“PENGUJIAN UNDANG-UNDANG SECARA FORMAL DAN MATERIIL”
Trainer: Denny Indrayana
Jumat, 3 Februari
2006 pukul 07.45-09.30 wib.
Judicial Review adalah
pengujian UU oleh lembaga peradilan. Di mana ada 2 lembaga peradilan yang
melakukan judicial review yaitu MK dan MA. MA melakukan pengujian UU terhadap
UU di atasnya. Sedangkan pengujian UU terhadap UUD 1945 dilakukan oleh MK.
Selanjutnya prosedur yudisial review
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan MK.
Bentuk permohonan dalam judicial review:
Ø Permohonan formil: mengacu pada prosesnya, form: bentuk,
pembentukannya—proses pembentukannya. Misalnya UU ketenagalistrikan yang
ternyata tidak mencapai kuorum namun tetap disahkan.
Ø Permohonan Materiil: isinya, materi
muatannya. Misal apakah
muatan/isi (pasal dan ayat) UU APBN bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak.
Dalam UU APBN biaya pendidikan sebesar 5% tapi dalam UUD 1945 biaya pendidikan
minimal 20% dari APBN, jadi UU APBN bertentangan dengan UUD 1945. Maka UU APBN
bisa diuji oleh MK secara materiil. Jadi bertentangan atau tidak keputusan ada
di tangan MK. Tetapi karena asas manfaat, kalau UU APBN itu dinyatakan batal
maka yang berlaku adalah anggaran tahun sebelumnya dimana bisa saja jumlah
anggarannya lebih sedikit, yang tentunya lebih menguntungkan pemerintah, maka
UU APBN tersebut berlaku.
Pemohon
dalam judicial review (lihat slide).seseorang atau pihak yang menjadi pemohon
yudicial review harus memikirkan dan mencantumkan kerugian konstitusional yang
disebabkan oleh UU yang ‘’disengketakan’’.
Sesi Tanya Jawab
Pertanyaan 1 :
Pengujian UU lebih pada aspek hukum, bagaimana
dengan aspek profesionalitas? Misalnya UU praktek kedokteran, bila diuji dari
aspek hukum, bagaimana dengan aspek profesionalitas dalam kaitannya dengan
orang/pihak yang berkompeten yang lebih mengerti UU tersebut, karena belum
tentu orang hukum mengerti kebutuhan orang-orang kedokteran.
Jawaban: pengujian suatu UU dari aspek hokum bias
dilihat dari benar atau salah.jika dikaitkan dengan aspek profesionalitas maka
di persidangan bisa didatangkan ahli-ahli,karena hakim biasanya selalu mengeluh
kesulitan kalau harus berhadapan dengan aspek di luar hukum tata negara sehingga
mereka mendatangkan ahli-ahli yang berkompeten di bidangnya.di dalam MK, ada 2
jenis ahli yaitu saksi ahli dan ahli saksi dimana keduanya sangat bertolak
belakang.saksi ahli biasanya merupakan orang atau pihak yang berkompeten di
bidangnya. Lebih jelasnya di MK ada pemeriksaan penunjang alat bukti termasuk
keterangan para ahli.
Pertanyaan 2 :
- UU BHP: apakah memang ada analisa lain yang lebih memperkuat misal aspek ekonomi, politik, dan lain-lain yang dapat menjadi kekuatan ketika diuji.
- MK adalah lembaga superior di Indonesia, seandainya MK yang bermasalah siapa yang akan menyelesaikan masalahnya.
Jawaban:
- (di fotokopian) lebih lanjut lagi lihat pasal yang mengatur biaya
pendidikan.
- di slide kewenangan MK RI
MK dapat
dikatakan lembaga superior menurut Denny hal tersebut bisa diterima. MK
mempunyai 5 kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 (lihat slide). RI adalah
negara hukum maka penyelesaian masalah harus melaluil koridor hukum. Jika kalau MK uncontrolable maka
penyelesaiannya lewat koridor hukum pula, bisa juga dilihat dati ’’bangunan’’
MK yang trdeiri dari 3 pilar kekuasaan sehingga 3 pilar kekuasaan tersebut
(eksekutif,legislatif dan yudikatif) juga menjalankan fungsi kontrol terhadap
MK
MK merupakan lembaga supremasi dalam konteks hukum.
