agitation and  mixing of the  liquid phase due  to action of  the gas bubbles and/or a mechanical mixing device. Thus,  it is assumed that the liquid in the tank is perfectly mixed,  i.e.,  the  liquid composition is uniform  at any instant in  time.  It  is also assumed  plug flow of the gas bubbles, oxygen transfer rates controlled by the liquid phase,  and negligible mass transfer of gases other than oxygen.

An alternative to plug flow within a raceway is to create a completely mixed (horizontally and vertically) tank by installing a water inlet and outlet manifold along the long axis of the tank. As seen in Figure 4, water enters uniformly along the bottom of one side of the raceway and is removed along the other side. Water must enter at a high enough velocity to create a rotational flow along the short axis of the raceway (Fig. 2). The solids will move across the bottom of the raceway and into the effluent manifold. Another method of dealing with settleable solids is to keep them in suspension with continuous agitation until they enter an external settling tank. In settling tanks (or basins), water flow is very slow so that solids settle out by gravity. Settling tanks may or may not include tube or lamella sedimen- tation material. This material is constructed with bundles of tubes or plates, set at specific angles to the horizontal (usually 60o), that reduce both the settling distance and circulation within the settling tank. Using settling plates reduces the size requirement of a settling basin, thus saving space within a facility. However, the plates make routine cleaning of settling basins more time-consuming.


signature

Wednesday, March 17, 2010

Lomba : Rumput Laut

Rencana Usaha Budidaya Rumput Laut di Belitung Timur
I.       Pendahuluan
A.  Latar Belakang
Rumput laut merupakan salah satu sumberdaya perikanan pesisir yang memiliki nilai ekonomis penting. Di Indonesia, jenis-jenis rumput laut yang mempunyai nilai ekonomis adalah Euchema spp., Gracilaria spp., Gelidium spp., Sargassum spp., dan Turbinaria spp. Dari jenis tersebut yang telah dibudidayakan adalah jenis Euchema spp dan Gracilaria spp. Euchema spp dibudidayakan di perairan pantai/laut, sedangkan Gracilaria spp dapat dibudidayakan di tambak. Jenis yang belum dapat dibudidayakan adalah Gelidium spp., Sargassum spp., dan Turbinaria spp.
Dalam bidang industri pemanfaatan rumput laut sangat luas. Rumput dimanfaatkan dalam industri kembang gula, kosmetik, es krim, pasta gigi, shampoo,  kapsul obat, pengharum sampai ke pakaian yang bermotif warna dalam industri tekstil, keramik, film dan industri farmasi. Selain untuk industri, rumput laut dapat dimanfaatkan sebagai makanan karena kandungan gizinya cukup tinggi. Di Jepang, Cina, Eropa, atau Amerika, rumput laut telah lama digunakan sebagai makanan atau obat-obatan. Biasanya dibuat menjadi nori, kombu, puding, sup, saus dan dalam bentuk mentah sebagai sayuran.
Budidaya rumput laut merupakan usaha padat karya dengan teknologi sederhana sehingga pengembalian modal usaha sangat cepat dan didukung oleh pasar yang sangat memadai serta mempunyai peluang yang cukup besar di pasar internasional.
Berkaitan dengan produksi dan ekspor rumput laut, data statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan bahwa total produksi rumput laut pada 2008 sekitar 2,14 juta ton. Tahun 2009 meningkat sebesar 5%. Sedangkan, Volume dan nilai ekspor rumput laut pada tahun 2008 sebesar 102,4 ribu ton atau senilai US$124,36 juta. Pasar ekspor terbesar yaitu 83% ke pasar Asia terutama China, dilanjutkan dengan Eropa 9%, Amerika 6%, sisanya 2% ke Australia dan Afrika. Pasar Eropa akan sangat potensial, karena benua itu memberlakukan kebijakan back to nature di mana semua produk kosmetik harus berbahan baku alami.
Pemerintah Indonesia menargetkan produksi rumput laut 10 juta ton pada tahun 2014. Target nasional ini dibebankan 33 provinsi se-Indonesia dengan tetap menyesuaikan kondisi perairan yang dimiliki propinsi-propinsi tersebut. Beberapa provinsi diantaranya Maluku, Maluku Utara, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan provinsi di pulau Jawa merupakan daerah yang berpotensi cukup tinggi.
Menurut Kepala DKP Bangka Belitung Sugianto (2011), pesisir pantai Belitung, Belitung Timur sangat potensial untuk dikembangkan budi daya rumput laut. Hal tersebut didukung oleh kawasan yang belum terjamah kapal isap. Menurut data yang diperoleh dari DKP Belitung timur, di tahun 2010 terdapat 5 kelompok petani yang membudidayakan rumput laut dan dalam satu tahun total produksi mencapai 61,67 ton.


