Agustine Dwiputri
Saya seorang perempuan berusia 39 tahun, bekerja di sebuah perusahaan kosmetik besar. Suami saya 44 tahun, bekerja sebagai seorang manajer pemasaran di sebuah perusahaan obat. Kami memiliki 2 anak, laki-laki 14 tahun dan perempuan 9 tahun.
Posisi saya di perusahaan lumayan tinggi, manajer bagian research & development . Karena kedudukan ini, saya sering dikirim perusahaan untuk pergi ke cabang perusahaan kami di kota lain, bahkan ke luar negeri. Saya pernah dikirim sampai ke Italia untuk belajar dari rekan kami di sana. Saya sangat menikmati pekerjaan ini karena inilah cita-cita saya sejak dulu pertama bekerja, bidang yang saya sukai juga.
Permasalahan mulai muncul ketika saya sering ke luar kota dan luar negeri. Suami mulai protes karena terkesan anak-anak tidak mendapat perhatian yang cukup dari ibunya. Padahal, walaupun baru pulang kerja malam hari, saya selalu memeriksa pekerjaan rumah anak-anak, mengobrol dengan mereka tentang cerita hari itu, dan di pagi hari membangunkan dan menyiapkan keperluan sekolah mereka.
Bagi suami, apa yang saya lakukan tidak cukup untuk membimbing anak-anak. Beberapa waktu lalu suami menawarkan agar saya keluar dari pekerjaan untuk bisa membimbing anak-anak di rumah. Ibu, bagaimana jalan keluar yang harus dilakukan untuk bisa menjalankan semuanya? Saya ingin tetap bekerja dan berusaha tetap menjaga anak-anak saya sambil meyakinkan suami akan tanggung jawab saya. Terima kasih . (D)
Analisis masalah
Bagi saya, belum jelas betul apa alasan suami meminta Anda berhenti dari pekerjaan, apakah semata-mata karena keinginan dia saja atau memang ada masalah dengan kondisi anak-anak. Yang pasti, Anda merasa puas dan bisa menikmati pekerjaan di kantor. Meski Anda tidak cukup melihat adanya masalah pada anak-anak, diperlukan juga pandangan suami mengenai hal ini agar dapat diperoleh penyelesaian masalah yang lebih adil. Saya akan mengulas hal-hal umum mengenai ibu bekerja dan keluarga. Semoga D dan suami sama-sama dapat memetik manfaat dari informasi berikut.
Stereotip peran jender
Sebenarnya, istri bekerja dan berkarier di luar rumah sudah biasa terjadi. Sejak dulu kala kita sudah melihat banyak sekali perempuan berjualan di pasar, artinya gejala perempuan terjun ke dunia kerja di luar rumah telah lama ada. Hanya kebanyakan itu terjadi pada kelompok ekonomi menengah bawah, justru di kalangan sosial ekonomi menengah atas tampaknya masih banyak hal yang perlu dibenahi.
Di antaranya, masih banyak pria yang memiliki keyakinan yang ”bias” mengenai peran jendernya, misalnya bahwa hanya para suamilah yang bertugas menjadi pencari nafkah keluarga atau hanya para istrilah yang harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga atau tugas mendidik anak. Adanya stereotip peran jender yang sangat kaku dalam memilah tugas laki-laki dan perempuan ini justru dapat memicu masalah psikologis dalam kehidupan berkeluarga.
Salah satu stereotip yang banyak berkembang adalah perempuan itu bekerja keluar rumah hanya untuk mencari tambahan uang. Ide di balik itu adalah bahwa suami tetap harus pencari uang utama keluarga sehingga istri bekerja hanya untuk menyediakan beberapa embel-embel.
Namun, fakta yang terjadi adalah sebagian besar wanita bekerja karena kebutuhan ekonomi keluarga yang mencolok, sulit bagi keluarga masa kini, terutama yang hidup di kota besar dan terpapar pada modernisasi, untuk hanya mengandalkan penghasilan dari satu pihak.
Bila suami masih sangat berpegang pada stereotip tadi, dapat muncul perasaan gagal, tersaingi oleh istri, rendah diri karena merasa maskulinitasnya tidak tampil. Di lain pihak, para istri yang mempunyai penghasilan lebih besar dari suaminya juga mudah merasa hebat, tinggi hati, kemudian lebih dominan dan meremehkan suaminya karena meyakini bahwa sebetulnya mencari penghasilan itu bukanlah peran utamanya.
Kerja dan keluarga
Berikut beberapa hasil penelitian mengenai kerja dan keluarga yang diungkapkan oleh Margaret Matlin dalam bukunya, The Psychology of Women , terbitan tahun 2008:
• Topik perempuan, kerja, dan penyesuaian pada suami/anak-anak adalah kompleks. Hal ini bergantung pada berbagai variabel, seperti kualitas program penitipan anak/pengasuh, usia anak, latar belakang ekonomi keluarga, dan sensitivitas ibu terhadap kebutuhan anaknya.
• Perempuan bekerja sering mengalami ketegangan peran dalam bentuk konflik antara pekerjaan dan tanggung jawab keluarga. Namun, mereka sering mengatakan akan kehilangan identitas pekerjaan mereka jika berhenti bekerja di luar rumah.
• Tidak ada perbedaan statistik yang signifikan antara perempuan bekerja dan tidak sehubungan dengan kualitas yang dilaporkan dalam pernikahan mereka. Beberapa studi bahkan menunjukkan bahwa pernikahan lebih stabil bila wanita tersebut bekerja. Perempuan bekerja biasanya lebih bahagia dengan perkawinan mereka jika suami mereka melakukan pekerjaan rumah tangga dalam proporsi yang relatif besar.
• Pria sering merasa berhak untuk gaji yang lebih tinggi daripada yang diterima istrinya, dan tampaknya banyak pria juga merasa berhak untuk meninggalkan pekerjaan rumah tangga kepada istri.
• Ibu bekerja cenderung mendorong anak-anak mereka untuk mandiri, ibu menjadi model perempuan yang kompeten di tempat kerja. Anak-anak jadi tidak lagi mengembangkan stereotip peran jender.
• Ketika ayah melakukan pengasuhan pada anak dengan proporsi yang tinggi, anak-anak menunjukkan keterampilan kognitif dan sosial yang lebih besar daripada jika ayah jarang terlibat. Anak-anak juga lebih tinggi harga dirinya dan kurang menunjukkan masalah perilaku. Rupanya, anak-anak memperoleh manfaat dari memiliki dua orangtua yang peduli dan secara aktif terlibat dalam kehidupan mereka.
• Fakta menunjukkan bahwa ibu bekerja mengalami kesenjangan waktu luang, pekerjaan rumah tangga dan tanggung jawab pengasuhan anak yang jauh lebih besar daripada laki-laki bekerja. Perempuan tidak bisa memecahkan masalah ini dengan hanya belajar bagaimana mengelola waktu mereka lebih efektif. Pasangan perlu mengarahkan sehingga mereka dapat berbagi beban kerja yang lebih merata.
0 reflection:
Post a Comment