:
Pertanyaan 3 :
Pasal 24—utang dlm UU BHP apakah bertentangan dengan
20% biaya pendidikan?
Pasal awal tidak dalam bentuk nirlaba, tapip dalam
pasal 24 dapat berbentuk wirausaha – apakah itu bisnis?
Jawaban:
UUD 1945 tidak menyatakan larangan utang sehingga
agak sulit diajukan ke MK. Adanya inkonsistensi antr pasal yang 1 dengan yang
lain dalam RUU BHP.
Pertanyaan no 4 :
Dalam pasal 54 Sisdiknas, BHP
berprinsip nirlaba tapi di UU pasal 3 ayat 3 menjadi 10 prinsip. Jadi
prinsip-prinsip tersebut bertentangan, bagaimana menurut anda?
Jawab:
Walau UU Sisdiknas menyebutkan
prinsipnya ada 2 sedang dalam UU BHP prinsipnya ada 10 maka sebenarnya jumlah
prinsip tidak harus kaku,apalagi untuk bidang social(tidak ada paksaan dalam
penentuan jumlah prinsip)dan ini tidak bertentangan dengan segi hukum, karena
dalam MK tidak ada pengujian UU BHP thd UU SISDIKNAS, yang ada pengujian UU BHP
tterhadap UUD 1945, jadi antara UU BHP dengan UU SISDIKNAS hanya ada
harmonisasi.
Pertanyaan 5 :
Perbedaan mendasar dari BHMN dengan BHP
Ketika mahasiswa ingin memperjuangkan haknya, Bagaimana
proses untuk menggolkan CLD ( counter legal draft) ke DPR?
Jawab:
Dari kacamata hukum, sulit ditarik
korelasinya. Mereka bermain pada wilayah interpretasi.
Menggolkan=>
advokasi dan publikasi,membuat opini publik,audience dengan DPR atau DPRD.
Membangun opini-opini populis sehingga UU BHP terdesak sehingga
aspirasi-aspirasi masyarakat dapat masuk ke UU BHP.
Pertanyaan 6 :
Di
RUU BHP tidak melibatkan mahasiswa, kendala-kendala dalam membuat RUU tandingan,
apa yg harus ada dalam RUU BHP agar
didengar dewan?
Harus
ada opini-opini kritis, bawa ke DPR dalam forum dengar pendapat (jalur lobi)
maupun demo (jalur aksi), atur advokasi masa,’’mengheadlinekan’’ draft
partisipasi mahasiswa dalam RUU BHP.
Pertanyaan 7 :
Sudah
ada 3 kali pergantian RUU BHP, bagaimana prosesnya bila RUU terus berganti?
Jawab:
Yang
harus ada adalah prinsipnya, harus melist prinsip, walaupun RUU tersebut
terus berganti, tapi tidak mempengaruhi,yang mendesak adalah membuat prinsip-prinsipnya,
buat konsep globalnya (tingkat isu, lobi ke DPR)
Pertanyaan 8 :
Pengajuan
ke DPR tidak efektif, bagaimana kalau
mengajukn ke fraksi?
Mahasiswa main di tingkat lobi (fraksi/partai),
mengangkat isu-isu yang ada. Bentuk kampanye di media massa.
pertanyaan
9 :
Perbedaan antara judicial
review,legislative review dan eksekutif
review?
Jawaban:
Dalam
judicial review maka UU diuji oleh MK, UU yang dibatalkan bisa 1/ 2 pasal, bisa
semuanya, tidak ada pasal baru karena MK
bukan lembaga legislative (decision making)
Eksekutif review : diuji oleh eksekutif
Legislatif review : diuji oleh parlemen, amandemen 1, 2 pasal
Pertanyaan 10:
Terkait dengan pembangunan opini, bagaimana
strategi di daerah-daerah di luar jawa dalam membangun opini?