B.  Visi
Mewujudkan bisnis perikanan yang berkelanjutan
II.      Isi
A.  Gambaran Ide Usaha
1.    Kekuatan
a.    Teknologi budidayanya cukup sederhana,
b.    Tidak diperlukan modal yang besar,
c.    Usaha yang sangat menguntungkan,
d.    Dapat dilakukan secara massal/hamparan
e.    Periode pemeliharaan sangat singkat
f.     Permintaan sangat besar
g.    Menyerap tenaga kerja
h.    Produk olahan beragam

2.    Kelemahan
a.    Belum tersedianya data dan informasi yang akurat tentang luasan lahan dan tingkat kelayakan lokasi untuk pengembangan budidaya rumput laut.
b.    Mudah terserang penyakit
c.    Produksi kecil dan berfluktuasi
d.    Kualitas dan kuantitas bibit yang digunakan rendah
e.    Harga tidak menentu lebih banyak ditentukan pembeli
f.     Mutu dan penanganan pasca panen belum standar

3.    Peluang
a.    Adanya dukungan pemerintah kabupaten
b.    Adanya potensi daerah
c.    Sarana dan prasarana usaha mudah diperoleh
d.    Akses modal usaha terbuka luas
e.    Meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir
f.     Akses pasar terbuka luas
g.    Mencegah dan mengurangi degradasi ekosistem pesisir dari aktifitas destruktif fishing

4.    Ancaman
a.    Kawasan pengembangan budidaya Belum Tertata
b.    Kajian dan informasi penanganan penyakit masih Terbatas
c.    Jaminan pasar
d.    Terbatasnya dukungan kelembagaan
e.    Koordinasi antara instansi/pihak terkait masih lemah.

B.  Rencana Pelaksanaan Ide
1.    Specific (Spesifik)
Jenis rumput laut yang akan dibudidaya adalah jenis Eucheuma cottonii. Budidaya dilakukan dengan metode tali panjang (longline method). Budidaya dilakukan pada lokasi perairan yang memiliki surut terendah masih terendam air minimal 50 cm.

2.    Measurable (terukur)
Produk budidaya Eucheuma cottonii disesuaikan dengan permintaan pasar. Hal yang menjadi parameternya adalah kadar air.

3.    Achievable (dapat dicapai)
Rerata laju pertumbuhan Eucheuma cottonii sekitar 4% sampai 6% perhari. setiap hektar menghasilkan 30 ton rumput laut basah dalam 1 siklus pemeliharaan, dan setiap kilogram rumput laut basah Rp1000 (perkiraan harga minimal). Jika kadar air : 37%-35% dan Kotoran : maks.2%, maka harga rumput laut mencapai Rp.9.500-11.000,-.

4.    Relevant (relevan)
Kualitas rumput laut dipengaruhi oleh teknik budidaya, umur panen dan penanganan pasca panen. Penanganan pasca panen meliputi pencucian, pengeringan, pembersihan kotoran, pengepakan, pengangkutan dan penyimpanan. Hal tersebut harus diperhatikan agar rumput laut mendapatkan kualitas yang maksimal.

5.    Time-Bound (Batas waktu)
Batas waktu 1 siklus pemeliharaan 45.

  
C.  Analisis Usaha


III.    Referensi

Anonim. 2006. Laporan Akhir Penelitian Budidaya Rumput Laut (Euchema spp ) Di Perairan Pesisir Pulau Auki,Distrik Padaido, Kabupaten Biak Numfor, Propinsi Papua. Pemerintah Kabupaten Biak Numfor Badan Perencanaan Dan Pengendalian Pembangunan Daerah. Biak.

Anonim. 2010. Awal Menuju Kluster Rumput Laut Di Bangka. <http://tphpi.wordpress.com>. Diakses 14 Maret 2011.

Anonim. 2010. Data Statistik Produksi Perikanan Budidaya Rumput Laut di Belitung Timur. DKP Belitung Timur.

Anonim. 2010. Karimunjawa Supply Bibit Rumput Laut. <http://seaweed81jpr.blogspot.com/>. Diakses 14 Maret 2011.

Dendi, A., H.J Heille, dan Arif, S. 2005. Mengurangi Kemiskinan Melalui Pengembangan Ekonomi Kelautan Berkelanjutan Berbasis Kerakyatan (Kasus Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat). Penanggulangan Kemiskinan dan Dukungan Pemerintahan Daerah di NTB dan NTT. Makalah.

Fahrul.2006. Panen dan Pasca Panen. Jurnal. Yayasan Mattirotasi. Makasar.

Kurniawan, A. 2011. Potensi Rumput Laut di Babel. <http://cetak.bangkapos.com/opini/>. Diakses 14 Maret 2011

Mustari, T. 2006. Kajian Teknis Usaha Perikanan Tangkap Dan Budidaya Sebagai Mata Pencaharian Alternatif. Jurnal. Diakses 14 Maret 2011.

 signature

Friday, April 17, 2009

Bioremidiasi di Sistem Budidaya Udang



Budidaya perairan banyak menghasilkan limbah, terbuat dari metebolisme produk, sisa pakan, kotoran dan sisa dari alat pencegah serta pengobatan penyakit, pengaruh buruk dari kualitas air dan peletusan penyakit. Bioremidiasi, penerapan dari mikroba atau enzim untuk kolam adalah metode yang memperbaiki kualitas air dan memelihara kesehatan dan kestabilan sistem budidaya perairan. Bioremidiasi meliputi bahan organik mineral hingga karbondioksida, memperbesar produktivitas udang, sehingga merangsang produksi udang, nitrifikasi, denitrifikasi untuk :
  1. Mengurangi kelebihan nitrogen dari kolam.
  2. Memelihara bermacam – macam dan komunitas kolam dimana patogen dilarang masuk dari sistem dan mendapatkan spesies yang diinginkan.
Bagian dari bahan organik, detritus, bakteri heterotrof, bakteri fotosintesis biasa digunakan dalam bioremidiasi.

