Wednesday, June 11, 2008

TRAINING JUDICIAL REVIEW


“PENGUJIAN UNDANG-UNDANG SECARA FORMAL DAN MATERIIL”


Trainer: Denny Indrayana
Jumat, 3 Februari 2006 pukul 07.45-09.30 wib.


Judicial Review adalah pengujian UU oleh lembaga peradilan. Di mana ada 2 lembaga peradilan yang melakukan judicial review yaitu MK dan MA. MA melakukan pengujian UU terhadap UU di atasnya. Sedangkan pengujian UU terhadap UUD 1945 dilakukan oleh MK. Selanjutnya prosedur  yudisial review telah diatur dalam peraturan perundang-undangan MK.
Bentuk permohonan dalam judicial review:
Ø  Permohonan formil: mengacu pada prosesnya, form: bentuk, pembentukannya—proses pembentukannya. Misalnya UU ketenagalistrikan yang ternyata tidak mencapai kuorum namun tetap disahkan.
Ø  Permohonan Materiil: isinya, materi muatannya. Misal apakah muatan/isi (pasal dan ayat) UU APBN bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Dalam UU APBN biaya pendidikan sebesar 5% tapi dalam UUD 1945 biaya pendidikan minimal 20% dari APBN, jadi UU APBN bertentangan dengan UUD 1945. Maka UU APBN bisa diuji oleh MK secara materiil. Jadi bertentangan atau tidak keputusan ada di tangan MK. Tetapi karena asas manfaat, kalau UU APBN itu dinyatakan batal maka yang berlaku adalah anggaran tahun sebelumnya dimana bisa saja jumlah anggarannya lebih sedikit, yang tentunya lebih menguntungkan pemerintah, maka UU APBN tersebut berlaku.
            Pemohon dalam judicial review (lihat slide).seseorang atau pihak yang menjadi pemohon yudicial review harus memikirkan dan mencantumkan kerugian konstitusional yang disebabkan oleh UU yang ‘’disengketakan’’.

