Benarkah Kartini Mengajarkan Emansipasi?
Sejak dulu wanita dijajah pria! barangkali penggalan bait lagu ini membuat kita bertanya-tanya, mengapa wanita merasa terjajah oleh kaum pria. Jika kita coba telusuri, sejak kira-kira tahun 200 Sebelum Masehi, nasib makhluk bernama wanita ini sungguh malang . Kaum laki-laki di berbagai belahan bumi meletakkan posisi wanita pada derajat yang rendah. Mereka dipaksa hidup di bawah keganasan laki-laki, sampai-sampai tidak ada batas bagi seorang suami dalam memperlakukan istrinya.
apa yang diajarkan RA Kartini, pada dasarnya adalah peningkatan harkat dan martabat wanita serta menuntut hak-hak wanita yang memang itu menjadi haknya dan bukanlah emansipasi sebagaimana yang berkembang di Barat. Rupanya kiprah RA Kartini telah disalahartikan atau memang sengaja dijadikan cantolan oleh para tokoh emansipasi wanita di Indonesia untuk menggolkan tujuannya yakni menuntut persamaan hak antara laki-laki dan wanita di segala bidang, bukan sekedar menuntut apa-apa yang memang menjadi kaum wanita.
DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN SEBAGAI KETIMPANGAN GENDER
Sebagaimana kita ketahui bersama di dunia Barat ataupun di Timur, perkembangan peradaban manusia tumbuh dalam lingkup budaya dan ideologi patriarki. Dinegara-negara Barat, Amerika Serikat, dan Eropa Barat, budaya tersebut terlebih dahulu terkikis sejalan dengan perkembangan tehnologi, demokrasi dan lain-lain yang mendudukan persamaan dan keadilan sebagai nilai yang sentral. Di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, budaya dan ideologi tersebut masih sangat kental dan mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat serta menciptakan ketimpangan-ketimpangan gender.
Budaya dan ideologi bukan satu hal yang turun dari langit. la di bentuk oleh manusia dan disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Koentjaraningrat mengatakan nilai budaya adalah faktor mental yang menentukan perbuatan seseorang atau masyarakat (Koentjaraningrat, 1974). Dalam budaya kita, seperti juga di banyak negara dunia ketiga lain, budaya patriarki masih sangat kental. Dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan terlebih lagi dalam budaya, keadaan ketimpangan, asimetris dan subordinatif terhadap perempuan tampak sangat jelas. Dalam kondisi yang seperti itu proses marjinalisasi terhadap perempuan terjadi pada gilirannya perempuan kehilangan otonomi atas dirinya. Eksploitasi serta kekerasan terjadi terhadap perempuan, baik di wilayah domestik maupun publik. Dalam situasi demikian, maka perbedaan, diskriminasi, dan ketidakadilan gender tumbuh dengan suburnya. Meskipun secara formal, dalam UUD 1945, hak laki-laki dan perempuan tidak dibedakan, tetapi dalam kenyataannya sangat berbeda.
Sebagai hasil konstruksi sosial budaya, gender menjadi konsep yang dinamis antara ruang dan waktu. Penelitian sejarah telah membuktikan bahwa konstruksi sosial gender sepanjang waktu berubah-ubah. Terkadang hampir tanpa terasa dinamikanya, namun di lain waktu menjadi isu yang sangat menarik untuk diperdebatkan. Gender juga dapat menjadi komoditas politik, pengalaman sejarah menunjukkan pemerintah kolonial, pengabar Injil berkulit putih serta pengusaha telah membawa konsep gender dari struktur sosial mereka dan mencoba mengintroduksikannya pada masyarakat pribumi. Kegiatan ini menyebabkan dampak yang merusak bagi posisi dan kedudukan kaum perempuan pribumi yang berujung pada hilangnya hak, akses terhadap pekerjaan, kedudukan dan pengambilan keputusan di lingkungan negara maupun keluarga. Terkadang, penguasa kolonial juga menggunakan konsep gender untuk kepentingan ekonomi mereka, semisal untuk mempertahankan akses mereka terhadap tenaga kerja perempuan.
Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai konsekuensi wajar dari perbedaan biologis. Secara biologis, laki-laki dan perempuan memang berbeda. Untuk merubah perilaku sebagai akibat perbedaan biologis ini merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Perkembangan hasil-hasil penelitian ilmu sosial menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda tidak hanya sekedar akibat dari perbedaan biologis antara keduanya. Namun lebih dari itu, proses sosial dan budaya telah turut mempertajam perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Pembahasan mengenai gender, melahirkan tiga teori yaitu :
1. Teori Nurture
Menurut teori ini perbedaan laki-laki dan perempuan pada hakekatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Konstruksi sosial budaya selama ini menempatkan perempuan dan laki-laki dalam kelas yang berbeda. Laki-laki selalu lebih superior dibandingkan perempuan. Perjuangan untuk persamaan dipelopori oleh kaum feminis internasional yang cenderung mengejar persamaan dengan konsep sama rata, konsep ini kemudian dikenal dengan istilah perfect equality. Perjuangan tersebut sulit tercapai karena berbagai hambatan dari nilai agama dan budaya.