Tujuan :
Mengurangi pencemaran pada sistem budidaya perairan.

Isi
A.    Bioremidiasi Sebagai Agen Pengontrol Penyakit
Saat ini, terdapat pertumbuhan menarik dalam biokontrol dar mikroba patogen dalam budidaya perairan menggunakan mikroorganisme antagonis. Sebuah penelitian terdapat bakteri antagonis, kecuali bakteri Co-existing, sebagai agen biokontrol berguna sebagai pengganti pengaruh negatif antibiotik. Kebanyakan probiotik bertujuan sebagai agen kontrol biologi dalam budidaya perairan.
B.     Bioremidiasi dari Organisme Detritus
Bahan organik terlarut dan tersuspensi mengandung rantai karbon yang panjang dan ada pada mikroba serta alga. Bioremidiasi yang baik harus mengandung mikroba yang mampu serta efektif menghapus limbah karbon dai perairan. Itu akan membantu jika mikroba ini memperbanyak aliran dan mempunyai enzim yang baik. Anggota dari genus Bacillus (Bacillus subtilis, Bacillus cereus dll) dan genus Phenibacillus (Phenibacillus polimyxa) adalah contoh bakteri yang cocok untuk bioremidiasi dari organik detritus.
C.     Bioremidiasi dari Komponen Nitrogen.
Aplikasi nitrogen dalam kelebihan kapasitas pencernaan dari kolam dapat berdampak buruk bagi kualitas air serta akumulasi dari komponen nitrogen (amonia, nitrit) dengan racun untuk ikan dan udang.
Proses nitirifikasi
NH4+ + 1 ½  O2 àNO2- + 2H+ +H2O
NO2- + 1 ½  O2 à NO3-
Bakteri nitrifikasi adalah metode yang banyak digunakan untuk memindahkan amonia dari sistem budidaya perairan tertutup dan itu mencapai dengan tempat dari pasir dan kerikil biofilter kemudian sirkulasi air. Zat amonia terdapat dalam 5 genera yaitu Nitrosomonas, Nitrosovibrio, Nitrosococcus, Nitrolobus and Nitrospira. Zat nitrit terdapat dalam 3 genera yaitu Nitrobacter, Nitrococcus and Nitrospira. Ada beberapa zat nitrat heterotripok yang memproduksi hanya level rendah dari nitrit dan nitrat dan sering digunakan organik sumber organik dari nitrogen daripada amonia atau nitrit. Nitrifiers terdapat dalam kultur kontaminasi yang dicobakan untuk efisiensi nitrat. Nitritfikasi tidak hanya diproduksi nitrat tetapi mengubah pH menjadi rendah ke sifat asamnya.
Nitrat dapat terlihat pada proses biokimia yang diproduksi oleh nitrifikasi.
NO3- à NO2- à NO
               Ã  N2O   Ã  N2

D.    Bioremidiasi dari H2S
Sulfur adalah bagian yang menarik di budidaya perairan, karena itu penting dalam sedimen anoxic. Dalam kondisi aerobik, organik sulfur didekomposisi oleh sulfida dimana untuk mendapatkan perubahan zat menjadi sulfat. Sulfat merupakan suspensi tinggi dalam air dan perlahan – lahan berhamburan dari sedimen. Oksidasi sulfit tidak langsung dilakukan oleh mikroorganisme dalam sedimen, walaupun dapat terjadi dalam proses kimia. Bakteri bentik fotosintetik  menghancurkan H2S pada dasar kolam memiliki kedalaman yang digunakan dalam budidaya perairan untuk mempertahankan pertahanan lingkungan.


2.  Produk ini sudah berpotensi bagi perikanan karena microorganisme memanfaatkan buangan organik untuk pertumbuhannya baik unsur kimia maupun energi hasil pemecahan. Bioremidiasi merupakan proses pengolahan limbah dan pencemaran lingkungan atau upaya pemulihan biologis dengan menggunakan bakteri atau mikro-organisme (organisme hidup) misalnya untuk membersihkan lapisan tanah dan limbah minyak, gasolin atau solar menghilangkan polutan dari sebuah waduk/badan air/laut. Produk bioremidiasi yang berpotensi adalah Bacillus sp. dan Pseudomonas sp.

