Sunday, September 18, 2011

Pria yang [tak] kupilih


Mampu tersenyum kembali, itulah yang aku rasakan malam ini. Terkadang pikiranku masih bermain-main dengan permasalahan yang ada selama 2-3 menit. kunikmati malam minggu seindah-indahnya yang ku bisa. humzz,,,,, tak ada gunanya aku menghindari masalah.

Aku mengambil ponsel yang kuletakkan di atas tempat tidurku. Terlihat beberapa pesan masuk dalam layar 90x 120 mm. Pesan itu hanya dari satu orang dan menanyakan hal yang sama sebanyak 20 pesan. Kenapa dia selalu mau tahu apa yang aku kerjakan ? entah lah...

Kuhempaskan tubuhku ke kasur, ponsel itu masih dalam genggamanku. ku memutar-mutarkan ponselku sembari menyusun kata-kata untuk menjawab ke khawatirannya. Setelah aku berhasil menyusunnya menjadi sebuah alasan, aku membaca ulang dan aku menghapusnya kembali. hal itu aku lakukan berulang-ulang, karena aku masih menginginkan kesendirian.

Dua puluh menit sejak pesan itu memenuhi kotak masukku, terdapat nada panggil dari nya. aku ragu untuk bercakap dirinya. tapi aku tak tega membiarkannya dalam kecemasan yang tak berujung.
"lama banget angkatnya, kemana aja kamu tak bisa aku hubungi selama beberapa hari ini ?" tanya nya dengan nada marah"
aku terdiam cukup lama, "di rumah aja".
"bohong.. !! katakan yang jujur padaku..."
"aku di rumah, salahkah aku ingin bebas melakukan apa saja yang aku mau. kau terlalu banyak mengaturku!! aku benci cara mu memperlakukanku...."
"Diam kau !! aku akan tiba ke rumahmu 15 menit lagi. tunggu aku disana."

seketika senyumku hilang kembali, dia selalu membuatku seperti boneka nya. dia tak menghargai keinginanku, dipaksakannya aku mengikuti semua aturan mainnya. aku merasa sudah tak ingin bersamanya, akan tetapi hari pernikahanku sudah semakin dekat. beberapa persiapan sudah diselesaikannya. aku tak berani membayangkannya, akan seperti apa hidupku bersama dengan dirinya. Arghh... bunda, ijinkan aku untuk membatalkan pernikahan itu, aku tak sanggup hidup dengan lelaki pilihanmu.

terdengar suara pintu pagar terbuka, segera mungkin aku beranjak dari tempat tidurku dan mengintip dari jendela kamarku. mengapa dia datang sangat cepat sekali? batinku. aku tak melihat sosok yang menakutkan itu, sosok pria yang akan mengetuk pintu rumahku adalah sahabat baikku ketika SMA. aku berlari membukakan pintu mendahului bunda yang sudah mendekati pintu. aku tak mau sahabatku disuruh pulang oleh bunda. aku ingin mengadu padanya, menuangkan polemik yang aku rasakan beberapa hari ini.

mataku berkaca-kaca ketika aku melihat mata sahabatku "akhirnya kamu mengunjungiku, aku tak sanggup..." air mataku mulai meleleh. dipapahnya aku duduk di bangku teras "kamu yang sabar ya, mereka lakukan untuk kebaikan kamu"
"kebaikan bagaimana ?! membuatku aku tertekan, mereka bilang itu baik ?"
"hey,,, aku merindukan senyummu, semangat bermimpimu, dan kecerianmu. ayolah,,, berikan semua itu padaku dan mereka..."
"tak akan ada semua itu....."
"seandainya kamu tak merasa yakin, mengapa kamu terima pinangannya ?"
"aku... aku... " aku tak berani menjawab pertanyaannya. dia melihat jam yang ada di tangan kirinya dan berkata "pergi yuuk... aku bawa kamera, kita lakukan apa aja yang bisa membuatmu lebih bersemangat.."

sebelum aku menjawabnya, calon suamiku datang dengan wajah marahnya seraya berkata "ow !! ini alasannya....". sahabatku hanya tersenyum dan mengatakan "hay kawan! seberapa banyak persiapan pesta pernikahannya? sahabatku ini merasa cemas dengan persiapan pestanya, dia sangat takut ada hal yang terlewat. boleh aku menghibur dirinya ? aku akan mengajaknya jalan sebentar, dengan senang hati kalau kau mau ikut bersama kami."
"boleh, kau tinggalkan kami berdua. aku perlu berbicara sebentar pada calon istriku." sahabatku mengangguk tanda setuju dan dia menemui bunda yang sedang memasak.

