A.
Konflik
di Palestina
Konflik
Israel-Palestina bukan sebuah konflik dua sisi yang sederhana, seolah-olah
seluruh bangsa Israel (atau bahkan seluruh orang Yahudi yang berkebangsaan
Israel) memiliki satu pandangan yang sama, sementara seluruh bangsa Palestina
memiliki pandangan yang sebaliknya. Di kedua komunitas terdapat orang-orang dan
kelompok-kelompok yang menganjurkan penyingkiran teritorial total dari
komunitas yang lainnya, sebagian menganjurkan solusi dua negara, dan sebagian
lagi menganjurkan solusi dua bangsa dengan satu negara sekular yang mencakup
wilayah Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.
Selama ini telah
terjadi konflik yang penuh kekerasan, dengan berbagai tingkat intensitasnya dan
konflik gagasan, tujuan, dan prinsip-prinsip yang berada di balik semuanya.
Berbagai kesempatan di kedua belah pihak, telah muncul kelompok-kelompok yang
berbeda pendapat dalam berbagai tingkatannya tentang penganjuran atau
penggunaan taktik-taktik kekerasan, anti kekerasan yang aktif, dll. Ada pula
orang-orang yang bersimpati dengan tujuan-tujuan dari pihak yang satu atau yang
lainnya, walaupun itu tidak berarti mereka merangkul taktik-taktik yang telah
digunakan demi tujuan-tujuan tersebut. Ada pula orang-orang yang merangkul
sebagian dari kedua belah pihak, dan menyebutkan "kedua belah" pihak
itu sendiri adalah suatu penyederhanaan: Al-Fatah dan Hamas saling berbeda pendapat
tentang tujuan bagi bangsa Palestina. Hal yang sama dapat digunakan tentang
berbagai partai politik Israel, meskipun pembicaraannya dibatasi pada
partai-partai Yahudi Israel.
Apabila
diringkas ada dua penyebab terkatung-katungnya penyelesaian konflik antara
Palestina dan Israel, yakni:
1.
Perbedaan yang menonjol serta prinsip berupa
pengakuan akan keberadaan kedua negara dan bangsa tersebut di mata mereka
sendiri khususnya, dan di mata negara-negara lain di dunia termasuk Amerika
Serikat yang sampai saat ini masih berpihak kepada pemerintah Israel.
2.
Kedudukan kota Jerusalem dengan mesjid Al
Aqsanya sebagai tempat ibadah dan bersejarah bagi kedua bangsa yang secara umum
berbeda agama tersebut.
Dunia arab dan
dunia Islam memandang bangsa Palestina adalah pemilik sah tanah air mereka.
Sedangkan bangsa Yahudi adalah bangsa yang tidak memiliki tanah air dan menolak
serta keluar dari tanah perjanjian (Holy
Land) yang dijanjikan Tuhan sesuai dengan berita di kitab suci.
Kedaulatan
bangsa Palestina dengan berdirinya negara Palestina merdeka yang diproklamirkan
di Aljazair ternyata tidak sepenuhnya diakui oleh Israel. Israel menganggap
Jerusalem dan Gaza sebagai bagian dari tanah perjanjian seperti yang disebutkan
di dalam kitab suci mereka, yang masih dikuasai oleh bangsa Palestina. Inilah
alasan kenapa bangsa Yahudi dengan semangat zionismenya lebih memilih tanah
Palestina sebagai tempat untuk mendirikan negara.
Amerika Serikat
masih menerapkan standar ganda dalam permasalahan ini. Amerika Serikat sebagai
anggota dewan keamanan PBB mengakui legalitas negara Palestina, namun di sisi
lain membantu Israel secara politik, militer dan ekonomi untuk menguasai
Palestina.
Dunia arab dan
Islam menganggap berdirinya negara Israel adalah bentuk dari pemaksaan atas
keberadaan orang-orang Yahudi di tanah Palestina. Bagi bangsa Palestina rezim
zionis Israel dan bangsa Yahudinya adalah penjajah yang mendatangi dan ingin
merebut tanah air mereka, bukan sebuah negara tetangga yang sedang bertengkar
dengan mereka. Bagi para pejuang Palestina peperangan yang mereka lakukan
adalah sebuah perjuangan heroik mempertahankan keberadaan tanah air dan
bangsanya, persis seperti pejuangan kita memerdekan diri dari penjajah Belanda
dan Jepang.