Sesi Tanya Jawab
Pertanyaan 1 :
Pengujian UU lebih pada aspek hukum, bagaimana dengan aspek profesionalitas? Misalnya UU praktek kedokteran, bila diuji dari aspek hukum, bagaimana dengan aspek profesionalitas dalam kaitannya dengan orang/pihak yang berkompeten yang lebih mengerti UU tersebut, karena belum tentu orang hukum mengerti kebutuhan orang-orang kedokteran.
Jawaban: pengujian suatu UU dari aspek hokum bias dilihat dari benar atau salah.jika dikaitkan dengan aspek profesionalitas maka di persidangan bisa didatangkan ahli-ahli,karena hakim biasanya selalu mengeluh kesulitan kalau harus berhadapan dengan aspek di luar hukum tata negara sehingga mereka mendatangkan ahli-ahli yang berkompeten di bidangnya.di dalam MK, ada 2 jenis ahli yaitu saksi ahli dan ahli saksi dimana keduanya sangat bertolak belakang.saksi ahli biasanya merupakan orang atau pihak yang berkompeten di bidangnya. Lebih jelasnya di MK ada pemeriksaan penunjang alat bukti termasuk keterangan para ahli.
Pertanyaan 2   :
  1. UU BHP: apakah memang ada analisa lain yang lebih memperkuat misal aspek ekonomi, politik, dan lain-lain yang dapat menjadi kekuatan ketika diuji.
  2. MK adalah lembaga superior di Indonesia, seandainya MK yang bermasalah siapa yang akan menyelesaikan masalahnya.
Jawaban:
- (di fotokopian) lebih lanjut lagi lihat pasal yang mengatur biaya pendidikan.
- di slide kewenangan MK RI
  MK dapat dikatakan lembaga superior menurut Denny hal tersebut bisa diterima. MK mempunyai 5 kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 (lihat slide). RI adalah negara hukum maka penyelesaian masalah harus melaluil koridor hukum. Jika  kalau MK uncontrolable maka penyelesaiannya lewat koridor hukum pula, bisa juga dilihat dati ’’bangunan’’ MK yang trdeiri dari 3 pilar kekuasaan sehingga 3 pilar kekuasaan tersebut (eksekutif,legislatif dan yudikatif) juga menjalankan fungsi kontrol terhadap MK
MK merupakan lembaga supremasi dalam konteks hukum.
            :
Pertanyaan 3   :
Pasal 24—utang dlm UU BHP apakah bertentangan dengan 20% biaya pendidikan?
Pasal awal tidak dalam bentuk nirlaba, tapip dalam pasal 24 dapat berbentuk wirausaha – apakah itu bisnis?
Jawaban:
UUD 1945 tidak menyatakan larangan utang sehingga agak sulit diajukan ke MK. Adanya inkonsistensi antr pasal yang 1 dengan yang lain dalam RUU BHP.
Pertanyaan no 4          :
Dalam pasal 54 Sisdiknas, BHP berprinsip nirlaba tapi di UU pasal 3 ayat 3 menjadi 10 prinsip. Jadi prinsip-prinsip tersebut bertentangan, bagaimana menurut anda?
Jawab:
Walau UU Sisdiknas menyebutkan prinsipnya ada 2 sedang dalam UU BHP prinsipnya ada 10 maka sebenarnya jumlah prinsip tidak harus kaku,apalagi untuk bidang social(tidak ada paksaan dalam penentuan jumlah prinsip)dan ini tidak bertentangan dengan segi hukum, karena dalam MK tidak ada pengujian UU BHP thd UU SISDIKNAS, yang ada pengujian UU BHP tterhadap UUD 1945, jadi antara UU BHP dengan UU SISDIKNAS hanya ada harmonisasi.
Pertanyaan 5 :
Perbedaan mendasar dari BHMN dengan BHP
Ketika mahasiswa ingin memperjuangkan haknya, Bagaimana proses untuk menggolkan CLD ( counter legal draft) ke DPR?
Jawab:
            Dari kacamata hukum, sulit ditarik korelasinya. Mereka bermain pada wilayah interpretasi.
            Menggolkan=> advokasi dan publikasi,membuat opini publik,audience dengan DPR atau DPRD. Membangun opini-opini populis sehingga UU BHP terdesak sehingga aspirasi-aspirasi masyarakat dapat masuk ke UU BHP.
Pertanyaan 6 :
            Di RUU BHP tidak melibatkan mahasiswa, kendala-kendala dalam membuat RUU tandingan, apa yg harus ada dalam RUU  BHP agar didengar dewan?
            Harus ada opini-opini kritis, bawa ke DPR dalam forum dengar pendapat (jalur lobi) maupun demo (jalur aksi), atur advokasi masa,’’mengheadlinekan’’ draft partisipasi mahasiswa dalam RUU BHP.
Pertanyaan 7 :
            Sudah ada 3 kali pergantian RUU BHP, bagaimana prosesnya bila RUU terus berganti?
Jawab:
            Yang harus ada adalah prinsipnya, harus melist prinsip, walaupun RUU tersebut terus berganti, tapi tidak mempengaruhi,yang mendesak adalah membuat prinsip-prinsipnya, buat konsep globalnya (tingkat isu, lobi ke DPR)
Pertanyaan 8 :
            Pengajuan ke DPR  tidak efektif, bagaimana kalau mengajukn ke fraksi?
Mahasiswa main di tingkat lobi (fraksi/partai), mengangkat isu-isu yang ada. Bentuk kampanye di media massa.
pertanyaan 9 :
 Perbedaan antara judicial review,legislative  review dan eksekutif review?
Jawaban:
            Dalam judicial review maka UU diuji oleh MK, UU yang dibatalkan bisa 1/ 2 pasal, bisa semuanya,  tidak ada pasal baru karena MK bukan lembaga legislative (decision making)
                 Eksekutif review    : diuji oleh eksekutif
                 Legislatif review    : diuji oleh parlemen, amandemen 1, 2 pasal
Pertanyaan 10:
Terkait dengan pembangunan opini, bagaimana strategi di daerah-daerah di luar jawa dalam membangun opini?
Jawaban:
            Bagi-bagi tugas, mahasiswa daerah dapat menjalin kerjasama dengan pers, perluas jaringan (internal, stakeholders lain yang dapat ditarik, misalnya, dalam konteks pendidikan murah,orang tua siswa dapat ditarik, gunakan media-media yang inovatif (menulis, aksi, poster, karya ilmiah).
Dalam membangun isu-isu strategis yang berkaitan dengan isi substansi sebuah RUU, kita harus membuat strategi yang antisipatif, jangan reaktif. Bahkan dalam pengajuan judicial review,kita dapat memakai bargaining politik ( ‘’bermain’’ di tingkat lobi-lobi)

