aku mulai
mereka-reka berapa jumlah menit yang aku butuhkan untuk menemuinya. waktu ku
sangat terbatas, berbagai aktivitas menanti dan larutnya malam harus aku
pertimbangkan. kubenahi tumpukan berkas-berkas yang telah aku selesaikan
seharian ini. pikiranku terbagi menjadi dua, kuingin menemuinya dan disisi lain
tanggung jawabku pada amanah yang telah diberikan. ku pusatkan dengan
angka-angka yang tak nyata ini, aku semakin larut pada kesibukanku dan pada
akhirnya aku dapat menyelesaikannya.
" Talita,
kamu jadi menemui Fathan ?” tanya Atika
“eghh...
bingung kak. Besok ada meeting dengan General Manajer, materi belum disiapkan
kak. Talita nggak berani ambil resiko”.
“ kamu yakin
dengan pilihanmu ?”
“Insya Allah
kak” sesak dada ini ketika aku menjawab seperti itu, aku menyembunyikan
perasaan dominanku. “kak, Talita pulang dulu ya...”
Kak Atika
mengangguk dan segera menghilang dari hadapanku. Aku masih bimbang dengan
keputusan yang harus aku ambil. Terdengar lagu “kupinang kau dengan bismillah”
yang sengaja kupasang sebagai nada dering untuknya.
“assalamualaikum...”
“waalaikumsalam,
Talita, gimana pekerjaannya hari ini ? kamu bisa menemui ku kan ?”
“maaf kan aku
Fathan, aku tak bisa menemuimu. Aku belum membuat materi untuk meeting besok.
Siapa saja yang akan mengantarkanmu ?”
“Keluargaku,
dan aku mengharapkan bisa menemuimu sebelum pergi”
“Fathan, atas
ijinNya kita pasti dipertemukan dikesempatan yang lebih baik” lagi-lagi aku
menjawab seperti itu. Aku membenci pada diriku yang menganggap semuanya akan
baik-baik saja.
“aku mengerti,
okey !! sampai jumpa Talita. Mudah-mudahan aku dapat bertemu dengan dirimu”.
“hati-hati
dijalan ya, semangadh !”
“sukses ya
buat kamu, assalamualaikum”
“waalaikumsalam”
nada telepon pun terputus.
Langkah-langkah
kakiku masih terasa bimbang, ku panjatkan doa “Tuhan, apa yang harus aku
lakukan ?? jika kau ijinkan aku menemuinya, permudahkanlah aku untuk pergi,
tapi aku takut.. takut hatiku akan ternodai oleh perasaan yang seharusnya tak
ada. Jika menurutMu, aku lebih baik tak menemuinya, jagalah rasa kecewa ini.
Jangan biarkan aku larut dalam penyesalan dan berikan aku kesempatan yang
terbaik untuk menemuinya”.
Setiba di rumah,
aku melihat tumpukan buku yang menanti untuk kubaca. Kurebahkan tubuh ku ke
sofa ruang tamu. Kuperhatikan jam yang ada di dinding. Ku putuskan untuk
menemuinya, kubenahi notebook yang selalu menemaniku dan memasukkan dua buah
buku ke dalam tas.
“Aji, tolong
anter Talita ke bandara ya..”. Tanpa berkomentar banyak, Aji Dian mengantarkanku ke bandara. Segera ku ambil ponselku “Bunda, Talita nggak makan
malam di rumah ya..” bunda memotong penjelasanku “meeting lagi ?”
“engga bunda,
meetingnya besok. Tapi hari ini, Talita ingin menemui Fathan. Doakan Talita ya
bunda..”
“hati-hati ya
nak...”
Setelah
meminta ijin pada bunda, aku mulai bersikap autis yaitu berkutat dengan
notebook dan buku yang sudah aku persiapkan. Perjalanan dari singaraja ke
Denpasar membutuhkan waktu 4 jam. Mataku mulai lelah, sangat lelah karena
seharian berhadapan dengan notebook. Tak terasa aku tiba di bandara Ngurah Rai.
Tiga puluh menit lagi, kutengok di jam tanganku. Aku segera berlari mencari
sesosok pria. Aku tak melihatnya di tengah keramaian, aku putus asa. Aku
tersimpuh lelah, aku lupa makan. Ponselku berdering,, namanya muncul di layar
ukuran 100 x 60 mm.
“assalamualaikum”
“waalaikumsalam,
aku tahu kamu akan menemuiku. Sesibuk apapun kamu, kamu pasti berusaha untuk
menemuiku.”
Aku terdiam
dan mencari sesosok pria yang menjadi lawan bicaraku, tapi aku tetap saja tak
melihatnya. Aku berusaha untuk berdiri.
“kamu pasti
nggak makan siang ya ?” Fathan menjulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.
Aku pun tersenyum kecut.
