Mampu tersenyum kembali, itulah yang
aku rasakan malam ini. Terkadang pikiranku masih bermain-main dengan
permasalahan yang ada selama 2-3 menit. kunikmati malam minggu seindah-indahnya
yang ku bisa. humzz,,,,, tak ada gunanya aku menghindari masalah.
Aku mengambil ponsel yang kuletakkan
di atas tempat tidurku. Terlihat beberapa pesan masuk dalam layar 90x 120 mm.
Pesan itu hanya dari satu orang dan menanyakan hal yang sama sebanyak 20 pesan.
Kenapa dia selalu mau tahu apa yang aku kerjakan ? entah lah...
Kuhempaskan tubuhku ke kasur, ponsel
itu masih dalam genggamanku. ku memutar-mutarkan ponselku sembari menyusun
kata-kata untuk menjawab ke khawatirannya. Setelah aku berhasil menyusunnya
menjadi sebuah alasan, aku membaca ulang dan aku menghapusnya kembali. hal itu
aku lakukan berulang-ulang, karena aku masih menginginkan kesendirian.
Dua puluh menit sejak pesan itu
memenuhi kotak masukku, terdapat nada panggil dari nya. aku ragu untuk bercakap
dirinya. tapi aku tak tega membiarkannya dalam kecemasan yang tak berujung.
"lama banget angkatnya, kemana
aja kamu tak bisa aku hubungi selama beberapa hari ini ?" tanya nya dengan
nada marah"
aku terdiam cukup lama, "di
rumah aja".
"bohong.. !! katakan yang jujur
padaku..."
"aku di rumah, salahkah aku
ingin bebas melakukan apa saja yang aku mau. kau terlalu banyak mengaturku!!
aku benci cara mu memperlakukanku...."
"Diam kau !! aku akan tiba ke
rumahmu 15 menit lagi. tunggu aku disana."
seketika senyumku hilang kembali,
dia selalu membuatku seperti boneka nya. dia tak menghargai keinginanku,
dipaksakannya aku mengikuti semua aturan mainnya. aku merasa sudah tak ingin
bersamanya, akan tetapi hari pernikahanku sudah semakin dekat. beberapa
persiapan sudah diselesaikannya. aku tak berani membayangkannya, akan seperti
apa hidupku bersama dengan dirinya. Arghh... bunda, ijinkan aku untuk
membatalkan pernikahan itu, aku tak sanggup hidup dengan lelaki pilihanmu.
terdengar suara pintu pagar terbuka,
segera mungkin aku beranjak dari tempat tidurku dan mengintip dari jendela
kamarku. mengapa dia datang sangat cepat sekali? batinku. aku tak melihat sosok
yang menakutkan itu, sosok pria yang akan mengetuk pintu rumahku adalah sahabat
baikku ketika SMA. aku berlari membukakan pintu mendahului bunda yang sudah
mendekati pintu. aku tak mau sahabatku disuruh pulang oleh bunda. aku ingin
mengadu padanya, menuangkan polemik yang aku rasakan beberapa hari ini.
mataku berkaca-kaca ketika aku
melihat mata sahabatku "akhirnya kamu mengunjungiku, aku tak
sanggup..." air mataku mulai meleleh. dipapahnya aku duduk di bangku teras
"kamu yang sabar ya, mereka lakukan untuk kebaikan kamu"
"kebaikan bagaimana ?!
membuatku aku tertekan, mereka bilang itu baik ?"
"hey,,, aku merindukan
senyummu, semangat bermimpimu, dan kecerianmu. ayolah,,, berikan semua itu
padaku dan mereka..."
"tak akan ada semua
itu....."
"seandainya kamu tak merasa
yakin, mengapa kamu terima pinangannya ?"
"aku... aku... " aku tak
berani menjawab pertanyaannya. dia melihat jam yang ada di tangan kirinya dan
berkata "pergi yuuk... aku bawa kamera, kita lakukan apa aja yang bisa
membuatmu lebih bersemangat.."
sebelum aku menjawabnya, calon
suamiku datang dengan wajah marahnya seraya berkata "ow !! ini
alasannya....". sahabatku hanya tersenyum dan mengatakan "hay kawan!
seberapa banyak persiapan pesta pernikahannya? sahabatku ini merasa cemas
dengan persiapan pestanya, dia sangat takut ada hal yang terlewat. boleh aku
menghibur dirinya ? aku akan mengajaknya jalan sebentar, dengan senang hati
kalau kau mau ikut bersama kami."