3. Bioremidiasi adalah pemanfaatan organisme untuk membersihkan senyawa pencemar dari lingkungan. Pada proses ini terjadi biotransformasi atau biodetoksifikasi senyawa toksik menjadi senyawa yang kurang toksik atau tidak toksik. Proses utama pada bioremidiasi adalah biodegradasi, biotransformasi dan biokatalis.
Pada bioremediasi microbial terdapat faktor-faktor utama yang menentukan: yaitu Populasi mikroba, Konsentrasi nutrien, Pasokan oksigen, Suhu dan kelembaban.  Bioremidiasi yang melibatkan mikroba terdapat 3 macam yaitu merangsang pertumbuhan mikroba endogenik (biostimulasi), menambahkan mikroba yang sudah beradaptasi pada daerah yang tercemar sehingga meningkatkan kemampuan populasi mikroba endogen (bioaugmentasi) dalam biotransformasi, dan terakhir bioremidiasi tanpa campur tangan manusia (bioremediasi intrinsik).  Bioremidiasi berdasarkan lokasi terdapat 2 macam yaitu bioremidiasi in situ (proses bioremidiasi yang digunakan berada pada tempat lokasi limbah tersebut) dan bioremidiasi ex situ (bioremidiasi yang dilakukan dengan mengambil limbah tersebut lalu ditreatment ditempat lain, setelah itu baru dikembalikan ke tempat asal).  Proses bioremadiasi in situ pada lapisan surface juga ditentukan oleh faktor bio-kimiawi dan hidrogeologis.
Kepentingan Bioremidiasi dalam perikanan yaitu :
  1. Meningkatkan kualitas air agar menjadi lebih baik
  2. Meningkatkan kesehatan pada ikan dan udang.

signature

Thursday, April 02, 2009

Seminar 1 SKS : Mikroalga


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya hayati perairan baik jenis maupun jumlah yang sangat melimpah. Salah satu sumber daya hayati tersebut adalah mikroalga. Mikroalga merupakan bentuk tumbuhan yang paling primitif. Tumbuhan ini umumnya hanya terdiri dari satu sel dan berbentuk seperti benang. Mikroalga mengandung zat warna atau pigmen fotosintetik sehingga tampak warna-warni. Orang awam lebih mengenalnya sebagai fitoplankton atau gangang yang hidupnya melayang-layang di permukaan air laut ataupun air tawar.
Mikroalga mampu memanfaatkan sinar matahari dan CO2 untuk proses fotosintesis. Mikroalga merupakan tanaman yang paling efisien dalam menangkap dan memanfaatkan energi matahari dan CO2 untuk keperluan fotosintesis. Hal tersebut menyebabkan mikroalga memiliki waktu pertumbuhan yang cepat dibandingkan dengan tanaman darat, yaitu mulai dari hitungan hari sampai beberapa minggu.
Dalam biomasa mikroalga terkandung bahan-bahan penting yang sangat bermanfaat, misalnya protein, karbohidrat, vitamin dan minyak. Mikroalga memiliki kandungan minyak yang komposisinya mirip seperti tanaman darat. Hal yang menarik untuk dikembangkan adalah kandungan minyak dalam mikroalga pada spesies tertentu cukup tinggi, yaitu rata-rata 40%, bahkan pada spesies tertentu misalnya Botrycoccus braunii dapat melebihi kadar minyak tanaman darat sebagai sumber penghasil minyak, seperti kelapa, jarak dan sawit (Uju, 2007).
Biodiesel merupakan suatu nama dari Alkyl Ester atau rantai panjang asam lemak yang berasal dari minyak nabati maupun lemak hewan. Biodiesel dapat digunakan sebagai bahan bakar pada mesin yang menggunakan diesel sebagai bahan bakarnya tanpa memerlukan modifikasi mesin (Anonim, 2006)
Masalah baru timbul setelah revolusi industri dimana penggunaan bahan bakar fosil (batu bara, minyak bumi, gas alam) semakin meluas. Penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan bermilyar-milyar ton senyawa karbon yang sebelumnya tersimpan selama jutaan tahun di perut bumi dilepaskan ke atmosfer. Akibatnya konsentrasi karbondioksida di atmosfer semakin bertambah, dan inilah yang menyebabkan temperatur bumi semakin meningkat. Mikroalga yang dapat digunakan sebagai bahan baku alternatif biodiesel diharapkan dapat mengurangi pemanasan global yang diakibatkan oleh kendaraan. Biodiesel dapat menjadi investasi pada sumber energi yang ramah lingkungan.

B. Tujuan
1.      Mengetahui potensi mikroalga sebagai bahan baku alternatif biodiesel
2.      Mengetahui cara mengolah mikroalga sebagai bahan baku alternatif biodiesel.

C. Manfaat
Memberikan informasi tentang mikroalga sebagai bahan baku alternatif biodiesel.


II. MIKROALGA SEBAGAI BAHAN BAKU ALTERNATIF BIODIESEL

A. Habitat Hidup Alga
Alga adalah salah satu organisme yang dapat tumbuh pada rentang kondisi yang luas di permukaan bumi. Alga biasanya ditemukan pada tempat-tempat yang lembab atau benda-benda yang sering terkena air dan banyak hidup pada lingkungan berair di permukaan bumi. Alga dapat hidup hampir di semua tempat yang memiliki cukup sinar matahari, air dan karbon-dioksida (Thomas, 2007).