“terima kasih”
“hanya kata
itu yang kamu ingin ucapkan untukku ? setelah melewati perjalanan yang
melelahkan ?”
“iya, terima
kasih aku telah diberikan kesempatan untuk menemuimu”
“seharusnya
aku yang berterima kasih, Talita...”
“kamu tak mau
ketinggalan pesawatkan ? kita bertemu lagi 2 tahun lagi”
“Atas ijinNya
2 tahun lagi aku akan melamarmu”
“tak usah
berjanji padaku, selesaikan apa yang harus kamu selesaikan. Hati-hati ya.. aku
harus pulang lagi, masih pekerjaan yang menanti.”
“aku pergi
ya..”
“iya deh
sana... cepetan pergi !!” aku segera mendorong tubuhnya agar berbalik arah.
“okey..
okey... tunggu aku 2 tahun lagi di tanggal yang sama di tempat ini ya...”
“nggak mau !!
aku pulang ya.. daaghh !!” aku pun mengulurkan tangganku sebagai salam perpisahan
dan segera meninggalkannya. Tak terasa air mata ini menetes, aku tak mau dia
melihatku menangis. Kupercepat langkahku untuk menghampiri mang Ujang yang
sedang menungguku.
Aku tiba di
Singaraja pukul 4 pagi, artinya aku tak bisa langsung merebahkan tubuhku dan
harus segera menyelesaikan materi. Aku berhasil mempresentasikan laporan
keuangan, mereka puas dengan kinerja ku. Dan aku pun dipromosikan jabatan
menarik, akan tetapi aku harus ke daerah. Aku segera menghubungi kedua orang
tua ku atas kabar baik ini. Mereka tak keberatan bila aku mutasi ke daerah.
Dua tahun
sudah berlalu, aku menghabiskan waktu di kota sorong, papua. Di kota ini, aku
belajar lebih memahami orang. Selain bekerja 5 hari dalam seminggu yang selalu
kuhabiskan dalam ruangan 5x5 meter. Aku menggunakan sisa waktu ku untuk
anak-anak SD. Mereka membuatku untuk lebih bersyukur dengan apa yang telah aku
miliki. Dan kini saatnya aku berbagi kebahagian yang aku punya dan mengajarkan
mereka untuk bermimpi.
Sore ini, aku
berangkat ke Denpasar dengan tiga orang anak didikku. Aku ingin membuktikan
janji seorang pria dua tahun yang lalu. Aku menemui di jam, tanggal dan tempat
yang sama. Ku lihat kebahagian dan kekaguman anak didik ku selama penerbangan.
Mereka tak henti-hentinya bertanya dan berdecak kagum.
Aku memastikan
bahwa aku tak terlambat atau salah jadwal. Untuk kali ini, aku yang pertama
kali melihat sosok pria itu. Dia tak datang sendiri, dengan seorang wanita. Aku
berpikiran positif, mungkin wanita itu hanya teman atau relasi nya. Aku
menghampirinya..
“assalamualaikum,
Fathan kan ?
“waalaikumsalam,
Hai Talita !! kamu datang juga, kenalkan dia istriku, Balqis” di menunjuk
wanita yang ada disebelahnya.
Jantungku
seperti berhenti berdetak dan terdapat rasa kecewa. Segera kulafalkan “astagfirullah”
berulang-ulang agar aku terhindar dari rasa kecewa yang mendalam.
“Talita.”aku
mengulurkan tanganku sebagai tanda persahabatan. “kenalkan, mereka anak asuhku
di sorong. Mereka siswa terbaik di sekolahnya dan aku berencana mengenalkan
dunia yang sesungguhnya pada mereka”.
“aku salut,
kamu benar-benar membuktikan idealismu semasa di kampus”
“karena aku
tak suka mengumbar janji, akan kupenuhi janji-janjiku. Okey, aku harus pulang
ke Singaraja. Orang tua ku sudah menunggu dan kasian anak-anak ini, mereka
perlu istirahat. Sampai jumpa di kesempatan yang lebih baik. Assalamualaikum.”
“waalaikumsalam”
Kami mengambil
arah pulang yang berlawanan. Aku memutar memori ku dua tahun lalu. Di tempat
ini, aku memohon suatu yang terbaik. Kini aku telah diberikan jawabannya. Aku
tak bisa menangis didepan anak-anak asuhku. Mataku hanya berkaca-kaca, mereka
mengerti yang aku rasa. Mereka memelukku erat, sangat erat. Demi mereka, aku
akan bertahan. Tak lama kemudian terdengar lagu “..Atas restu Allah, kuingin milikimu.
Ku berharap kau menjadi terakhir untukku. Atas restu Allah, ku mencintai
dirimu..”
Anyer, 01
september 2011 jam 01.23
0 reflection:
Post a Comment