Jumat,  03 Februari 2006 Pkl 13.45 WIB
Notulensi sharing problema lembaga legislatif mahasiswa se Indonesia
-DPM sebagai representasi dari mahasiswa diharapkan bisa merangkum aspirasi mahasiswa
-legitimasi (pola hubungan) sehubungan otoritas dengan eksekutif. Dinilai lemah proses legislasinya.
-kritis juga lemah secara politis

Pertanyaan :
-bagimana hubungan dengan UKM?
Jawab: ada jatah satu kursi bg UKM di DPM
Di UnRam, masalah aturan pemira ada di DPM. Tingkat partisipasi mahasiswa mengenai politik cukup tinggi. Namun tidak memenuhi kuota pada saat ada pemira. Banyak yang inkonsisten (jarang kelihatan di rapat2) dan dipertanyakan. Pengawasan dan legislasi cukup berjalan, Namun budgeting tidak ada. KM sepenuhnya ada di rektorat. Kekurangan: partisipasi rendah dan budgedting yang kurang.
Tanggapan
IAIN Padang : kondisi di sana tentang partisipasi terhadap pemira. Jumlah mahasiswa yang sedikit hanya 5 ribu, yang daftar hanya 2 rb. Siapa yang cocok dg sistem silahkan tidak ikut dalam pemira. Yang masuk dalam DPM adalah hasil dari partai, tidak ada unsur fakultas. Pemilihan badan fakultas juga ada partai. Kendala dengan eksekutif, sikap kritis dan kontrol tetap lemah. Pemanggilan tiap menteri dilakukan tiap bulan. Kontrol terhadap BEM cukup lemah. Ketika berawal dari partai maka ada kepentingan, jika tidak sesuai dg kepentingan partai maka bisa keluar dari DPM.







LEGISLATIF DRAFTING
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Trainer: Enny Nurbaningsih


