Menghabiskan senja
di pantai adalah hal yang tak membuatku bosan. Satu tahun sudah aq pindah ke kota
ini. Semburat merah nya membuatku semakin terpesona. Duduk dikarang yang tak
basah oleh air laut, kemudian kubiarkan kakiku bermain dengan riak-riak aliran
air. Kulitku ini sudah mulai menghitam terbakar sinar matahari.
Imajinasiku melayang
jauh dan tak beraturan seperti hantaman ombak pada batu karang. Terkadang aku
memikirkan tentang kehidupanku yang tak sempurna. Dan tiba-tiba jemari ini
ingin menari-nari di lembaran sketsa yang selalu ku bawa. Kubiarkan diriku
menikmati kemauan yang datang dengan sendirinya. Aku masih belajar untuk
memaknai hidup, dan mencari tujuan dalam hidupku.
Hasil coretanku
kali ini adalah sebuah rumah di tepi pantai dengan kehangatan keluarga. Entah sudah
berapa lama aku tak merasakannya, meninggalkanku dalam kesepian. Hati ini ingin
memberontak, tapi aku tak mampu. Kupandangi sketsa itu dengan air mata yang tak
sengaja jatuh membasahinya. Aku hanyut dalam imajinasiku tak terasa matahari
telah bersembunyi di luasnya samudra.
Kuberjalan melewati
butiran pasir yang akan mengotori kakiku. Ahh.. biarlah, ucapku dalam hati. Kuletakkan
buku sketsa dalam pelukanku, kuingin lebih dekat dengan impianku. Aku mencari ipod
yang sengaja kubawa untuk menemaniku pulang ke rumah. Alunan instrumental
mengiringi langkahku. Malam ini akan seperti malam-malam yang telah aku lewati
selama 365 hari. Tak banyak yang akan ku kerjaan.
Tak terasa, aku
telah tiba di depan pintu rumahku, sepi. Aku enggan masuk ke rumahku dan aku
pun terdiam cukup lama untuk berpikir kembali. Aku ingin ada sesuatu yang
berbeda pada malam ini, berontakku dalam hati. Aku meyakinkan hatiku untuk
memberanikan melangkahkan kaki untuk putar haluan.
Aku pun pergi
menjauh dari rumah, tak tau akan kemana lagi. Aku hanya melangkahkan kaki-kaki
ku ini hingga aku merasa lelah. Aku terheran-heran dengan keadaanku seperti
ini. Ada apa dengan diriku ?? kenapa dan kenapa ? kalimat-kalimat itu terus
menghantui diriku.
Langkahku terhenti
ketika aku melihat sebuah lukisan yang menawan dengan sebuah tanda tangan di
pojok kanannya. Aku semakin mendekati canvas yang menarik perhatianku. Aku memperhatikan
dengan seksama, mengapa lukisan ini bisa berada di kota ini ? aku terheran dan
mataku mencari seseorang yang bisa kumintai keterangan.
Diam seribu bahasa
dan pikiran ini semakin tak menentu. Aku terdiam cukup lama untuk menelaah
jawaban yang telah diberikannya. Aku berusaha mempercayai ucapannya, tapi tak
bisa. Segera, aku berlari sekuat yang aku mampu. Kubiarkan buku sketsaku
terlepas dari pelukanku. Berlari sejauh-jauhnya, dan aku pun terjatuh. Dada ini
terasa sesak, aku tak mampu mengeluarkan air mata.
Kalimat
pengandaian pun menari-nari dalam otakku. Arggghhh !!! aku benci hal ini. Aku berusaha
untuk berdiri dan pulang. Aku tak peduli dengan rasa sakit akibat terjatuh. Luka
ku yang hampir mengering kembali terkelupas dan mengeluarkan darah merah yang
segar.
Dari kejauhan, aku
melihat sesosok pria menantiku di pagar rumahku. Aku mengenal sosok pria itu,
dia yang telah meninggalkan demi sebuah mimpi. Ku balikkan tubuhku untuk
menjauhi rumahku, “tapi itu rumahku, kenapa aku harus pergi dari rumahku”
pertanyaan bodoh untuk diriku sendiri.
“Clay.. tolong
dengarkan aku” suara lantang Rehan menghentikan langkahku.
“Apa lagi yang
harus kudengarkan? Bukannya kau sudah tak peduli lagi denganku?”
“ku mohon, beri
aku waktu untuk menjelaskan, apa kau pikirkan itu salah.”
“salah ??!!
Telinga ini telah mendengar, dan mata ini menjadi saksinya” aku membalikkan
tubuhku dan menatap matanya.
“Clay, semua yang
kulakukan demi kamu, dan mimpi-mimpi kita. Tapi kau dengan mudah
menyimpulkannya.”
“setelah kau
membuat hidupku tak berarti, dengan mudahnya kau katakan semua itu demi aku ?
aku berterima kasih kau telah berkorban banyak untukku, tapi untuk apa semua
itu ? tak ada artinya lagi untukku..”
“aku tlah melihat
coretan-coretan dalam buku ini.” Dia memberikan buku sketsaku dan aku merebutnya
dari genggaman tangannya. “coretanmu semakin hari semakin menunjukkan sebuah
kekuatan dan makna. Penantianmu tak akan sia-sia, Clay. Sekarang aku ada
dihadapanmu dan aku memenuhi janjiku untuk menemuimu. Masihkah tak ada pintu
maaf untukku ?”
Aku terdiam,
perasaan ini semakin berkecamuk tak menentu arahnya. Rehan melihat luka di
lututku “sudah berapa kali kau menjatuhkannya?” dia bertanya dengan rasa
khawatir dan menarik tanganku untuk masuk.
Dia masih ingat
letak kunci rumah yang sengaja ku sembunyikan di salah satu pot di depan pintu
ku. Aku berusaha melepaskan tangannya dari tanganku, tetapi genggamannya
terlalu erat untuk memberontak. “tolong lepaskan tanganmu, aku bisa berjalan
sendiri”. Dia tak melepaskannya, ditariknya sebuah kursi dan dimintainya aku
untuk duduk. “aku akan mengobati lukamu, diam dan duduk disini” kalimat
kekhawatiran yang menghilang selama satu tahun. Aku terus mengawasi gerak
geriknya yang sibuk mencari kotak P3K. Setelah dia pergi, rumah ini tak banyak
yang berubah.
Rehan mengobati
lukaku dengan hati-hati. Terjadi peperangan yang hebat dalam pikiranku, bingung
dengan apa yang harus kuperbuat. Air mataku jatuh mengenai telapak tangannya. Dia
menghentikan gerakan tangannya dan menatapku sembari berkata “Clay, maafkan aku..”
dihapusnya air mataku dengan jari telunjuknya.
Aku segera memeluk
pria yang ada dihadapanku dan membisikkan “aku memaafkanmu, bagaimanapun juga
kau adalah suamiku dan tak kan kulepas engkau untuk meninggalkanku seorang diri”.
“Terima kasih,
Clay. Aku tak akan pergi tanpamu”
Pada akhirnya, mulai
malam ini akan berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Rehan telah kembali dan
terpancarkan sebuah kebahagian di rumah yang kubangun bersama nya. Kuhabiskan malam
ini dengan mendengarkan pengalaman-pengalaman selama dia tak bersamaku. Saat aku
membuka mataku dari istirahat malamku, Rehan lah orang yang pertama kulihat
setiap paginya.
0 reflection:
Post a Comment