B. Biologi  Mikroalga
Plankton diatom dan dinoflagelata merupakan plankton yang paling dominan di laut dan danau. Organisme fitoplankton memiliki satu sel. Bentuk koloninya besar dan tersusun dari sel-sel individu dengan struktur maupun bentuk yang seragam. Alga hijau dan biru adalah berbentuk benang dan beberapa diatom dan dinoflagelata dapat berbentuk rantai. Alga hijau – biru dapat dibedakan dari jenis alga lain dari fase prokariotnya, yaitu sel – sel yang tidak mempunyai nukleus – nukleus, selaput nukleus dan kromosom yang terpadu. Sel diatom mempunyai ciri yang khas yaitu dinding selnya keras mengandung silikat dan terdiri dari dua bagian seperti cawan petri. Dinding sel bagian atas (epiteka) saling menutupi dinding sel bagian bawah (hipoteka) pada masing – masing tepinya yang disebut girdle. Dinoflagelata biasanya bersel satu dan autotropik (dapat melakukan fotosintesis). Selnya mempunyai sepasang flagela yang berdampingan (Taw, 1990).
            Menurut Wirosaputro (2005), fitoplankton dapat dibedakan berdasarkan keragamannya, yaitu :
1. Chlorophyta
  1. Bentuk sel tunggal,  berkolobi atau filamen sebagai penyusun fitoplankton atau benthos dan beberapa berukuran besar seperti tanaman.
  2. Kloroplas berwarna hijau mengandung klorofil-a, klorofil-b, karatenoid dan xantophyl.
  3. Reproduksi secara aseksual dengan zoospore dan seksual dengan isogami, anisogami dan oogaini.
2. Cyanophyta
  1. Sel prokarion (tidak memiliki sel sejati).
  2. Warna sel biru kehijauan
  3. Thalus membentuk sel bulat, silinder  sedang membentuk koloni benang atau filamen.
  4. Berkembang biak secara aseksual dengan membelah diri dan membentuk akinete, endospora, nanocysta, exospora dan bentuk filament dengan membentuk hormogon atau hormospore.
3. Chryophyta
Merupakan fitoplankton warna coklas keemasan, selnya memiliki klorofil-a dan klorofil-c, b-karoten, fucoxantin, diatoxantin dan diaduaixantin.
4. Dinoflagellata
  1. sel tunggal, terdapat 2 flagel tidak sama panjang keluar dari sisi perut dalam suatu saluran.
  2. Kloroplas berbentuk cakram
  3. Pigmen fotosintesis klorofil-a, klorofil-b, b-karoten, dan xantophil

C. Potensi Mikroalga
Mikroalga dapat berpotensi sebagai pakan alami bagi ikan,  produk kesehatan bagi manusia (Chlorella sp.), mengontrol kualitas air (Wirosaputro, 2005) serta sebagai bahan alternatif biodiesel (Uju, 2007). Alga yang terbagi dalam red seaweed, brown seaweed dan green seaweed, dikenal juga dalam berbagai produk makanan. Nori dan beberapa produk makanan seperti yoghurt, susu coklat, dll. dibuat dari red seaweed. Brown seaweed digunakan sebagai penstabil, pengemulsi dan agen pengikat produk pasta gigi, sabun, es krim, dan olahan daging serta tekstil, sedangkan Green seaweed dari jenis chlorella telah digunakan sebagai produk kesehatan karena kaya akan protein, beta-carotene dan berbagai vitamin dan mineral (Chasanah, 2006).

D. Potensi Alga Menghasilkan Biodiesel
Secara teoritis, produksi biodiesel dari alga dapat menjadi solusi yang realistik untuk mengganti solar. Hal ini karena tidak ada feedstock lain yang cukup memiliki banyak minyak sehingga mampu digunakan untuk memproduksi minyak dalam volume yang besar. Tumbuhan seperti kelapa sawit dan kacang-kacangan membutuhkan lahan yang luas untuk dapat menghasilkan minyak supaya dapat mengganti kebutuhan solar dalam suatu negara. Hal ini tidak realistik dan akan mengalami kendala apabila diimplementasikan pada negara dengan luas wilayah yang kecil (Thomas, 2007).
Berdasarkan perhitungan, pengolahan alga pada lahan seluas 10 juta acre (1 acre = 0.4646 ha) mampu menghasilkan biodiesel yang akan dapat mengganti seluruh kebutuhan solar di Amerika Serikat (Anonim, 2006). Luas lahan ini hanya 1% dari total lahan yang sekarang digunakan untuk lahan pertanian dan padang rumput (sekitar 1 milliar acre). Diperkirakan alga mampu menghasilkan minyak 200 kali lebih banyak dibandingkan dengan tumbuhan penghasil minyak (kelapa sawit, jarak pagar, dll) pada kondisi terbaiknya (Thomas, 2007).
Mikroalga memiliki kandungan minyak yang komposisinya mirip seperti tanaman darat. Hal yang menarik untuk dikembangkan adalah kandungan minyak dalam mikroalga pada spesies tertentu cukup tinggi, yaitu rata-rata 40%, bahkan pada spesies tertentu misalnya Botrycoccus braunii dapat melebihi kadar minyak tanaman darat sebagai sumber penghasil minyak, seperti kelapa, jarak dan sawit (Tabel 1) (Uju, 2007) .
Menurut Thomas (2007), semua jenis alga memiliki komposisi kimia sel yang terdiri dari protein, karbohidrat, lemak (fatty acids) dan nucleic acids. Persentase keempat komponen tersebut bervariasi tergantung jenis alga. Ada jenis alga yang memiliki komponen fatty acids lebih dari 40%. Dari komponen fatty acids inilah yang akan diekstraksi dan diubah menjadi biodiesel. Komposisi kimia sel pada beberapa jenis alga seperti tercantum pada tabel 2:


Tabel 2 : Komposisi Kimia Alga Ditunjukkan dalam Berat Kering (%)
Komposisi Kimia
Protein
Karbohidrat
Lemak
Nucleic Acid
Scenedesmus obliquus
50-56
10-17
12-14
3-6
Scenedesmus quadricauda
47
-
1.9
-
Scenedesmus dimorphus
8-18
21-52
16-40
-
Chlamydomonas rheinhardii
48
17
21
-
Chlorella vulgaris
51-58
12-17
14-22
4-5
Chlorella pyrenoidosa
57
26
2
-
Spirogyra sp.
6-20
33-64
11-21
-
Dunaliella bioculata
49
4
8
-
Dunaliella salina
57
32
6
-
Euglena gracilis
39-61
14-18
14-20
-
Prymnesium parvum
28-45
25-33
22-38
1-2
Tetraselmis maculate
52
15
3
-
Porphyridium cruentum
28-39
40-57
9-14
-
Spirulina platensis
46-63
8-14
4–9
2-5
Spirulina maxima
60-71
13-16
6-7
3-4.5
Synechoccus sp.
63
15
11
5
Anabaena cylindrical
43-56
25-30
4-7
-

Kandungan minyak dalam alga Chlorella itu minimnya sekitar 30% berat jika rho alga = 0,85 maka dalam 1 kg alga kering sekitar 0,32 liter minyak (Permadi, 2008). Biodiesel dari alga hampir mirip dengan biodiesel yang diproduksi dari tumbuhan penghasil minyak (jarak pagar, sawit, dll) sebab semua biodiesel diproduksi menggunakan triglycerides (biasa disebut lemak) dari minyak nabati/alga. Alga memproduksi banyak polyunsaturates, dimana semakin tinggi kandungan lemak asam polyunsaturates akan mengurangi kestabilan biodiesel yang dihasilkan. Di lain pihak, polyunsaturates memiliki titik cair yang lebih rendah dibandingkan monounsaturates sehingga biodiesel alga akan lebih baik pada cuaca dingin dibandingkan jenis bio-feedstock yang lain. Diketahui kekurangan biodiesel adalah buruknya kinerja pada temperatur yang dingin sehingga biodiesel alga mungkin akan dapat mengatasi masalah ini (Thomas, 2007).