Perang antara
Palestina dan Israel bukan perang agama, tetapi tidak bisa dilepaskan dari
sebab-sebab pemikiran keagamaan yang berasal dari kitab suci. Alasan utama
mereka berperang adalah memperebutkan tanah air, termasuk juga daerah Jerusalem
yang merupakan tempat suci bagi tiga agama samawi di dunia, di mana di sana
berdiri mesjid Al Aqsa (Alharam alqudsi ashsharif) yang dijadikan tempat ibadah
umat Islam atau disebut juga sebagai Bukit Bait Allah (The Temple Mount / Har ha-Bayit) bagi umat Yahudi dan Nasrani. Dan
terkenal dengan dinding ratapan (The Western
Wall/The Wailing wall/Ha Kotel Ha Ma’aravi) yang terletak di sebelah barat
masjid Al Aqsa sebagai tempat ibadah umat Yahudi, atau disebut Alburaq Wall oleh kaum Muslimin.
B.
Palestina
di mata dunia
Tanggapan dunia
pun sudah bisa diduga. Israel tetap menjadi anak favorit bagi bangsa Barat. PM
Inggris Gordon Brown dalam wawancara dengan BBC mengatakan bahwa ia ‘sangat
prihatin’ dan mengatakan bahwa milisi Palestina harus menghentikan serangan
roket terhadap Israel, meskipun Palestina adalah pihak yang diserang dan Muslim
dibantai. Tanggapan Negara-negara non muslim seperti Inggris dan Amerika yang
selalu membela dan membenarkan segala tindakan Israel tidaklah mengherankan
karena Israel memang merupakan sekutu mereka. Hal mengherankan para penguasa
muslim Arab yang notabene adalah sesama dunia Arab seperti Arab Saudi, Jordania
dan Mesir seakan-akan bersikap tidak mau tahu tentang penderitaan rakyat
Palestina. Padahal di negara-negara lain mengalir dukungan-dukungan terhadap
Palestina. Sedangakan Mesir yang saudara dekat dan secara geografis lebih dekat
dengan palestina terlihat cenderung memihak Israel dan tidak peduli terhadap
jatuhnya korban muslim. Dan yang lebih parah adalah ketika warga Palestina
memerlukan bantuan yang hanya bisa melewati pintu gerbang Rafah, Mesir tidak
bersedia untuk membukanya.
C.
Potensi
Negara Muslim Untuk Palestina
Untuk kembali
berperan dalam kontelasi internasional, umat Islam harus kembali menegakkan
Daulah Khilafah Islamiyah yang menjadikan Islam sebagai ideologi sekaligus asas
negaranya. Negara semacam ini yang akan menerapkan hukum Islam, mengemban
ideologi Islam ke seluruh dunia, dan sekaligus menjadi satu-satunya negara
adidaya di dunia.
Tidak bisa
dipungkiri, Islam sebagai ideologi secara nyata bertentangan dengan ideologi
kapitalisme yang diusung oleh AS. Setelah komunisme runtuh, satu-satunya musuh
ideologis AS adalah Islam. Bangsa Barat sering menyebutnya dengan
fundamentalis, radikal, dan militan; dengan ciri-ciri utamanya adalah menolak
sistem kapitalisme dan ingin menegakkan syariat Islam secara menyeluruh dalam
sebuah negara.
Kekuatan ideolgi
Islam ini diakui oleh banyak pihak. Carleton S, saat mengomentari peradaban
Islam dari tahun 800 hingga 1600, menyatakan, “Peradaban Islam merupakan peradaban yang paling besar di dunia.
Peradaban Islam sanggup menciptakan sebuah negara adidaya kontinental
(continental super state) yang terbentang dari satu samudera ke samudera yang
lain; dari iklim utara hingga tropik dan gurun dengan ratusan juta orang
tinggal di dalamnya, dengan perbedaan kepercayaan dan asal suku….Tentaranya
merupakan gabungan dari berbagai bangsa yang melindungi perdamaian dan
kemakmuran yang belum dikenal sebelumnya.” (Ceramahnya tanggal 26 September
2001, dengan judul “Technology, Business, and Our Way of Life: What’s Next”).