Jawaban:
Bagi-bagi
tugas, mahasiswa daerah dapat menjalin kerjasama dengan pers, perluas jaringan
(internal, stakeholders lain yang dapat ditarik, misalnya, dalam konteks
pendidikan murah,orang tua siswa dapat ditarik, gunakan media-media yang
inovatif (menulis, aksi, poster, karya ilmiah).
Dalam membangun isu-isu
strategis yang berkaitan dengan isi substansi sebuah RUU, kita harus membuat
strategi yang antisipatif, jangan reaktif. Bahkan dalam pengajuan judicial
review,kita dapat memakai bargaining politik ( ‘’bermain’’ di tingkat
lobi-lobi)
Jumat, 03
Februari 2006 Pkl 13.45 WIB
Notulensi
sharing problema lembaga legislatif mahasiswa se Indonesia
-DPM sebagai representasi dari mahasiswa
diharapkan bisa merangkum aspirasi mahasiswa
-legitimasi (pola hubungan) sehubungan otoritas dengan
eksekutif. Dinilai lemah proses legislasinya.
-kritis juga lemah secara politis
Pertanyaan :
-bagimana hubungan dengan UKM?
Jawab: ada jatah satu kursi bg UKM di DPM
Di UnRam, masalah aturan pemira ada di DPM.
Tingkat partisipasi mahasiswa mengenai politik cukup tinggi. Namun tidak
memenuhi kuota pada saat ada pemira. Banyak yang inkonsisten (jarang kelihatan
di rapat2) dan dipertanyakan. Pengawasan dan legislasi cukup berjalan, Namun
budgeting tidak ada. KM
sepenuhnya ada di rektorat. Kekurangan: partisipasi rendah dan budgedting yang
kurang.
Tanggapan
IAIN Padang : kondisi di sana tentang partisipasi
terhadap pemira. Jumlah mahasiswa yang sedikit hanya 5 ribu, yang daftar hanya
2 rb. Siapa yang cocok dg sistem silahkan tidak ikut dalam pemira. Yang masuk dalam
DPM adalah hasil dari partai, tidak ada unsur fakultas. Pemilihan badan fakultas
juga ada partai. Kendala dengan eksekutif, sikap kritis dan kontrol tetap
lemah. Pemanggilan tiap menteri dilakukan tiap bulan. Kontrol terhadap BEM
cukup lemah. Ketika berawal dari partai maka ada kepentingan, jika tidak sesuai
dg kepentingan partai maka bisa keluar dari DPM.
LEGISLATIF
DRAFTING
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Trainer: Enny Nurbaningsih
Akan
berbicara mengenai sesuatu yang tidak bisa bersifat instan. Apa sasaran yg ingin dicapai dari meteri
ini? Untuk menjadi legal drafter harus mempunyai keahlian khusus yang tidak
mungkin diperoleh secara instan.
Pendapat peserta; bisa membuat UU ideal
Ingin tahu prosesnya dan teknisnya
Apa yg dilakukan oleh DPM? Membuat UU kemahasiswaan.
Apa peraturan perundang-undangan?
Aabila berbicara mengenai teknis pembuatan UU,
maka itu terlalu jauh. Ada
baiknya mengetahui ruang lingkup peraturan. Dalam bahasa makro meliputi
keputusan. Wilayah keputusan. Ada yang merupakan peraturan per UU. Peraturan
perUU adalah seluruh peraturan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang yang
bersifat umum seperti TAP MPR, UU. Diluar itu ada yg bukan peraturan perUUan, karena
sifatnya individual (menyentuh subjek tertentu, orang/badan hukum), konkret dan
final. Ada peraturan perUU, peraturan
kebijakan, peraturan perencanaan yaitu PP, peraturan daerah. Peraturan kebijakan merupakan sesuatu yg rumit. Misal, tentang BBM.