"boleh, kau tinggalkan kami
berdua. aku perlu berbicara sebentar pada calon istriku." sahabatku
mengangguk tanda setuju dan dia menemui bunda yang sedang memasak.
Hanya tinggal aku dan sosok pria
yang kubenci.
"kamu boleh menghindariku, tapi
kamu sendiri yang telah memutuskan pernikahan ini. ada apa denganmu?"
"aku.. aku merasa ragu."
"kamu bilang ragu ? dengarkan
aku, acara ini akan tetap berlangsung. kamu boleh pergi dengan sahabatmu selama
1 jam, setelah itu kita akan mengambil kebaya dan cincin yang telah kau
pesan." dia segera meninggalkanku dan berjalan mendekati sahabatku yang tengah
bercakap bunda "selamat siang tante,," dia berlaku layaknya seorang
menantu yang baik dan dia membisikkan pada sahabatku "kau ajak dia pergi
sesuka hatimu, pulangkan ia 1 jam dari sekarang".
"yukkzz pergi..." ajak
sahabatku sembari membukakan pintu gerbang.
selama 60 menit aku bersama dengan
sahabatku, menghabiskan waktu yang pernah kita lakukan beberapa tahun silam.
aku mulai bermain dengan imajinasiku. aku membayangkan waktu yang telah aku
lewati dan mempertanyakan akankah aku merasakan sebahagia masa-masa
kesendiranku dan bersama sahabat2ku....
sahabatku mengajak ke taman terdekat
dengan rumah. Taman ini cukup asri, taman yang dipenuhi oleh anak-anak kecil
ketika sore hari. Aku lupa, sudah berapa lama aku tak mengunjungi taman ini. Taman
yang mempertemukan aku dengan sahabat yang ada disampingku sekarang.
Dia memulai sebuah pembicaraan saat
tiba di taman, “nggak seharusnya kamu merasa ragu dengannya. Aku mengerti, dia
bukan pilihanmu. Ayolaah buka kembali pintu hatimu.. dia tak sejahat dan
seburuk yang kamu kira...”
“entahlah,, aku merasa nggak nyaman
dengan dirinya. Boleh aku minta tolong padamu sobat?”
“dengan senang hati aku akan
membantumu, apa yang bisa aku bantu untukmu kawan ?
“jika memang pernikahan itu harus
terlaksana. Tolong sampaikan surat ini padanya.
Dan katakan padanya, aku akan berusaha menjadi yang terbaik untuk suamiku.”
“dan kamu harus janji padaku, jangan
pedihkan hatimu dengan penyesalan masa lalumu dan jangan kerdilkan hatimu
dengan kekhawatiran mengenai ketidakpastian masa depanmu, sehingga kamu lalai mensyukuri hari ini.”
Aku tersenyum dan mengangguk tanda
setuju. Dia memberikanku sapu tangan untuk menghapus air mataku dan mengajakku
pulang. Ku yakinkan hati ku, bahwa dia adalah pria yang kupilih untuk menemani
sisa waktuku.
Ketika aku mulai membangun mimpi itu kembali, aku
menemukannya disana. ketika aku menyusun kembali puing-puing hatiku, dia ada
disitu. Aku berharap dia membantuku mewujudkan mimpiku, membantuku membentuk
hatiku yang utuh. Sungguh, begitu besar harap itu kepadanya. Aku terlena dengan
mimpi dan harapan itu tanpa menyadari ada “sesuatu” diantara kami. Sesuatu dengan
tak mungkin untuk ku lawan seberapa kuatnya aku meyakinkannya. Sebuah prinsip
yang buatnya adalah poros. Sesuatu yang telah menjadi penghalang untuk meraihnya.
Kenapa tak sedari dulu kusadari hal ini, sehingga aku tak
perlu merasakan sesakit ini. Mungkin, inilah realita hidup yang sesungguhnya. Mimpi
tak akan berbanding lurus dengan nyata. Ketidakberanian itu menjadi pertanda,
bahwa dia tak benar-benar yakin denganku, dengan kebersamaan kami. Dan ternyata
semua tak berarti bagimu.
Tuhan, kuatkan aku atas apa yang terjadi. Jangan biarkan
aku menyesal dengan semua. Biarkan aku tetap bisa mensyukurinya.
0 reflection:
Post a Comment