            Akan berbicara mengenai sesuatu yang tidak bisa bersifat instan. Apa sasaran yg ingin dicapai dari meteri ini? Untuk menjadi legal drafter harus mempunyai keahlian khusus yang tidak mungkin diperoleh secara instan.
Pendapat peserta; bisa membuat UU ideal
                             Ingin tahu prosesnya dan teknisnya
Apa yg dilakukan oleh DPM? Membuat UU kemahasiswaan.
Apa peraturan perundang-undangan?
Aabila berbicara mengenai teknis pembuatan UU, maka itu terlalu jauh. Ada baiknya mengetahui ruang lingkup peraturan. Dalam bahasa makro meliputi keputusan. Wilayah keputusan. Ada yang merupakan peraturan per UU. Peraturan perUU adalah seluruh peraturan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang yang bersifat umum seperti TAP MPR, UU. Diluar itu ada yg bukan peraturan perUUan, karena sifatnya individual (menyentuh subjek tertentu, orang/badan hukum), konkret dan  final. Ada peraturan perUU, peraturan kebijakan, peraturan perencanaan yaitu PP, peraturan daerah. Peraturan kebijakan merupakan sesuatu yg rumit. Misal, tentang BBM. Dibuat oleh pejabat Administrasi Negara (AN) karena ada kewenangan diskresi, tujuannya adalah karena peraturan yang dibuat tidak cukup mengatur, oleh karena itu perlu aturan untuk mengaturnya. Tetapi hanya terbatas pada kegiatan AN saja. Penetapan yang dilakukan oleh pihak AN, sifatnya konkret, final dan individual. Peraturan perencanaan mempunyai jangka waktu yg terbatas. Karena jika dibuat untuk jangka panjang maka belum tentu bisa mengakomodasi kondisi yang ada. Wujudnya bisa berupa peraturan per UU / perda. Hasil amandemen ada ketentuan yang menyatakan ada 2 lembaga MA & MK. MK : apa semua UU bisa di uji? Peraturan Dibawah UU bisa diuji di MA.maka yg bisa diuji hanya peraturan perUU.  
Aspek hirarki, mengalami banyak perubahan dengan keluarnya UU no.10 th 2004 (baca lampiranàaspek teknis). tidak dibenarkan adanya aspek2 intuisi. Hirarki yg benar :
UU 45à UU/perpuà PPà perpresà perda yg meliputi perda propinsià perda kabupaten/kotaàperaturan desa
Materi muatannya apa saja?
Mulai dari UU,  mengatur aspek2 yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Perpu à pada hakekatnya sama dg UU, tidak bisa mengatur soal kelembagaan negara. Pengaturan dengan model perpu hanya bersifat temporer. Karena hanya ada jika ada kegentingan yg memaksa & ada akuntabilitasnya, ketika DPR sudah selesai masa resesnya. Jika berlaku sepanjang waktu maka presiden dianggap sewenang-wenang.
Perpresà utk menjalankan UU sebagaimana mesitnya. PP tidak akan melahirkan PP. PP 153 th 2000 diJR, padahal tidak ada ketentuan dari UU. Tetapi PP ini lahir dari UU pendidikan nasional. Perpres ini adalah keputusan presiden, tapi mulai ada pembedaan. Ada perluasan makna dari model keputusan presiden yang lalu.
Perdaà sebelumya tidak ada regulasi di daerah karena ada sentralisasi. Sekarang Ada penegasan mengenai regulasi daerah. Perda mengatur rumah tangga daerah. Perda: menampung aspirasi daerah, dalam rangka desentralisasi. Perda mengalami persoalan mengenai substantif, karena kebanyakan yang dibuat tidak sesuai dengan misi otda. Yang muncul diarahkan pada profit yang di hasilkan dari peraturan tersebut.
 Regulasi tingkat lokal seringkali bersifat tertutup. Apabila dibiarkan akan menimbulkan kriminologen. Harus ada klasifikasi dengan cara penelitian, membuat lagi bagi hasil dari denda administrasi
Aspek yang ditimbulkan  dari hukum yang ada sanksi denda yang bersifat kriminologen kemudian hasil dari denda dibagi hasil? dulu ke kas negara sekarang masuk ke daerah. Hal ini tidak benar karena tidak menimbulkan efek jera pada masyarakat.
Konsekuensi hukum dari UU yang beranak UU, apakah itu tidak bertentangan dengan hukum?
UU yang seperti itu ada dalam UU Sisdiknas, menggambarkan UU pokok yang membawahi UU PTBHMN. Sah-sah saja. Apabila isinya dilanggar, bisa diajukan ke MK juga.