Dibuat oleh pejabat Administrasi Negara (AN) karena ada kewenangan diskresi,
tujuannya adalah karena peraturan yang dibuat tidak cukup mengatur, oleh karena
itu perlu aturan untuk mengaturnya. Tetapi hanya terbatas pada kegiatan AN
saja. Penetapan yang dilakukan oleh pihak AN, sifatnya konkret, final dan
individual. Peraturan perencanaan mempunyai jangka waktu yg terbatas. Karena jika
dibuat untuk jangka panjang maka belum tentu bisa mengakomodasi kondisi yang
ada. Wujudnya bisa berupa peraturan per UU / perda. Hasil amandemen ada
ketentuan yang menyatakan ada 2 lembaga MA & MK. MK : apa semua UU bisa di uji? Peraturan Dibawah
UU bisa diuji di MA.maka yg bisa diuji hanya peraturan perUU.
Aspek hirarki, mengalami banyak perubahan dengan keluarnya UU
no.10 th 2004 (baca lampiranàaspek teknis). tidak dibenarkan adanya
aspek2 intuisi. Hirarki yg benar :
UU 45à UU/perpuà PPà perpresà perda yg meliputi perda propinsià perda kabupaten/kotaàperaturan desa
Materi muatannya apa saja?
Mulai dari UU, mengatur aspek2 yang menyangkut hajat hidup orang
banyak.
Perpu à pada hakekatnya sama dg UU, tidak bisa
mengatur soal kelembagaan negara. Pengaturan dengan model perpu hanya bersifat
temporer. Karena hanya ada jika ada kegentingan yg memaksa & ada
akuntabilitasnya, ketika DPR sudah selesai masa resesnya. Jika berlaku
sepanjang waktu maka presiden dianggap sewenang-wenang.
Perpresà utk menjalankan UU sebagaimana mesitnya. PP tidak akan melahirkan PP. PP 153 th
2000 diJR, padahal tidak ada ketentuan dari UU. Tetapi PP ini lahir dari UU pendidikan
nasional. Perpres ini adalah keputusan presiden, tapi mulai ada pembedaan. Ada
perluasan makna dari model keputusan presiden yang lalu.
Perdaà sebelumya tidak ada regulasi di daerah karena
ada sentralisasi. Sekarang Ada penegasan mengenai regulasi daerah. Perda
mengatur rumah tangga daerah. Perda: menampung aspirasi daerah, dalam rangka
desentralisasi. Perda
mengalami persoalan mengenai substantif, karena kebanyakan yang dibuat tidak
sesuai dengan misi otda. Yang muncul diarahkan pada profit yang di hasilkan dari
peraturan tersebut.
Regulasi tingkat lokal seringkali bersifat
tertutup. Apabila dibiarkan akan menimbulkan kriminologen. Harus ada
klasifikasi dengan cara penelitian, membuat lagi bagi hasil dari denda administrasi
Aspek yang ditimbulkan dari hukum yang ada sanksi denda yang
bersifat kriminologen kemudian hasil dari denda dibagi hasil? dulu ke kas
negara sekarang masuk ke daerah. Hal ini tidak benar karena tidak menimbulkan
efek jera pada masyarakat.
Konsekuensi hukum dari UU yang beranak UU, apakah
itu tidak bertentangan dengan hukum?
UU yang seperti itu ada dalam UU Sisdiknas,
menggambarkan UU pokok yang membawahi UU PTBHMN. Sah-sah saja. Apabila isinya dilanggar, bisa
diajukan ke MK juga.
Lanjutan Sesi Sebelumnya (pkl 16.00)
Langkah-langkah
yang dapat dilakukan agar slogan suatu regulasi yaitu ”partisipatif dan
aspiratif” dapat tercapai dengan suatu strategi yang ditawarkan (peneliti aspek sosiologis thd pengaturan di
negara-negara yg mengalami proses transisi demokrasi). Jadi yg harus dipahami
terlebih dahulu adalah membuat norma tidaklah mudah, setidaknya ada 4 hal yang harus ada dalam
norma yaitu perintah, larangan, pembolehan, dan perijinan. Dalam norma harus jelas ”who does what”, siapa yg melakukan apa. Yang lebih prinsip dalam norma adalah
mendorong penghilangan tindakan koruptif.