Tidak hanya
ideologi Islam, umat Islam juga memiliki sumber-sumber kekuataan yang
mendukung. Di samping ideologi sebagai faktor penting yang menentukan kekuatan
sebuah negara, beberapa faktor lain yang menjadi faktor pendukung bagi Daulah
Khilafah Islamiyah dapat menjadi negara adidaya di dunia ini antara lain:
1. Faktor
geografis.
Faktor ini cukup berperan menambah
kekuatan sebuah negara. Misalnya, wilayah benua Amerika yang dipisahkan dari
benua lain oleh wilayah air seluas 3000 mil ke Timur dan ke Barat lebih dari
6000 mil merupakan faktor yang menentukan posisi AS di dunia. Kalaulah seluruh
wilayah kaum Muslim bersatu di dunia di bawah naungan Daulah Khilafah
Islamiyah, mereka akan memiliki posisi geografis yang sangat menguntungkan
sebagai negara adidaya.
Kaum Muslim secara geografis
menempati posisi yang strategis jalur laut dunia. Mereka mengendalikan Selat
Gibraltar di Mediterania Barat, Terusan Suez di Mediterania Timur, Selat Balb
al-Mandab yang memiliki teluk-teluk kecil di Laut Merah, Selat Dardanelles dan
Bosphorus yang menghubungkan jalur laut Hitam ke Mediterania, serta Selat
Hormus di Teluk. Selat Malaka merupakan lokasi strategis di Timur Jauh. Dengan
menempati posisi yang strategis ini, kebutuhan masyarakat internasional akan
wilayah kaum Muslim pastilah tinggi mengingat mereka harus melewati jalur laut
strategis tersebut. Di samping itu, mereka akan sulit menaklukkan negeri-negeri
Islam, karena pintu-pintu strategis laut dikuasai oleh kaum Muslim.
2. Faktor
sumberdaya alam (SDA).
Negeri-negeri Islam dianugerahi
Allah Swt. sebagai negeri yang kaya-raya dengan sumberdaya alamnya. Contohnya
adalah kekayaan akan sumber pangan. Negara yang memiliki sumber pangan yang
besar jelas akan memperkuat posisi negara tersebut, karena akan terhindar dari
ketergantungan pada negara lain. Negeri-negeri Islam dikenal sebagai wilayah
yang subur untuk bercocok tanam pangan.
Sumberdaya alam kedua yang penting
adalah bahan mentah. Dunia Islam mengendalikan cadangan minyak dunia (60%),
boron (40%), fosfat (50%), perlite (60%), strontium (27%), dan tin ( 22%). Di
antara bahan mentah tersebut, minyak memiliki posisi yang sangat strategis.
Sejak Perang Dunia I, minyak merupakan sumber energi yang sangat penting untuk
industri dan perang; seperti kata Clemenceau pada waktu Perang Dunia I,
“Setetes minyak sama nilainya dengan setetes darah prajurit kita.”
Munculnya minyak sebagai bahan
mentah yang mutlak diperlukan telah menimbulkan pergeseran dalam kekuatan
relatif negara-negara yang secara politis terkemuka. Uni Soviet (masa komunis)
menjadi demikian kuat sejak negeri itu berswasembada minyak. Sebaliknya, Jepang
semakin melemah saat itu karena tidak mengandung endapan minyak. Kekuatan
minyak ini pernah ditunjukkan oleh negeri-negeri Arab dalam embargo minyak
tahun 1973-1974. Embargo tersebut mampu menimbulkan keguncangan ekonomi Amerika
Serikat dan negara-negara Eropa saat itu.
3. Jumlah
penduduk
Jumlah penduduk bukanlah satu-satunya faktor pendukung kekuatan sebuah
negara. Tidak ada negara yang dapat tetap atau menjadi kekuatan tingkat pertama
jika negara tersebut tidak tergolong sebagai negara yang memiliki jumlah
penduduk lebih banyak di dunia. Tanpa penduduk yang banyak tidak mungkin suatu
negara mendirikan dan terus menjalankan pabrik industri yang diperlukan untuk
melaksankan perang modern dengan berhasil. Penduduk AS yang berjumlah
278.058.881 jiwa (CIA The World Factbook) jelas menjadi salah satu faktor
kekuatan negara tersebut. Apabila umat Islam bersatu di seluruh dunia di bawah
naungan Daulah Khilafah Islamiyah, jumlah penduduknya tentu sangat luar biasa.
