Jika aku boleh jujur, penantian panjang ini layaknya malam yang semakin gelap dan pekat. Hanya cahaya iman dan sabar yang akan menjadi penerang. Tapi aku yakin, malam yang semakin gelap dan pekat itu, tidak akan berlangsung selamanya. Karena semakin waktu berangkat jauh membawa gelapnya malam, semakin dekat pula waktu menuju pagi dengan sambutan mentari yang cerah.
Kuhempaskan tubuhku ke sofa yang dominan berwarna lazuardi. Kulayangkan pandanganku pada langit-langit eternit apartemenku. Aku tak pernah membayangkan kalau aku akhirnya ada di titik ini. Ketika aku lebih sering berhenti dan melihat sekeliling, membandingkan, dan menyesali banyak hal. Malam ini aku merasa seperti orang yang kalah. Dilanda gundah yang sangat. Cemas atas banyak hal yang belum nyata. Aku melihat harapanku pupus, perlahan-lahan. Pencapaian, eksistensi, penghargaan, waktu yang terbuang… Kepala ku penuh. Tak terasa air mataku mencair seketika..
Kumencoba pejamkan mataku untuk menghilangkan bayang-bayang yang tak nyata. sepuluh menit, satu jam berlalu, aku tak mampu melupakannya. Hidup sepertinya terlalu bergegas dan aku tak mempersiapkan bekal yang cukup untuk itu. Seperti lalai membawa kotak makan ketika piknik akhir pekan. Atau seperti mendaki bukit dan diterpa kelelahan yang sangat. Ini hanya benang kusut yang harus diurai, pelan-pelan.
Dalam sebuah perbicangan masa sekolah dahulu, suatu kali diantara beberapa pilihanku untuk pergi mengenal dunia dengan segala kemajemukannya, seorang sahabat pernah bertanya, “Apa alasanmu memasukkan Belanda ke dalam daftar negara yang patut dikunjungi selama hidup kita, memang apa keistimewaannya?”.
Sambil tersenyum aku menjawab, “Sederhana saja… karena Belanda memiliki fasilitas modern yang lengkap untuk menghargai keberadaan manusia seutuhnya”. Dan jawaban itu kemudian mengawali penjelasan panjang diantara kami tentang keinginan dan harapanku untuk melabuhkan diri suatu saat kelak ke sebuah daratan yang dihuni sebuah bangsa besar yang nenek moyangnya pernah menjajah begitu lama di negeri ini.
Percakapan singkat itu –yang terjadi sekitar sepuluh tahun lalu ketika masa-masa sekolah dahulu –hingga kini masih berbekas di ingatanku. Dan beruntungnya aku, meski tak pernah ada lagi percakapan semacam itu, secuil ingatan tentangnya masih tersimpan hingga kini. Tentang sebuah keinginan yang tak pernah terbayang apakah mungkin terwujud ataupun tidak, namun hati begitu bersemangat membicarakannya. Dan mengenang semua hal tersebut, aku mencoba berandai-andai dan menarik kembali benak ke masa itu, “Apa ya, dahulu alasan sebenarnya yang membuat Belanda begitu menarik hati ini sehingga layak menjadi sebuah negeri pilihan yang patut dikunjungi?”. Pikiranku menerawang jauh, mengorek simpanan memori, melangkahi masa-masa sebelumnya, bahkan jauh sebelum percakapan diantara aku dan temanku terjadi.
Aku mulai menyusun kepingan-kepingan yang terserak menjadi sebuah puzzle yang sempurna. Aku tak bisa membiarkan waktu berlalu begitu saja. Segera ku bangkit dari sofa renunganku dan berjanji bahwa aku takkan menyerah pada hidup. Aku mulai membongkar isi ransel yang selalu menemaniku dan menyusun notebook di meja ruang tamu. Biarlah malam ini aku menyelesaikannya di ruangan yang dapat memandang cahaya lampu dari bangunan-bangunan tinggi. Secangkir coklat panas menemani dinginnya malam ini.
Aku larut pada atmosfer akademik di Belanda, tugas-tugas kuliah yang kian menumpuk, menuntutku untuk diselesaikan malam ini dan presentasi yang akan kulakukan esok pagi. Ruangan pun berubah menjadi hamparan buku yang tak beraturan. Media player siap menemani ku malam ini.