Selain
itu harus jelas siapa yang memegang peranan didalamnya, dalam draft, harus
dirincikan siapakah yg berperan penting dalam melakukan aturan tersebut.
Lembaga apa yang harus melaksanakannya (implementing agency/IA).
Bila tidak ada kejelasan RO dan IA maka peraturan itu akan mandul, contoh
pembolehan poligami, tapi tidak disebutkan siapa yg diperbolehkan melakukan
itu, sehingga peraturan itu menjadi kabur.
Semakin
banyak RO dan IA maka cakupannya akan semakin luas, yang semuanya harus diatur
keterkaitannya sehingga semakin sulit untuk dibahas. Selain itu banyak
peraturan.yang menjadi mandul karena RO-nya tidak dibahas tuntas juga IA-nya.
Perilaku
bermasalah tetap berkembang di masyarakat dengan berbagai modus operandinya,
artinya dalam membuat peraturan tidak mengindahkan norma, lebih mementingkan
keuntungan.
ROCCIPI
Faktor
objektif: mengajak untuk melihat ranah sekian banyak peraturan perUU-an yang
memiliki banyak korelasi. Rules dilihat dari bagaimana rumusan peraturannya,
apakah ada keterkaitan dengan UU yang ada. Contoh: UU konservasi SDA, ada UU
lain yang mengatur hal yang berbeda misal dibidang pertambangan yang mengkibatkan
banjir, tanah longsor, dan lain-lain. Banyak UU yang baru disahkan yang sudah
didorong untuk direvisi.ncang
Aspek
opportunity juga harus diperhatikan, apakah ketika norma dirancang,
norma tersebut dapat meminimalkan pelaggaran?
Aspek capacity, jangan sekali-kali membuat suatu norma yg seperti
gunung es tapi tidak bisa dilaksanakan, conoth: UU lalu lintas pengguna jalan ,
tidak ada pengguna jalan yg pernah terkena sanksi dari UU tersebut. Harus ada
penjaringan aspirasi agar tercapai norma yang deskriptif.
Aspek communication,
apakah terhadap rancangan peraturan tersebut sudah dikomunikasikan kepada seluruh
aspek masyarakat (sampai ke pelosok daerah), sehingga ketika menghadapi
rancangan peraturan tersebut mereka dapat mempersiapkan diri dan tidak ada masalah-masalah
yang dapat terjadi dimasa depan.
Aspek process,
mencakup ketika ada perilaku bermasalah kita harus meneliti mengapa itu terjadi,
tidak adakah keterlibatan dari stakeholders.
Faktor subjektif, aspek interest:
mengapa ada perilaku bermasalah, dilihat dari segi RO dan IA-nya. Apa untung
ruginya bila suatu peraturan dibuat, yang berkembang selama ini di dewan hanya
posting budgeting dari peraturan. Contoh UU MK tidak dapat langsung di implementasikan
karena tergantung juga dari kondisi fisiknya, misalnya bangunan.
Aspek
ideology: sistem nilai apa yang berkembang dalam masyarakat ketika
melakukan perilaku bermsalah, juga sistem nilai apa yang harus dilakukan untuk
mengatasinya. Nilai yang didorong dalam pembentukan peraturan: nilai gender
(misal: KDRT).
Sistematika
pembuatan peraturan:
- Judul
- Pembukaan
- Batang
tubuh
- Penutup
- Penjelasan
Judul
harus mencerminkan dan sinkron dengan isi dari peraturan. 3 prinsip pembuatan
peraturan perUUan adalah: prinsip sosiologis (potret masyarakat yang menjadi
sasaran peraturan, yuridis (kewenangan peraturan dari mana), filosofis
(ideologi yang berkembang dalam masyarakat). Penjelasan umum dalam peraturan
menjelaskan apa aturan politik hukum yang mendasarinya.