Lanjutan Sesi Sebelumnya (pkl 16.00)

            Langkah-langkah yang dapat dilakukan agar slogan suatu regulasi yaitu ”partisipatif dan aspiratif” dapat tercapai dengan suatu  strategi yang ditawarkan  (peneliti aspek sosiologis thd pengaturan di negara-negara yg mengalami proses transisi demokrasi). Jadi yg harus dipahami terlebih dahulu adalah membuat norma tidaklah mudah,  setidaknya ada 4 hal yang harus ada dalam norma yaitu perintah, larangan, pembolehan, dan perijinan. Dalam norma harus jelas ”who does what”, siapa yg melakukan apa. Yang lebih prinsip dalam norma adalah mendorong penghilangan tindakan koruptif.
            Selain itu harus jelas siapa yang memegang peranan didalamnya, dalam draft, harus dirincikan siapakah yg berperan penting dalam melakukan aturan tersebut. Lembaga apa yang harus melaksanakannya (implementing agency/IA). Bila tidak ada kejelasan RO dan IA maka peraturan itu akan mandul, contoh pembolehan poligami, tapi tidak disebutkan siapa yg diperbolehkan melakukan itu, sehingga peraturan itu menjadi kabur.
            Semakin banyak RO dan IA maka cakupannya akan semakin luas, yang semuanya harus diatur keterkaitannya sehingga semakin sulit untuk dibahas. Selain itu banyak peraturan.yang menjadi mandul karena RO-nya tidak dibahas tuntas juga IA-nya.
            Perilaku bermasalah tetap berkembang di masyarakat dengan berbagai modus operandinya, artinya dalam membuat peraturan tidak mengindahkan norma, lebih mementingkan keuntungan.
            ROCCIPI
            Faktor objektif: mengajak untuk melihat ranah sekian banyak peraturan perUU-an yang memiliki banyak korelasi. Rules dilihat dari bagaimana rumusan peraturannya, apakah ada keterkaitan dengan UU yang ada. Contoh: UU konservasi SDA, ada UU lain yang mengatur hal yang berbeda misal dibidang pertambangan yang mengkibatkan banjir, tanah longsor, dan lain-lain. Banyak UU yang baru disahkan yang sudah didorong untuk direvisi.ncang
            Aspek opportunity juga harus diperhatikan, apakah ketika norma dirancang, norma tersebut dapat meminimalkan pelaggaran?
            Aspek capacity, jangan sekali-kali membuat suatu norma yg seperti gunung es tapi tidak bisa dilaksanakan, conoth: UU lalu lintas pengguna jalan , tidak ada pengguna jalan yg pernah terkena sanksi dari UU tersebut. Harus ada penjaringan aspirasi agar tercapai norma yang deskriptif.
            Aspek communication, apakah terhadap rancangan peraturan tersebut sudah dikomunikasikan kepada seluruh aspek masyarakat (sampai ke pelosok daerah), sehingga ketika menghadapi rancangan peraturan tersebut mereka dapat mempersiapkan diri dan tidak ada masalah-masalah yang dapat terjadi dimasa depan.
            Aspek process, mencakup ketika ada perilaku bermasalah kita harus meneliti mengapa itu terjadi, tidak adakah keterlibatan dari stakeholders.
            Faktor subjektif, aspek interest: mengapa ada perilaku bermasalah, dilihat dari segi RO dan IA-nya. Apa untung ruginya bila suatu peraturan dibuat, yang berkembang selama ini di dewan hanya posting budgeting dari peraturan. Contoh UU MK tidak dapat langsung di implementasikan karena tergantung juga dari kondisi fisiknya, misalnya bangunan.
            Aspek ideology: sistem nilai apa yang berkembang dalam masyarakat ketika melakukan perilaku bermsalah, juga sistem nilai apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya. Nilai yang didorong dalam pembentukan peraturan: nilai gender (misal: KDRT).