E. Budidaya Alga untuk Biodiesel
Menurut Thomas (2007), sama seperti tumbuhan lainnya, alga juga memerlukan tiga komponen penting untuk tumbuh, yaitu sinar matahari, karbon dioksida dan air. Alga menggunakan sinar matahari untuk menjalankan proses fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses biokimia penting pada tumbuhan, alga, dan beberapa bakteri untuk mengubah energi matahari menjadi energi kimia. Energi kimia ini akan digunakan untuk menjalankan reaksi kimia, misalnya pembentukan senyawa gula, fiksasi nitrogen menjadi asam amino, dll. Alga menangkap energi dari sinar matahari selama proses fotosintesis dan menggunakaannya untuk mengubah substansi inorganik menjadi senyawa gula sederhana.
Penanaman alga untuk menghasilkan biodiesel mungkin akan sedikit lebih sulit karena alga membutuhkan perawatan yang sangat baik dan mudah terkontaminasi oleh spesies lain yang tidak diinginkan. Alga dapat ditanam di kolam terbuka dan danau. Penggunaan sistem terbuka ini dapat membuat alga mudah diserang oleh kontaminasi spesies alga lain dan bakteri. Saat ini telah berhasil dikembangkan beberapa spesies alga yang mampu ditanam pada lahan terbuka dan meminimalisir adanya kontaminasi spesies lain. Misalnya penanaman spirulina (salah satu jenis alga) pada suatu kolam terbuka dapat menghilangkan kemungkinan kontaminasi spesies lain secara luas karena spirulina bersifat agresif dan tumbuh pada lingkungan dengan pH yang sangat tinggi. Sistem terbuka juga memiliki sistem kontrol yang lemah, misalnya dalam mengatur temperatur air, konsentrasi karbon dioksida & kondisi pencahayaan. Sedangkan keuntungan penggunaan sistem terbuka adalah metode ini merupakan cara yang murah untuk memproduksi alga karena hanya perlu dibuatkan sirkuit parit atau kolam (Anonim, 2008).
Nitrat dan fosfat adalah bahan pupuk dasar yang mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton dan biasanya digolongkan sebagai makronutrien. Nitrat adalah sumber nitrogen yang penting bagi fitoplankton baik di laut maupun di air tawar. Mikronutrien merupakan bahan – bahan yang rendah kadarnya dan dapat berupa bahan organik maupun anorganik di alam. Mikronutrien anorganik yang penting adalah zat besi dalam bentuk feriklorida. Kandungan mangan pada air laut di tepi pantai lebih tinggi daripada di tengan laut dan air yang masuk ke laut khususnya dari sungai – sungai yang melewati tanah yang subur biasanya mengandung mangan cukup tinggi. Kebutuhan fitoplankton terhadap bahan – bahan logam sangat rendah, tetapi bila kadarnya kurang dapat menghambat pertumbuhan fitoplankton. Vitamin B12 dan thiamin diperlukan lebih banyak daripada biotin oleh alga yang berfotosintesa dan tidak mampu menyerap bahan-bahan tertentu (Taw, 1990).
Kolam tempat pembudidayaan alga biasanya disebut “kolam sirkuit”. Dalam kolam ini, alga, air dan nutrisi disebarkan dalam kolam yang berbentuk seperti sirkuit. Aliran air dalam kolam sirkuit dibuat dengan pompa air. Kolam biasanya dibuat dangkal supaya alga tetap dapat memperoleh sinar matahari karena sinar matahari hanya dapat masuk pada kedalaman air yang terbatas. Sebuah variasi kolam terbuka adalah dengan memberikan atap transparan (greenhouse) diatasnya untuk melindungi kerusakan alga dari percikan air hujan. Namun begitu, cara ini hanya dapat diaplikasikan pada kolam terbuka yang berukuran kecil dan tidak dapat mengatasi banyak masalah yang terjadi pada sistem terbuka (Thomas, 2007).
Bibit yang akan dibudidayakan dalam skala massal sudah dimurnikan terlebih dahulu, sehingga diperoleh spesies yang tunggal. Bibit alga yang mutunya paling baik harus dipilih dari kultur yang akan digunakan sebagai bibit inokulum dalam tahap kultur selanjutnya. Kultur bibit dalam jumlah sedikit (250 – 1000 ml) dibawa ke ruang kultur yang bersuhu antara 25 – 27oC. Sterilisasi bahan – bahan untuk kultur harus dilakukan sesuai cara – cara yang diberikan. Air yang digunakan harus disterilkan dengan penyaringan berulang. Suhu sekitar 29oC. Setelah bak atau kolam yang akan digunakan telah disterilkan, bibit mikroalga dapat dikultur dalam skala massal. Bak kultur 500 L dapat digunakan untuk menginokulasikan bak yang berkapasitas 10 ton atau 15 ton (Taw, 1990).
Alternatif lain cara pembudidayaan alga adalah dengan menanamnya pada struktur tertutup yang disebut photobioreactor, dimana kondisi lingkungan akan lebih terkontrol dibandingkan kolam terbuka. Sebuah photobioreactor adalah sebuah bioreactor dengan beberapa tipe sumber cahaya, seperti sinar matahari, lampu fluorescent, led. Quasi-closed systems (sebuah kolam yang ditutupi dengan bahan transparan (greenhouse) di semua bagian) dapat digolongkan sebagai photobioreactor. Photobioreactor memungkinkan dilakukannya peningkatan konsentrasi karbon dioksida di dalam sistem sehingga akan mempercepat pertumbuhan alga (Chisti, 2007).
Biaya investasi awal dan biaya operasional dari sebuah photobioreactor akan lebih tinggi dibandingkan kolam terbuka, akan tetapi efisiensi dan kemampuan menghasilkan minyak dari photobioreactor akan lebih tinggi dibandingkan dengan kolam terbuka. Hal ini akan membuat pengembalian biaya modal dan biaya operasional dengan cepat.

F. Cara Ekstraksi Minyak dari Alga
Pengambilan minyak dari alga masih merupakan proses yang mahal sehingga masih harus dipertimbangkan untuk menggunakan alga sebagai sumber biodiesel. Terdapat beberapa metode terkenal untuk mengambil minyak dari alga, antara lain (Anonim, 2007):
1.      Pengepresan (Expeller/Press)
Pada metode ini alga yang sudah siap panen dipanaskan dulu untuk menghilangkan air yang masih terkandung di dalamnya. Kemudian alga dipres dengan alat pengepres untuk mengekstraksi minyak yang terkandung dalam alga. Dengan menggunakan alat pengepres ini, dapat diekstrasi sekitar 70 - 75% minyak yang terkandung dalam alga.
Uju (2007) berpendapat bahwa biodiesel dapat dihasilkan dari berbagai sumber bahan yang terbaharukan baik tumbuhan maupun hewan. Solar dari minyak tumbuhan/hewan ini diperoleh melalui proses transesterifikasi, yaitu dengan cara memanaskan pada suhu tertentu campuran alkohol dan minyak nabati dengan bantuan katalis asam (NaOH atau H2SO4) atau katalis basa (sodium dan potasium hidroksida).

Gambar 1. Transesterifikasi untuk biodiesel, R1-3 adalah grup hidrokarbon.