Batang
tubuh mencakup aspek ketentuan umum. Ketentuan umum sangat penting karena
menyangkut pengaturan lembaga dan pendefinisian atau pengelaborasian dari
aturan tersebut Ketentuan umum tidak membutuhkan penjelasan lagi. Asas harus
mencerminkan isi masing-masing pasal. Ketentuan peralihan pada hakekatnya
memberi nyawa pada peraturan yang mati.
Sesi Tanya Jawab
Nama :
Aisyah (UI)
Pertanyaan :
Apa perbedaan mendasar antara BHMN (dimana lebih mencari profit) dengan BHP?
Jawaban:
Sama,
karena universitas harus berstatus BHMN dulu baru menjadi BHP. Selain itu dapat
dilakukan uji shahih pada prinsip nirlaba (pada pasal-pasalnya) apakah
keuntungan yang didapat dikembalikan kepada dividen atau diberikan kepada PT
demi kemajuan PT tersebut..
Indonesia
pernah mempunyai UU keadaan bahaya (sangat militeristik)—reformasi: dorongan untuk
direvisi lahirlah UU penanggulangan keadaan bahaya (aspek militeristik sudah
jauh berkurang) tapi banyak yang menentangnya (demo), akhirnya UU tersebut
nasibnya terkatung-katung, akibatnya berlakulah UU yang lama. Karena itu sebelum
memberikan stigma harus dilihat apakah prinsip-prinsip nirlaba tercermin dalam
pasal-pasal tersebut.
PRAKTEK LEGISLATIF TRAINING
ANALISA & DRAFTING RUU BHP
Jum’at, 3 Februari 2006, 20.00 WIB
PRESENTASI
KELOMPOK 1
(Ketua kelompok: Afif-Universitas Andalas)
kelompok pertama pihak yang tergolong ke dalam RO
dan IA sebagai berikut:
§ RO
Ø Pemerintah
Pemerintah yang terdiri dari
pemerintah pusat dan emerintah daerah digolongkan sebagai pemegang peran,
karena pemerintah merupakan pihak yang berwenang membuat kebijakan.
Ø Mwa
Mwa dalam hal ini adalah
mahasiswa. Digolongkan sebagai pemegang peran, karena berperan dalam menentukan
prinsip dan konsep yang dipegang oleh lembaga pendidikan tinggi.
Ø Dewan Audit
Dewan audit merupakan pemegang
peran karena dewan audit berkewajiban untuk melaksanakan tugas audit dari
lembaga formal.
Ø Menteri
Menteri yang terbagai atas
menteri negara, menteri pendidikan, dsb berperan dalam menetapkan pertaruran
terkait deng bidangnya masing-masing. Menteri pendididkan berperan dalam
perumusan RUU BHP. Ketidakjelasan status perguruan tinggi, berstatus sebagai
BHMN atau tidak, akan menyebabkan penyamaan kedudukan antara perguruan tinggi
umum dan perguruan tinggi agama.
§ IA
Ø Pemerintah
Pemerintah pusat dan
pemerintah daerah juga digolongkan sebagai pelaksana, karena kedudukan dari
pemerintah sebagai pelaku dari kebijakan, peraturan dan perundang-undangan yang
dibuat oleh pemerintah. Dimana pemerintah bertanggung jawab sebesar 20% dari
APBN dan APBD nya.
Ø Masyarakat
Masyarakat merupakan murni
pelaksana yang membantu terlaksananya tujuan dari kebijakan yang telah
ditetapkan.
Ø Mwa
Ø Dewan Pendidikan
Dewan pendidikan digolongkan
sebagai lembaga pelaksana, karena bertugas menjalankan fungsi teknisnya.
Ø Lembaga pendidikan asing
KELOMPOK 2
Ketua: Subhan ( Universitas Mataram)
§ RO (Role Occupient)
Ø Pemegang peran yang dominan dalam BHP
hádala pemerintah, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
§ IA (Implementing Agency)
Ø Mwa
· Terdiri dari senat akademik, peserta
didik, orang tua.