            Sistematika pembuatan peraturan:
  1. Judul
  2. Pembukaan
  3. Batang tubuh
  4. Penutup
  5. Penjelasan
            Judul harus mencerminkan dan sinkron dengan isi dari peraturan. 3 prinsip pembuatan peraturan perUUan adalah: prinsip sosiologis (potret masyarakat yang menjadi sasaran peraturan, yuridis (kewenangan peraturan dari mana), filosofis (ideologi yang berkembang dalam masyarakat). Penjelasan umum dalam peraturan menjelaskan apa aturan politik hukum yang mendasarinya.
            Batang tubuh mencakup aspek ketentuan umum. Ketentuan umum sangat penting karena menyangkut pengaturan lembaga dan pendefinisian atau pengelaborasian dari aturan tersebut Ketentuan umum tidak membutuhkan penjelasan lagi. Asas harus mencerminkan isi masing-masing pasal. Ketentuan peralihan pada hakekatnya memberi nyawa pada peraturan yang mati.

Sesi Tanya Jawab
Nama               : Aisyah (UI)
Pertanyaan      : Apa perbedaan mendasar antara BHMN (dimana lebih mencari profit) dengan BHP?
Jawaban:
            Sama, karena universitas harus berstatus BHMN dulu baru menjadi BHP. Selain itu dapat dilakukan uji shahih pada prinsip nirlaba (pada pasal-pasalnya) apakah keuntungan yang didapat dikembalikan kepada dividen atau diberikan kepada PT demi kemajuan PT tersebut..
            Indonesia pernah mempunyai UU keadaan bahaya (sangat militeristik)—reformasi: dorongan untuk direvisi lahirlah UU penanggulangan keadaan bahaya (aspek militeristik sudah jauh berkurang) tapi banyak yang menentangnya (demo), akhirnya UU tersebut nasibnya terkatung-katung, akibatnya berlakulah UU yang lama. Karena itu sebelum memberikan stigma harus dilihat apakah prinsip-prinsip nirlaba tercermin dalam pasal-pasal tersebut.
           









PRAKTEK LEGISLATIF TRAINING
ANALISA & DRAFTING RUU BHP

Jum’at, 3 Februari 2006, 20.00 WIB
PRESENTASI
KELOMPOK 1
(Ketua kelompok: Afif-Universitas Andalas)
kelompok pertama pihak yang tergolong ke dalam RO dan IA sebagai berikut:
§  RO
Ø Pemerintah
Pemerintah yang terdiri dari pemerintah pusat dan emerintah daerah digolongkan sebagai pemegang peran, karena pemerintah merupakan pihak yang berwenang membuat kebijakan.
Ø Mwa
Mwa dalam hal ini adalah mahasiswa. Digolongkan sebagai pemegang peran, karena berperan dalam menentukan prinsip dan konsep yang dipegang oleh lembaga pendidikan tinggi.
Ø Dewan Audit
Dewan audit merupakan pemegang peran karena dewan audit berkewajiban untuk melaksanakan tugas audit dari lembaga formal.
Ø Menteri
Menteri yang terbagai atas menteri negara, menteri pendidikan, dsb berperan dalam menetapkan pertaruran terkait deng bidangnya masing-masing. Menteri pendididkan berperan dalam perumusan RUU BHP. Ketidakjelasan status perguruan tinggi, berstatus sebagai BHMN atau tidak, akan menyebabkan penyamaan kedudukan antara perguruan tinggi umum dan perguruan tinggi agama.
§  IA
Ø Pemerintah
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga digolongkan sebagai pelaksana, karena kedudukan dari pemerintah sebagai pelaku dari kebijakan, peraturan dan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah. Dimana pemerintah bertanggung jawab sebesar 20% dari APBN dan APBD nya.
Ø Masyarakat
Masyarakat merupakan murni pelaksana yang membantu terlaksananya tujuan dari kebijakan yang telah ditetapkan.
Ø Mwa
Ø Dewan Pendidikan
Dewan pendidikan digolongkan sebagai lembaga pelaksana, karena bertugas menjalankan fungsi teknisnya.
Ø Lembaga pendidikan asing

