Robert Kiyosaki dalam bukunya, Cashflow Quadrant, menyampaikan
bahwa kebebasan finansial dapat dicapai bila seseorang telah mencapai kuadran
investor (yakni ketia uang bekerja untuk kita). Salah satu cara untuk mencapai
kuadran investor adalah dengan menjadi pengusaha / wiraswastawan, dimana
diperlukan jiwa, semangat, dan komitmen untuk menjadi wiraswastawan. Menjadi wiraswastawan
di sini berarti bahwa menjadi pribadi yang bersifat
inisiator (termasuk di dalamnya, memulai suatu pekerjaan), kreatif (termasuk di dalamnya, menemukan
sesuatu yang baru) dan inovatif (termasuk
di dalamnya, membuat terobosan baru yang cemerlang dan bermanfaat).
Dalam buku Cashflow Quadrant, Robert Kiyosaki juga menyampaikan
bahwa untuk mencapai kebebasan finansialnya, ia memulainya dengan memimpikan hal tersebut. Lebih
lanjut, disampaikan juga bahwa impian tersebut harus dituliskan dan dirumuskan
sejelas-jelasnya, kemudian mimpi tersebut harus selalu terngiang dan tercermin
melalui cara hidup kita sehari-hari.
Demikian halnya dengan Wiwiek Santoso, Paulus Bambang WS, Ekuslie
Goestiandi, Yakub Liman, Yulian Warman, dan Lanny Sinatrawan (2011), dalam buku
mereka “Michael D. Ruslim: Lead by Heart” halaman ke-32, menyampaikan bahwa
pemimpin (apapun posisisnya, baik General Manager, Direktur, terlebih lagi CEO),
sejatinya mereka adalah pemimpi,
dimana para pemimpi ini harus merumuskan mimpi yang akan diwujudkannya tersebut
dengan jernih agar para pengikutnya memiliki gambaran yang sama.
Michael D. Rusli (mantan CEO Astra Internasional) mengawali tugasnya
di dalam Astra Group dengan menumbuhkan (memulai dari nol) perusahaan PT. Rahardja Sedaya (saat itu, merupakan
perusahaan baru di Astra) untuk melakukan pembiayaan pembelian mobil yang
diproduksi Astra. Di sinilah, Michael D. Ruslim memiliki jiwa wiraswasta, yakni
menjadi creator dan builder.
Karyawan
yang tidak memiliki jiwa kewiraswastaan, yang hanya mau kerja kalau disuruh
(menurut McGregor dikelompokkan dalam teori X) tidak pantas diangkat sebagai
CEO/Manajer, karena karyawan tidak memiliki jiwa wiraswasta, sering kali tidak merumuskan mimpinya dan tidak bisa mewujudkan mimpinya dengan
penuh semangat dan penuh gairah (passion),
karena pekerjaan yang dilakukannya hanya didasari oleh suruhan / perintah. Apabila
mimpinya tidak dapat dirumuskan dan diwujudkan, maka para pengikutnya tidak bisa
memiliki pandangan yang sama dan akan kesulitan dalam melakukan pekerjaan
dengan pemimpinnya.
Karyawan yang bekerja karena suruhan / perintah, menganggap
pekerjaannya sebagai rutinitas, sehingga ia tidak memiliki inisiatif (padahal, salah satu ciri jiwa wiraswasta
adalah inisiatif). Jika tidak memiliki inisiatif, tentunya karyawan tersebut tidak bisa menjadi builder dan creator,
dan pastinya juga tidak akan membuahkan
inovasi. Artinya, karyawan semacam ini tidak memiliki jiwa wiraswasta.
0 reflection:
Post a Comment