· Terdapat beberapa kejanggalan, yaitu belum
adanya peraturan yang mengatur dengan jelas tentang pendidikan swasta.
· Anggaran pemerintah pusat bagi
penyelenggara oendidikan belum mencapai 20% dari APBN.
Ø Tim Audit
DISKUSI
KELOMPOK 2:
§ Izin masuk pergurusn tinggi asing di
Indonesia akan menimbulkan persoalan, diantaranya:
· Munculnya persaingan tingkat tinggi yang
ketat, dimana sistem pendidikan Indonesia masih tertinggal, sehingga Perguruan
Tinggi Negeri yang ada di Indonesia tidak dapat bersaing dengan Perguruan
Tinggi Asing yang ada di Indonesia.
· Perguruan Tinggi Asing akan menguasai
seluruh pendidikan di Indonesia, karena tidak adanya kesiapan dari Perguruan
Tinggi Negeri Indonesia.
· Tidak dinamisnya kurikulum pendidikan
dalam negeri akan menyebabkan, pemikiran-pemikiran asing yang masuk ke dalam
Indonesia akan dapat mempengaruhi pemikiran-pemikiran dalam negeri.
KELOMPOK 1
§ Menanggapi permasalahan di atas, perlu
ditinjau kembali RUU BHP pasal 7 ayat 1. Dimana pasal ini dapat dijadikan
sebagai legitimasi masuknya Perguruan Tinggi Asing ke Indinesia. Perlu di
perhatikan bahwa berdirinya perguruan tinggi asing ke Indonesia tidak selalu menimbulkan dampak negatif. Juga
terdapat pengaruh positifnya, diantaranya:
· Globalisasi pendidikan
Masuknya Perguruan Tinggi
Asing ke Indonesia justru akan dapat membantu meningkatkn mutu pendididkan
dalam negeri.
· Dapat meningkatkan kompetensi pendidikan
dalam negeri dan meningkatkan kualitas masyarakat dalam negeri.
§ Perlu antisipasi dan perhatian yang lebih
besar dari akademis dalam negeri dalam menerima dan menyaring
pemikiran-pemikiran serta sistem luar negeri yang masuk ke Indonesia.
§ Mengacu pada pasal 4 ayat 3, jika ada
lembaga asing yang didirikan di Indonesia, maka harus memenuhi aturan-aturan
yang telah ditetapkan dan dianut di Indonesia.
§ Secara politik, berdirinya Perguruan
Tinggi Asing di Indonesia tentu akan menimbulkan persoalan. Tapi secara
ekonomis dan akademis, hal ini tentu dapat memberikan dorongan menuju kearah
yang lebih baik bagi sistem pendidikan di Indonesia.
KELOMPOK 2
§ Mengenai dewan audit dan Mwa yang
digolongkan ke dalam RO (role occupient). Mengapa keduanya digolongkan
sebagai pemegang peran?.
KELOMPOK 1
§ Lembaga pendidikan asing dan karyawan BHP
tidak digolongkan kedalam IA, karena menyambut era globalisasi yang akan
membawa banyak perubahan. Dan BHP tentunya memiliki format yang berbeda dimasa
yang akan datang.
§ DPR tidak digolongkan ke dalam RO, karena
DPR merupakan pembuat RUU.
§ Dewan audit dan Mwa digolongkan sebagai
RO, karena dalam hal ini Mwa adalah perguruan tinggi yang akan membawa
perubahan di masa yang akan datang. Sementara dewan audit memiliki wewenang
audit sendiri, seperti dalam pasal 15 RUU BHP.
§ Menteri bukan murni sebagai RO, karena ia
memiliki tanggung jawab dalam oenyelenggaraan pendidikan.
KELOMPOK 2
§ Tidak dimasukkannya pemerintah dan DPR ke
dalam IA, karena hal ini kami anggap ”sah-sah saja”.
0 reflection:
Post a Comment