KELOMPOK 2
Ketua: Subhan ( Universitas Mataram)
§  RO (Role Occupient)
Ø Pemegang peran yang dominan dalam BHP hádala pemerintah, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
§  IA (Implementing Agency)
Ø Mwa
·      Terdiri dari senat akademik, peserta didik, orang tua.
·      Terdapat beberapa kejanggalan, yaitu belum adanya peraturan yang mengatur dengan jelas tentang pendidikan swasta.
·      Anggaran pemerintah pusat bagi penyelenggara oendidikan belum mencapai 20% dari APBN.
Ø Tim Audit

DISKUSI
KELOMPOK 2:
§  Izin masuk pergurusn tinggi asing di Indonesia akan menimbulkan persoalan, diantaranya:
·      Munculnya persaingan tingkat tinggi yang ketat, dimana sistem pendidikan Indonesia masih tertinggal, sehingga Perguruan Tinggi Negeri yang ada di Indonesia tidak dapat bersaing dengan Perguruan Tinggi Asing yang ada di Indonesia.
·      Perguruan Tinggi Asing akan menguasai seluruh pendidikan di Indonesia, karena tidak adanya kesiapan dari Perguruan Tinggi Negeri Indonesia.
·      Tidak dinamisnya kurikulum pendidikan dalam negeri akan menyebabkan, pemikiran-pemikiran asing yang masuk ke dalam Indonesia akan dapat mempengaruhi pemikiran-pemikiran dalam negeri.

KELOMPOK 1
§  Menanggapi permasalahan di atas, perlu ditinjau kembali RUU BHP pasal 7 ayat 1. Dimana pasal ini dapat dijadikan sebagai legitimasi masuknya Perguruan Tinggi Asing ke Indinesia. Perlu di perhatikan bahwa berdirinya perguruan tinggi asing ke Indonesia tidak  selalu menimbulkan dampak negatif. Juga terdapat pengaruh positifnya, diantaranya:
·      Globalisasi pendidikan
Masuknya Perguruan Tinggi Asing ke Indonesia justru akan dapat membantu meningkatkn mutu pendididkan dalam negeri.
·      Dapat meningkatkan kompetensi pendidikan dalam negeri dan meningkatkan kualitas masyarakat dalam negeri.
§  Perlu antisipasi dan perhatian yang lebih besar dari akademis dalam negeri dalam menerima dan menyaring pemikiran-pemikiran serta sistem luar negeri yang masuk ke Indonesia.
§  Mengacu pada pasal 4 ayat 3, jika ada lembaga asing yang didirikan di Indonesia, maka harus memenuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan dan dianut di Indonesia.
§  Secara politik, berdirinya Perguruan Tinggi Asing di Indonesia tentu akan menimbulkan persoalan. Tapi secara ekonomis dan akademis, hal ini tentu dapat memberikan dorongan menuju kearah yang lebih baik bagi sistem pendidikan di Indonesia.
KELOMPOK 2
§  Mengenai dewan audit dan Mwa yang digolongkan ke dalam RO (role occupient). Mengapa keduanya digolongkan sebagai pemegang peran?.
KELOMPOK 1
§  Lembaga pendidikan asing dan karyawan BHP tidak digolongkan kedalam IA, karena menyambut era globalisasi yang akan membawa banyak perubahan. Dan BHP tentunya memiliki format yang berbeda dimasa yang akan datang.
§  DPR tidak digolongkan ke dalam RO, karena DPR merupakan pembuat RUU.
§  Dewan audit dan Mwa digolongkan sebagai RO, karena dalam hal ini Mwa adalah perguruan tinggi yang akan membawa perubahan di masa yang akan datang. Sementara dewan audit memiliki wewenang audit sendiri, seperti dalam pasal 15 RUU BHP.
§  Menteri bukan murni sebagai RO, karena ia memiliki tanggung jawab dalam oenyelenggaraan pendidikan.

KELOMPOK 2
§  Tidak dimasukkannya pemerintah dan DPR ke dalam IA, karena hal ini kami anggap ”sah-sah saja”.





 signature

0 reflection:

Post a Comment