Hanya tinggal aku dan sosok pria yang kubenci.
"kamu boleh menghindariku, tapi kamu sendiri yang telah memutuskan pernikahan ini. ada apa denganmu?"
"aku.. aku merasa ragu."
"kamu bilang ragu ? dengarkan aku, acara ini akan tetap berlangsung. kamu boleh pergi dengan sahabatmu selama 1 jam, setelah itu kita akan mengambil kebaya dan cincin yang telah kau pesan." dia segera meninggalkanku dan berjalan mendekati sahabatku yang tengah bercakap bunda "selamat siang tante,," dia berlaku layaknya seorang menantu yang baik dan dia membisikkan pada sahabatku "kau ajak dia pergi sesuka hatimu, pulangkan ia 1 jam dari sekarang".

"yukkzz pergi..." ajak sahabatku sembari membukakan pintu gerbang.
selama 60 menit aku bersama dengan sahabatku, menghabiskan waktu yang pernah kita lakukan beberapa tahun silam. aku mulai bermain dengan imajinasiku. aku membayangkan waktu yang telah aku lewati dan mempertanyakan akankah aku merasakan sebahagia masa-masa kesendiranku dan bersama sahabat2ku....

sahabatku mengajak ke taman terdekat dengan rumah. Taman ini cukup asri, taman yang dipenuhi oleh anak-anak kecil ketika sore hari. Aku lupa, sudah berapa lama aku tak mengunjungi taman ini. Taman yang mempertemukan aku dengan sahabat yang ada disampingku sekarang.

Dia memulai sebuah pembicaraan saat tiba di taman, “nggak seharusnya kamu merasa ragu dengannya. Aku mengerti, dia bukan pilihanmu. Ayolaah buka kembali pintu hatimu.. dia tak sejahat dan seburuk yang kamu kira...”
“entahlah,, aku merasa nggak nyaman dengan dirinya. Boleh aku minta tolong padamu sobat?”
“dengan senang hati aku akan membantumu, apa yang bisa aku bantu untukmu kawan ?
“jika memang pernikahan itu harus terlaksana. Tolong sampaikan  surat ini padanya. Dan katakan padanya, aku akan berusaha menjadi yang terbaik untuk suamiku.”
“dan kamu harus janji padaku, jangan pedihkan hatimu dengan penyesalan masa lalumu dan jangan kerdilkan hatimu dengan kekhawatiran mengenai ketidakpastian masa depanmu,  sehingga kamu lalai mensyukuri hari ini.”

Aku tersenyum dan mengangguk tanda setuju. Dia memberikanku sapu tangan untuk menghapus air mataku dan mengajakku pulang. Ku yakinkan hati ku, bahwa dia adalah pria yang kupilih untuk menemani sisa waktuku.

Ketika aku mulai membangun mimpi itu kembali, aku menemukannya disana. ketika aku menyusun kembali puing-puing hatiku, dia ada disitu. Aku berharap dia membantuku mewujudkan mimpiku, membantuku membentuk hatiku yang utuh. Sungguh, begitu besar harap itu kepadanya. Aku terlena dengan mimpi dan harapan itu tanpa menyadari ada “sesuatu” diantara kami. Sesuatu dengan tak mungkin untuk ku lawan seberapa kuatnya aku meyakinkannya. Sebuah prinsip yang buatnya adalah poros. Sesuatu yang telah menjadi penghalang untuk meraihnya.

Kenapa tak sedari dulu kusadari hal ini, sehingga aku tak perlu merasakan sesakit ini. Mungkin, inilah realita hidup yang sesungguhnya. Mimpi tak akan berbanding lurus dengan nyata. Ketidakberanian itu menjadi pertanda, bahwa dia tak benar-benar yakin denganku, dengan kebersamaan kami. Dan ternyata semua tak berarti bagimu.

Tuhan, kuatkan aku atas apa yang terjadi. Jangan biarkan aku menyesal dengan semua. Biarkan aku tetap bisa mensyukurinya.

0 reflection:

Post a Comment