Tak terasa, malam pun berlalu, mentari tak kunjung muncul dan digantikan oleh buliran-buliran salju. Aku mendekati kaca jendela yang sengaja tak ku tutup tirainya. Hal ini merupakan tahun kedua aku menikmati salju, dan aku berharap tahun terakhir aku merasakan suhu yang dingin sebagai mahasiswa.
Nada dering ponsel ku berbunyi dan menghentikan lamunanku. “hallo, hoe kan ik u helpen?”. Seorang teman seperjuangan dari tanah air memintaku untuk membawakan sebuah buku yang kupinjam dari perpustakaan. Kurapihkan kembali notebook, dan buku dalam ransel yang akan kubawa pagi ini. Aku bergegas untuk mandi, bersiap dan berangkat. Sepotong roti menjadi menu sarapan hari ini.
Setelah aku mengunci pintu apartemen dan bergegas menelusuri tangga, aku berpapasan dengannya. “goedemorgen !!” sapa ku seperti hari-hari sebelumnya dan ia hanya tersenyum tanpa membalas sapaanku. Ya sudahlah, pikirku.. hari ini aku harus tiba lebih awal di kampus.
“how did you spend last night?” ujar Ahmed menghampiriku. “so bad, I have not slept until this morning, hope all will running well” jawabku sembari mencari-cari Nadia di dalam kelas. “i believe you can do it. I will wait you after class finish in the library. Good luck for you, i will go to my class. bye.” Ku hanya melambaikan tangan padanya.
Ahmed, seorang warga negara turki yang ku kenal di awal tahun aku menginjakkan kaki di kampus. Tak sengaja aku bertemu dengannya di Keukenhof. Semenjak itu, aku dekat dengannya dan sering menghabiskan waktu hanya untuk sekedar minum kopi atau membaca buku di perpustakaan. Dia menaruh harap padaku dan aku belum mampu membalas harapannya, sehingga dia menjadi seorang kakak bagiku.
Seusai kelas, aku sedikit bisa bernapas lega. Setidaknya satu hal yang membuatku penat sudah berkurang. Ku langkahkan kaki ke perpustakaan dengan langkah gontai. Betapa laparnya aku, tapi Ahmed sudah menunggu di salah satu sudut di perpustakaan. “sorry, I came too late. have you been waiting long?”. Sapaku pada nya. “why your face is not excited? I know, where we must go. Lets follow me...” aku mengikutinya dari belakang dan dia sedang mengajakku ke kantin.
Seakan dia bisa menebak hal yang aku perlukan, sudah menjadi kebiasaanku ketika dia mengetahui aku tak tidur dan asyik dengan tugasku, pasti setelah kelas berakhir, aku tampak lesu dan tak bersemangat. Kami menghabiskan santapan sembari bercerita rencana liburan akhir tahun yang sebentar lagi akan tiba. Liburan dimana kami biasa menghabiskan waktu untuk mengelilingi eropa. Tapi tidak ada liburan akhir tahun, aku akan terlibat sebuah penelitian seorang profesor. Ahmed sangat menyayangkan dengan pilihan kali ini, dia memutuskan untuk pergi bergabung dengan teman-temannya.
Seusai perbincanganku dengan ahmed, aku menyempatkan diri ke laboratorium beberapa menit. Orang yang kucari sedang tak ada di laboratorium, dan kuputuskan untuk pulang. Dalam perjalanan pulang aku bertemu dengan Reva, seorang pria yang mempunyai segudang kegiatan. Lama aku tak menyapa nya setelah terakhir bertemu di acara silahturahmi mahasiswa Indonesia di Belanda.
Aku tiba di depan apartemen dan tandanya aku harus berpisah lagi pada Reva serta menjalani rutinitas yang sudah menunggu. Tak biasa nya aku mendapati Fikry menunggu di depan pintu ku, segera ku menyapanya “sudah lama menunggu?” ku membuka pintu dan mempersilahkan masuk. “belum, baru 10 menit kuq”. Ruanganku belum berubah semenjak kutinggalkan pagi tadi, dan aku bergegas membereskannya “silahkan duduk, maaf ya berantakan. Belum sempet beresin hehehe”
“tak apa. Aku pun melakukan hal yang sama ketika tugas sedang membanjiri hari-hariku.”
“aku heran ma kamu, kenapa tiap pagi kamu selalu tergesa-gesa dan tak membalas sapaanku. Kamu masih marah denganku? Aku minta maaf”.
“aku nggak marah lagi kuq, hanya ada sedikit permasalahan, tapi sudah kuselesaikan.”