Saat Dunia Islam masih “tidur” saja jumlah penduduknya lebih kurang 1 miliar
atau 20% dari populasi di dunia. Jelas hal ini akan memberikan kekuatan
tersendiri bagi Daulah Khilafah Islamiyah dalam kancah politik
internasionalnya.
4. Kekuatan
militer
Saat ini industri militer Dunia Islam dalam keadaan mundur. Akan tetapi,
secara kuantitas jumlah pasukan militer di Dunia Islam sangat besar.
Seandainya, dari satu miliar penduduk Dunia Islam direkrut 1 %-nya saja akan
didapat 10 juta tentara. Berdasarkan data CIA the World Fact Book, potensi
kekuatan militer (military manpower
availability) dan dinas militer (fit for
military service) yang dimiliki oleh beberapa negeri Islam cukup fantastis.
Mesir memiliki 18.562.994 dengan 12.020.059 (dinas militer); Irak memiliki
5.938.093; Iran 18.319.328 dengan 10.872.407 (dinas militer); Pakistan memiliki
35.770.928 dengan 21.897.336 (dinas militer); Turki memiliki kemampuan
18.882.272 dengan 11.432.428 (dinas militer). Belum lagi Indonesia yang
memiliki 64.046.149 dengan 37.418.755 (dinas militer). Jadi, dengan gabungan
tentara Mesir, Irak, Iran, Pakistan, Turki, dan Indonesia saja potensi jumlah
pasukan kaum Muslim yang tersedia adalah sekitar 162 juta. Bandingkan dengan AS
dengan potensi militer yang hanya 79 juta, apalagi Israel hanya memiliki
sekitar 1, 5 juta pasukan pria dan 1,4 juta pasukan wanita. Jelas potensi
kuantitas ini sangat menentukan kekuatan militer di dunia nantinya, jika saja
kaum Muslim bersatu.
Hal yang harus
diperhatikan kemampuan SDM dan kekuatan industri. Kedua faktor di atas juga
menentukan kekuatan sebuah negara. Banyaknya jumlah ilmuwan Muslim di Dunia
Islam atau yang bekerja di Barat, membangun kekuatan industri militer ini bukan
perkara yang sulit. Pakistan mampu membangun kekuatan nuklirnya. Masalahnya,
tinggal menyatukan para intelekutal tersebut dan mengajak mereka berjuang
bersama. Di samping itu, Daulah Khilafah Islamiyah tentu saja akan membuat
terobosan baru untuk meningkatkan kualitas SDM ini dengan berbagai cara. Dunia
Islam telah membuktikan sebelumnya, saat bersatu di bawah negara ideologis Daulah
Khilafah Islamiyah, perkembangan sains dan teknologi Dunia Islam berada di atas
negara-negara lain. Fakta ini tidak bisa dibantah.
Dengan potensi
ideologis dan faktor-faktor penunjang tersebut, Daulah Khilafah Islamiyah jelas
akan menjadi sebuah negara adidaya yang sangat kuat. Di sinilah letak pentingnya
kaum Muslim menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah tersebut di tengah-tengah
mereka. Ketidakadaan Daulah Khilafah Islamiyah yang berdasarkan ideologi Islam
membuat kaum Muslim mundur dalam peran internasionalnya, bahkan tidak mampu
menghadapi penjajahan Barat. Bangsa Barat dengan kekuatan negaranya yang
dibangun atas dasar ideologi kapitalisme yang mengglobal, juga harus dilawan
dengan kekuatan negara yang dibangun di atas ideologi yang juga mengglobal.
Negara tersebut adalah Daulah Khilafah Islamiyah. Daulah Khilafah Islamiyah
akan menghimpun potensi kaum Muslim dan menyatukan Dunia Islam untuk kemudian
berjihad melawan penindasan negara-negara Barat kapitalis. Jihad berperang
melawan negara-negara Barat kapitalis—termasuk perang propaganda—tentu saja
akan dapat dilakukan secara seimbang jika kaum Muslim bersatu di bawah naungan
Daulah Khilafah Islamiyah.
D.
Sumbangsih
dari Indonesia
Indonesia ikut serta
dalam berpartisipasi mewujudkan perdamaian dan keadilan dunia. Di masa
perjuangan melawan penjajahan, Indonesia mendapat dukungan dari negara lain.
