Saturday, September 17, 2011

Rehan...

Menghabiskan senja di pantai adalah hal yang tak membuatku bosan. Satu tahun sudah aq pindah ke kota ini. Semburat merah nya membuatku semakin terpesona. Duduk dikarang yang tak basah oleh air laut, kemudian kubiarkan kakiku bermain dengan riak-riak aliran air. Kulitku ini sudah mulai menghitam terbakar sinar matahari. 

Imajinasiku melayang jauh dan tak beraturan seperti hantaman ombak pada batu karang. Terkadang aku memikirkan tentang kehidupanku yang tak sempurna. Dan tiba-tiba jemari ini ingin menari-nari di lembaran sketsa yang selalu ku bawa. Kubiarkan diriku menikmati kemauan yang datang dengan sendirinya. Aku masih belajar untuk memaknai hidup, dan mencari tujuan dalam hidupku.

Hasil coretanku kali ini adalah sebuah rumah di tepi pantai dengan kehangatan keluarga. Entah sudah berapa lama aku tak merasakannya, meninggalkanku dalam kesepian. Hati ini ingin memberontak, tapi aku tak mampu. Kupandangi sketsa itu dengan air mata yang tak sengaja jatuh membasahinya. Aku hanyut dalam imajinasiku tak terasa matahari telah bersembunyi di luasnya samudra.

Kuberjalan melewati butiran pasir yang akan mengotori kakiku. Ahh.. biarlah, ucapku dalam hati. Kuletakkan buku sketsa dalam pelukanku, kuingin lebih dekat dengan impianku. Aku mencari ipod yang sengaja kubawa untuk menemaniku pulang ke rumah. Alunan instrumental mengiringi langkahku. Malam ini akan seperti malam-malam yang telah aku lewati selama 365 hari. Tak banyak yang akan ku kerjaan.

Tak terasa, aku telah tiba di depan pintu rumahku, sepi. Aku enggan masuk ke rumahku dan aku pun terdiam cukup lama untuk berpikir kembali. Aku ingin ada sesuatu yang berbeda pada malam ini, berontakku dalam hati. Aku meyakinkan hatiku untuk memberanikan melangkahkan kaki untuk putar haluan. 

Aku pun pergi menjauh dari rumah, tak tau akan kemana lagi. Aku hanya melangkahkan kaki-kaki ku ini hingga aku merasa lelah. Aku terheran-heran dengan keadaanku seperti ini. Ada apa dengan diriku ?? kenapa dan kenapa ? kalimat-kalimat itu terus menghantui diriku. 

Langkahku terhenti ketika aku melihat sebuah lukisan yang menawan dengan sebuah tanda tangan di pojok kanannya. Aku semakin mendekati canvas yang menarik perhatianku. Aku memperhatikan dengan seksama, mengapa lukisan ini bisa berada di kota ini ? aku terheran dan mataku mencari seseorang yang bisa kumintai keterangan. 

Diam seribu bahasa dan pikiran ini semakin tak menentu. Aku terdiam cukup lama untuk menelaah jawaban yang telah diberikannya. Aku berusaha mempercayai ucapannya, tapi tak bisa. Segera, aku berlari sekuat yang aku mampu. Kubiarkan buku sketsaku terlepas dari pelukanku. Berlari sejauh-jauhnya, dan aku pun terjatuh. Dada ini terasa sesak, aku tak mampu mengeluarkan air mata. 

Kalimat pengandaian pun menari-nari dalam otakku. Arggghhh !!! aku benci hal ini. Aku berusaha untuk berdiri dan pulang. Aku tak peduli dengan rasa sakit akibat terjatuh. Luka ku yang hampir mengering kembali terkelupas dan mengeluarkan darah merah yang segar. 

Dari kejauhan, aku melihat sesosok pria menantiku di pagar rumahku. Aku mengenal sosok pria itu, dia yang telah meninggalkan demi sebuah mimpi. Ku balikkan tubuhku untuk menjauhi rumahku, “tapi itu rumahku, kenapa aku harus pergi dari rumahku” pertanyaan bodoh untuk diriku sendiri.

“Clay.. tolong dengarkan aku” suara lantang Rehan menghentikan langkahku.
“Apa lagi yang harus kudengarkan? Bukannya kau sudah tak peduli lagi denganku?”
“ku mohon, beri aku waktu untuk menjelaskan, apa kau pikirkan itu salah.”
“salah ??!! Telinga ini telah mendengar, dan mata ini menjadi saksinya” aku membalikkan tubuhku dan menatap matanya.
“Clay, semua yang kulakukan demi kamu, dan mimpi-mimpi kita. Tapi kau dengan mudah menyimpulkannya.”
“setelah kau membuat hidupku tak berarti, dengan mudahnya kau katakan semua itu demi aku ? aku berterima kasih kau telah berkorban banyak untukku, tapi untuk apa semua itu ? tak ada artinya lagi untukku..”
“aku tlah melihat coretan-coretan dalam buku ini.” Dia memberikan buku sketsaku dan aku merebutnya dari genggaman tangannya. “coretanmu semakin hari semakin menunjukkan sebuah kekuatan dan makna. Penantianmu tak akan sia-sia, Clay. Sekarang aku ada dihadapanmu dan aku memenuhi janjiku untuk menemuimu. Masihkah tak ada pintu maaf untukku ?”

Aku terdiam, perasaan ini semakin berkecamuk tak menentu arahnya. Rehan melihat luka di lututku “sudah berapa kali kau menjatuhkannya?” dia bertanya dengan rasa khawatir dan menarik tanganku untuk masuk.

Dia masih ingat letak kunci rumah yang sengaja ku sembunyikan di salah satu pot di depan pintu ku. Aku berusaha melepaskan tangannya dari tanganku, tetapi genggamannya terlalu erat untuk memberontak. “tolong lepaskan tanganmu, aku bisa berjalan sendiri”. Dia tak melepaskannya, ditariknya sebuah kursi dan dimintainya aku untuk duduk. “aku akan mengobati lukamu, diam dan duduk disini” kalimat kekhawatiran yang menghilang selama satu tahun. Aku terus mengawasi gerak geriknya yang sibuk mencari kotak P3K. Setelah dia pergi, rumah ini tak banyak yang berubah.

Rehan mengobati lukaku dengan hati-hati. Terjadi peperangan yang hebat dalam pikiranku, bingung dengan apa yang harus kuperbuat. Air mataku jatuh mengenai telapak tangannya. Dia menghentikan gerakan tangannya dan menatapku sembari berkata “Clay, maafkan aku..” dihapusnya air mataku dengan jari telunjuknya.

Aku segera memeluk pria yang ada dihadapanku dan membisikkan “aku memaafkanmu, bagaimanapun juga kau adalah suamiku dan tak kan kulepas engkau untuk meninggalkanku seorang diri”.
“Terima kasih, Clay. Aku tak akan pergi tanpamu”

Pada akhirnya, mulai malam ini akan berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Rehan telah kembali dan terpancarkan sebuah kebahagian di rumah yang kubangun bersama nya. Kuhabiskan malam ini dengan mendengarkan pengalaman-pengalaman selama dia tak bersamaku. Saat aku membuka mataku dari istirahat malamku, Rehan lah orang yang pertama kulihat setiap paginya.


signature

0 reflection:

Post a Comment