pada kilometer berapa harus kunyalakan mesin, kuinjak porseneling,
kulajukan diriku?
pada kilometer keberapa aku harus terus?
mengendalikan diriku pada jalan lurus dengan spidometer yg tak
bergerak-gerak.
pada kilometer keberapa aku harus berbelok?
membanting stirku. melewati jalanan baru.
ke kanankah? kekirikah?
pada kilometer ke berapa aku harus berpacu menambah kecepatanku?
pada kilometer ke berapa aku harus berhenti, lalu berlari?
- Lucia Dwi Elvira -
Ketika aku berjalan di tepi pantai dengan desiran dan alunan ombak yang
kuat. Aku menemukan sebuah botol yang berisikan puisi “Pada kilometer
keberapa?”. Kubiarkan air membasahi ujung-ujung rok ku dan angin mengacaukan
helaian-helaian rambut yang sengaja kuurai.
Terdiam cukup lama disuatu titik, sesekali melihat anak-anak pantai
bersorak gembira. Kupejamkan mata untuk menjawab dari pertanyaan puisinya dan
memutar ulang ingatanku dalam beberapa pekan terakhir.
“semua itu terserah kamu !!! aku sudah tak mau peduli lagi...” nada marah
yang kuingat dan membuatku semakin gila untuk bekerja. Sosok yang mampu
membuatku berdiri setelah keterpurukanku. Sosok yang selalu aku percaya. Sosok
yang membuatku ingin bermimpi lebih tinggi lagi. Aku terdiam melihat
kepergiannya. Dia meninggalkan aku sendiri.
“cepat atau lambat akan ada yang menusukmu dari belakang” aku cukup
terkejut dengan pesan singkat yang masuk dalam inbox. Persaingan apa lagi ini,
pikirku. Ada yang aneh dengan orang-orang di kantorku. Aku tak bisa membedakan
mana kawan, mana lawan.
Dua kalimat yang membuatku tak habis mengerti. Sudah tiga pekan aku
seperti ini, menjalani apa yang tak aku suka, berpura-pura bahwa aku baik-baik
saja. Kubuka mataku untuk membuyarkan memoriku, menatap senja yang selalu
kunanti. Ku langkahkan kaki melewati anak-anak bermain2, kubiarkan air
membasahi lututku. Berjalan menjauhi sorak-sorak anak-anak hingga ombak
membawaku pergi. Aku tak mampu mengejar matahari....
0 reflection:
Post a Comment