India memberi bantuan pangan, pemerintah Mesir tercatat sebagai negara pertama
yang memberi pengakuan internasional atas Kemerdekaan RI di tahun 1945. Semua
itu tidak lepas dari kepedulian masyarakat dunia terhadap nasib rakyat
Indonesia.
Indonesia
semakin giat memberikan dukungan nyata bagi negara yang tengah berjuang raih
kemerdekaan, Palestina. Salah satunya yaitu mengelar Forum konferensi
internasional bertajuk Striving to
Fulfill the Rights of Palestinian People , Asia-Pasifik Community Conference (ASPAC). Konferensi kemanusiaan
internasional di Jakarta yang mempertemukan LSM kemanusiaan dari berbagai
penjuru dunia, akan mendiskusikan cara dan ide-ide untuk mendukung masyarakat
Palestina dalam rangka membangun kapasitas kemampuan bertahan mereka.
Lembaga
kemanusiaan atau organisasi hak azasi manusia bisa menjalankan peran signifikan
dalam mempercepat kapasitas pembangungan (capacity building) untuk Palestina. Berbagai
proyek dan program dapat dilakukan melalui jaringan atau kerja sama LSMuntuk
membantu masyarakat Pelestina dalam mencapai kesejahteraan serta hidup yang lebih
baik.
Konferensi ini
bertujuan untuk menggalang kepedulian terhadap nasib bangsa yang sekarang masih
terjajah, Palestina. Harapan konferensi ini akan bisa memberikan kontribusi
riil bagi Palestina menuju lebih baik. Peserta konferensi berasal dari ragam
keyakinan yang berbeda diharapkan akan melahirkan pandangan bahwa masalah
Palestina bukan hanya terkait dengan umat muslim.
Tiga tindakan
nyata yang dapat dilakukan Indonesia. Pertama, mengirimkan bantuan kemausiaan.
Mulai dari perlengkapan-perlengkapan medis, tenaga medis hingga kebutuhan
sehari-hari bagi mereka yang menghadapi bencana yang dahsyat. Dalam menghadapi
keadaan tersebut masih mudah menghadapi bencana alam yang kerusakannya terpola.
Hal tersebut disebabkan kerusakan akibat perang modern yang tidak terpola.
Kerusakannya massive dan para korban memerlukan penanganan khusus akibat
penggunaan senjata terlarang dengan akibat sangat mengerikan. Indonesia
menargetkan memberikan pelatihan pada 10.000 orang Palestina, namun baru bisa
terealisasi untuk 1.000 orang. Sebagai wujud konkret dari upaya bantuan ke
Palestina, pemerintah Indonesia akan memberikan pelatihan kepada seribu warga
Palestina di Indonesia. Pelatihan yang diberikan bermacam-macam dengan
melibatkan berbagai departemen di pemerintahan dan lembaga-lembaga swasta.
Tujuannya adalah untuk membangun kapasitas (capacity
building) warga Palestina dalam rangka mempertahankan eksistensi negara
mereka. Misalnya, Departemen Pekerjaan Umum akan memberikan pelatihan di bidang
konstruksi. Indonesia telah mengadakan pelatihan diplomat serta pelatihan micro
finance.
Langkah nyata
Indonesia kedua adalah mengkaji ulang politik luar negeri khusus terhadap
Israel. Selama ini Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Hal
tersebut dikarenakan sejak deklarasi pembentukan Israel, secara de jure, negara
zionis ini tidak mendapat pengakuan dari Indonesia. Menteri Luar Negeri RI
Hassan Wirajuda meminta agar pemerintah
semakin menggiatkan lobi-lobi untuk membuka Rafah, pos penyeberangan lain serta
blokade Jalur Gaza secara keseluruhan
Ketiga, Lobby ke
negara-negara Arab melalui Liga Arab. Indonesia dapat berperan aktif untuk
meyakinkan negara-negara Arab bahwa harus ada gerakan sistematis untuk
menyelesaikan masalah Palestina secara komprehensif dan untuk selamanya.
Indonesia
memprakarsai rencana aksi nyata Gerakan Nonblok mendukung proses perdamaian dan
terwujudnya Palestina merdeka dan berdaulat penuh tahun ini. Langkah itu
diambil untuk menunjukkan, GNB tidak sekadar mengeluarkan pernyataan dan
deklarasi belaka.