“oow,,, kalau kamu mau, kamu bisa share ke aku.” Aku memberikan segelas cangkir coklat panas pada Fikry.
“terima kasih. Sil, boleh aku tanya sesuatu ?”
“silahkan, dengan senang hati. Mudah-mudahan aku bisa menjawabnya.”
“umz,,,” dia seakan berpikir untuk merangkai kata dalam beberapa detik “kamu punya hubungan apa dengan pria turki itu”.
Aku pun hanya tersenyum dan menjawab “tak ada, sebatas sahabat dan seorang kakak bagiku. Dia baik padaku. Jika kamu ada perlu dengannya, aku bisa memperkenalkannya padamu.”
“ah.. tidak ada, cuma tanya aja kuq. Tesis ku hampir selesai, rencanaku akan kembali ke indonesia bulan depan”.
“huft,, lega ya kamu hampir menyelesaikannya. Aku baru mulai penelitian tu. Masih banyak hal yang belum selesai, penatnya aku belakangan ini”
“bagaimana kalo weekend ini, kita pergi ke ZaanseSchans yukz ?”
“boleh”
“okey, aku jemput di depan pintu ya. Dan aku pamit pulang dulu, sepertinya kamu perlu istirahat”
“seph deh. Hehehe iya nie, habis lembur dan akan lembur kembali. Terima kasih atas kunjungannya”
Fikry meninggalkan apartemenku dan aku ingin membiarkan rasa kantukku terbalaskan untuk beberapa jam kedepan. Aku terbangun dari mimpi pendekku di tengah malam, dan aku segera berkutat kembali di layar notebook.
Tak terasa weekend pun datang menyapaku. Itu artinya Fikry akan mengajakku jalan-jalan seperti yang dijanjikan. Atraksi utama Zaanse Schans adalah enam kincir angin yang terletak di sepanjang sungai. Konon di masa lalu, tempat ini memiliki ribuan kincir angin. Kami mengunjungi satu per satu kincir angin tersebut. Di dalam kincir angin, terdapat informasi mengenai cara kerja dan fungsi kincir angin yang berbeda-beda.
Selain kincir angin, Zaanse Schans juga memiliki beberapa museum menarik untuk dikunjungi. Kami mendapat mendapat banyak pengetahuan baru dengan mengunjungi Zaans Museum yang terletak pada sebuah gedung modern. Di dalam museum tersebut terdapat koleksi lukisan dan foto yang memberikan ilustrasi aktivitas orang-orang di daerah tersebut pada masa lalu.
Seperti biasanya, aku tak mau kehilangan moment untuk mengabdikan panorama yang telah disuguhkan. Sesekali kamera SLR Fikry mengarahkannya padaku yang sedang larut dalam ketakjubannya. Aku hanya tersenyum dan semakin sadar kamera. Hari ini terasa sangat singkat, entah kenapa aku sangat menikmatinya. Berat hati ini untuk beranjak pulang dan berkutat pada rutinitas yang membosankan. Mau tak mau, suka tak suka. Rutinitas itu sudah menjadi amanah yang harus kuselesaikan.
Satu bulan semenjak kunjunganku ke Zaanse Schans sudah berlalu, hari ini aku mengantarkan Fikry ke bandara Schipol bersama beberapa teman. Di hari itu dia mengatakan “Ik hou van je, ik wacht op uw terugkeer in IndonesiĆ«. in ons land, zal ik met je trouwen.” Aku tak percaya dengan ucapannya. Dia akan melamarku ketika aku kembali ke negaraku. Aku pun hanya tersenyum dan berkata “someday we will meet again, keep your smile”.
Tak ada alasan bagiku untuk berlama-lama di negeri orang. Mereka menanti kepulanganku. Malam akan segera berakhir, mentari akan segera terbit dari ufuk timur, merasakan kehangatan cahaya nya. Tiba-tiba ku teringat dengan kata yang terucap oleh seorang teman “Jika sesuatu itu milik kita. sesulit apapun jalannya, apapun rintangannya. pasti tetap akan menjadi miliki kita”. Ku langkahkan kaki menuju apartemen dengan segudang tugas menanti “bedankt nederlands, je je realiseert dat de droom van mij en breng mij met iemand.”
Magelang, 25 Desember 2011 at 4.19 A.M
Terinspirasi oleh sahabat yang sedang merajut mimpinya di eropa, mimpi saya yang tertunda dan beberapa kalimat yang saya temui di blog.
0 reflection:
Post a Comment