Katalis basa proses reaksinya lebih cepat, namun katalis basa dapat menyebabkan terbentuknya sabun sehingga rendemen biodiesel menjadi berkurang. Keuntungan biodiesel dibandingkan dengan solar konvensional antara lain adalah lebih ramah lingkungan (biodegradable), dan nilai emisinya rendah. Emisi yang rendah dapat mengurangi pencemaran udara. Besarnya pengurangan emisi yang berhasil direduksi dengan menggunakan bahan solar nabati dibandingkan dengan solar konvensional ditunjukan pada tabel 3.
Tabel 3. Kemampuan Biodiesel dalam Menurunkan gas emisi buangan dibandingkan dengan kemapuan solar konvensional


Parameter Emisi
Reduksi Emisi
20 % Biodiesel
100 % Biodiesel
Hidrokarbon
- 19.0
- 52,4
Karbon Monoksida
- 26,1
- 47,6
Nitrogen Oksida
- 3,7
- 10,0
Hidrokarbon Poliaromatrik
-
- 78
Partikel
0 – 2,8
9,9
Sulfur Oksida
-
- 100

2.      Hexane solvent oil extraction ( Extraksi Pelarut Minyak Heksana)
Minyak dari alga dapat diambil dengan menggunakan larutan kimia, misalnya dengan menggunakan benzena dan eter. Namum begitu, penggunaan larutan kimia heksana lebih banyak digunakan sebab harganya yang tidak terlalu mahal.
Larutan heksana dapat digunakan langsung untuk mengekstaksi minyak dari alga atau dikombinasikan dengan alat pengepres. Cara kerjanya sebagai berikut: setelah minyak berhasil dikeluarkan dari alga dengan menggunakan alat pengepres, kemudian ampas (pulp) alga dicampur dengan larutan cyclo-hexane untuk mengambil sisa minyak alga. Proses selanjutnya, ampas alga disaring dari larutan yang berisi minyak dan cyclo-hexane. Untuk memisahkan minyak dan cyclo-hexane dapat dilakukan proses distilasi. Kombinasi metode pengepresan dan larutan kimia dapat mengekstraksi lebih dari 95% minyak yang terkandung dalam alga.
Sebagai catatan, penggunaan larutan kimia untuk mengekstraksi minyak dari tumbuhan sangat beresiko. Misalnya larutan benzena dapat menyebabkan penyakit kanker, dan beberapa larutan kimia juga mudah meledak.

3.      Supercritical Fluid Extraction (Ekstraksi Fluida Superkritikal)
Pada metode ini, CO2 dicairkan dibawah tekanan normal kemudian dipanaskan sampai mencapai titik kesetimbangan antara fase cair dan gas. Pencairan fluida inilah yang bertindak sebagai larutan yang akan mengekstraksi minyak dari alga. Metode ini dapat mengekstraksi hampir 100% minyak yang terkandung dalam alga. Namun begitu, metode ini memerlukan peralatan khusus untuk penahanan tekanan.

4.      Osmotic Shock (Kejutan Osmotik)
Penggambilan minyak dari alga dengan menggunakan osmotic shock maka tekanan osmotik dalam sel akan berkurang sehingga akan membuat sel pecah dan komponen di dalam sel akan keluar. Metode osmotic shock banyak digunakan untuk mengeluarkan komponen-komponen dalam sel, seperti minyak alga ini.

5.      Ultrasonic Extraction (Ekstraksi Ultrasonik)
Pada reaktor ultrasonik, gelombang ultrasonik digunakan untuk membuat gelembung kavitasi (cavitation bubbles) pada material larutan. Ketika gelembung pecah dekat dengan dinding sel maka akan terbentuk gelombang kejut dan pancaran cairan (liquid jets) yang akan membuat dinding sel pecah. Pecahnya dinding sel akan membuat komponen di dalam sel keluar bercampur dengan larutan.


III. KESIMPULAN
1.      Mikroalga berpotensi sebagai bahan baku alternatif biodiesel.
2.      Tempat penanaman mikroalga dapat dilakukan di sistem terbuka dan tertutup sesuai dengan spesies mikroalga.
3.      Sistem terbuka mempunyai kelemahan dalam pengendalian masuknya kontaminan.
4.      Sistem tertutup (photobioreactor) dapat mengendalikan kondisi lingkungan dan masuknya kontaminan. Akan tetapi biaya operasional dan investasinya lebih besar dari pada sistem terbuka.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. Oil from Algae. <http://www.oilgae.com>. Diakses tanggal 4 Maret 2008.

Anonim. 2006. Pengertian Biodiesel. <http://www.indobiofuel.com>. Diakses tanggal 28 Maret 2008.

Anonim. 2007. Algaculture. <http://www.wikipedia.com>. Diakses tanggal 17 Febuari 2008.

Anonim. 2008. Algae Fuel. <http://www.wikipedia.com>. Diakses tanggal 17 Febuari 2008.

Chasanah, Ekowati. 2006. Bioaktif dari Biota Laut untuk Mendukung Industri Bioteknologi.

Chisti, Yusuf. 2007. Biodiesel From Microalgae. <http://www.sciencedirect.com>.  Diakses tanggal 28 Desember 2007.

Permadi, Adi. 2008. <http://www.kamase.com>. Diakses Tanggal 31 Maret 2008.

Uju, dan Mita Wahyuni. 2007. Pengembangan Marine biodiesel dari Mikroalga Sebagai Sumber Energi Alternatif Potensial Masa Depan. <http://www.unibraw.com>. Diakses tanggal 17 Febuari 2008.

Taw, Nyan. 1990. Algae Culturist (Petunjuk Pemeliharaan Kultur Murni dan Masal Mikroalga). Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Thomas. 2007. Membuat Biodiesel dari Tumbuhan Alga. <http://www.kamase.org> . Diakses tanggal 17 Febuari 2008.

Wirosaputro, Sukiman. 2005. Plankton dan Tumbuhan Air. Jurusan Perikanan dan kelautan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

signature