Demikian salah
satu hasil Konferensi Tingkat Menteri (KTM) XVI Gerakan Nonblok (GNB) yang
diumumkan Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa di Nusa Dua, Bali, 27 Mei
2011. Konferensi ini menghasilkan lima deklarasi baru, mulai dari Deklarasi
Peringatan Bali (Bali Commemorative
Declaration), deklarasi tentang perlucutan senjata nuklir, hingga dua
deklarasi khusus mengenai masalah Palestina.
Deklarasi
Peringatan Bali disusun untuk merumuskan ulang konsep dan visi GNB 50 tahun
mendatang terkait peringatan 50 tahun GNB tahun ini. Untuk masalah Palestina,
GNB bertekad mengawal proses perdamaian hingga solusi akhir dua negara, yakni
Palestina dan Israel, yang sama-sama merdeka, berdaulat, dan hidup berdampingan
secara damai. Deklarasi masalah Palestina ini penting karena sifatnya bukan
semata retorika. Dalam deklarasi itu disetujui gagasan Indonesia mengenai
perlunya rencana aksi antara bulan Mei dan September untuk antisipasi apabila
masalah Palestina digulirkan di Majelis Umum PBB di New York, khususnya
berkaitan dengan upaya diterimanya Palestina sebagai anggota PBB.
GNB menegaskan
komitmennya untuk tetap mendukung proses perdamaian yang disponsori Amerika
Serikat dan Kuartet Timur Tengah. Di samping itu, GNB tetap menggalang dukungan
bagi diterimanya Palestina sebagai anggota PBB dalam Sidang Majelis Umum PBB.
Salah satu
bagian rencana aksi ini adalah mendorong sesama anggota GNB, yang belum
mengakui kedaulatan Palestina, untuk segera mendukung. Sebelum konferensi ini
berlangsung, ada 29 negara dari 118 negara anggota GNB yang belum mengakui
Palestina secara resmi. Dengan bergabungnya Fiji dan Azerbaijan sebagai anggota
terbaru GNB, jumlah negara yang belum mengakui Palestina menjadi 30 negara.
Fiji tercatat sebagai salah satu negara yang belum mengakui kedaulatan
Palestina secara resmi.
Di ASEAN masih
ada tiga negara anggota yang belum menyatakan pengakuan kepada Palestina, yakni
Thailand, Singapura, dan Myanmar. Indonesia sudah mengakui Palestina sebagai
negara merdeka dan berdaulat sejak proklamasi kemerdekaan negara itu pada 1988.
Selain
menggalang dukungan di dalam, GNB juga berkampanye keluar untuk menggalang
dukungan ini. Langkah penting lain adalah menjalin komunikasi dan dialog dengan
Dewan Keamanan (DK), Majelis Umum, dan Sekretaris Jenderal PBB serta negara
maju yang tergabung dalam Kuartet Timur Tengah. Kuartet ini terdiri atas PBB,
AS, Rusia, dan Uni Eropa. Paling tidak empat dari lima anggota tetap DK PBB,
yakni AS, Rusia, Inggris, dan Perancis, berperan aktif dalam kuartet tersebut.
Langkah GNB
bukan untuk merusak atau membunuh proses perdamaian yang sedang mereka
usahakan, tetapi justru mendorong proses itu. Dialog untuk memberi pengertian
bahwa niat menggalang dukungan kepada Palestina tersebut bukan bertujuan
negatif perlu dilakukan karena proses penerimaan keanggotaan Palestina di PBB
membutuhkan rekomendasi DK PBB. Jika satu saja anggota tetap DK PBB menggunakan
hak vetonya, seluruh usaha sia-sia.
Deklarasi kedua
mengenai Palestina berkaitan dengan tahanan politik Palestina, salah satu
masalah penting dalam isu Palestina-Israel yang kurang mendapat perhatian
dunia. Para menteri negara-negara GNB menyatakan, masih ada lebih dari 6.000
tahanan yang dikurung Israel di 22 penjara serta kamp tawanan di seluruh Israel
dan wilayah Palestina yang diduduki, termasuk Jerusalem Timur. Mereka ditahan
bukan karena tindak kriminal, melainkan karena pandangan politiknya. Sekitar
300 tahahan di antara mereka adalah anak-anak berusia di bawah 18 tahun. Juga
terdapat 37 perempuan di antara para tahanan dan 10 anggota Dewan Legislatif
Palestina.
0 reflection:
Post a Comment