2. Teori Nature
Menurut teori nature, perbedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat yang harus diterima. Perbedaan biologis memberikan dampak berupa perbedaan peran dan tugas diantara keduanya. tedapat peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada pula yang tidak dapat dipertukarkan karena memang berbeda secara kodrat alamiah. Perjuangan kelas tidak akan pernah mencapai hasil yang memuaskan, karena manusia memerlukan kerjasama dan kemitraan secara struktural dan fungsional. Dalam kehidupan sosial terdapat pembagian tugas sehingga teori ini melahirkan pemikiran struktural fungsional yang menerima perbedaan peran asal dilakukan secara demokratis dan dilandasi oleh kesepakatan bersama.
3. Teori Keseimbangan
Selain dua teori yang bertolak belakang tersebut, terdapat teori yang berusaha memberikan kompromi yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara laki-laki dan perempuan namun menuntut perlunya kerjasama yang harmonis antara keduanya.
Berikut ini akan dijelaskan secara lebih rinci mengenai peranan wanita dalam pendidikan,kesehatan,ekonomi politik serta beberapa aplikasinya di Negara maju dan Negara berkembang selain Indonesia
I. WANITA DALAM BIDANG PENDIDIKAN
Dalam pendidikan yang merupakan proses yang sangat penting bagi pertumbuhan nalar seseorang, juga masih sangat patriarkis. Satu keluarga biasanya akan lebih memberikan prioritas kepada anak laki-Iaki karena ia adalah penerus keluarga sedangkan anak perempuan akan pindah dan masuk ke dalam keluarga lain. Pendidikan dalam keluarga pun mensosialisasikan bahwa bapak adalah sentral, sehingga secara tidak disadari akan mengecilkan peran perempuan dalam keluarga. Anak perempuan jarang dilibatkan dalam pembicaraan kebijakan keluarga sehingga sosialisasi pada norma-norma yang semacam itu akan berdampak pada pembentukan kepribadian dan sikapnya yang cenderung tidak terbuka.
Menurut Todaro, ada hubungan yang terbalik antara pendidikan bagi kaum wanita dengan jumlah anak per keluarga, khususnya di kalangan penduduk yang taraf pendidikannya secara umum relative rendah. Artinya semakin tinggi pendidikan yang diterima wanita maka tingkat fertilitas atau kecenderungan untuk memiliki anak akan semakin rendah
Indikator yang dipakai dalam pengukuran pendidikan wanita berikut ini meliputi angka melek huruf dan school enrollment yang menunjukkan pola yang penting dan kecenderungan pendidikan wanita di negara berkembang. Masing-masing indikator menunjukkan konklusi yang sama : di Negara-negara miskin level pendidikan wanitanya masih rendah serta pengukuran gap antara gender terbesar terjadi di Negara-negara ini.
Literacy Rates
Angka melek huruf merupakan tujuan yang principal dalam pendidikan di seluruh dunia ini. Kemampuan untuk membaca dan menulis hampir secara keseluruhan ditetapkan sebagai hak dasar manusia.
School Enrollment
Angka pendaftaran dalam semua level sekolah telah meningkat seiring pembangunan dunia baik untuk laki-laki dan perempuan. Tetapi perluasan ini tidak substansial dalam menurunkan disparitas antara gender karena angka pendaftaran sekolah anak-anak perempuan tetap lebih rendah disbanding laki-laki,
Gender inequality in education
pembangunan pendidikan wanita di Indonesia masuk dalam Medium Human Development dimana angka melek huruf untuk perempuan berusia 15 tahun keatas adalah 86,8%, dan angka melek huruf laki-lai adalah sebesar 94% jika dipersentasekan adalah 92%
Kemudian untuk perbandingan school enrollment antara laki-laki dan perempuan di Indonesia , dalam hal ini merupakan rasio kombinasi antara school enrollment untuk primary,secondary, dan tertiary school yaitu 67% untuk perempuan dan 70% untuk laki-laki.
Di Negara-negara berkembang angka melek huruf wanita usia dewasa adalah 71,7% sedangkan jika dipersentasekan dengan angka melek huruf laki-laki adalah 84%. dapat diambil kesimpulan bahwa semakin tinggi human development dan pendapatan suatu Negara maka angka melek huruf serta tingkat pendidikan yang dimiliki juga akan semakin tinggi
Kesenjangan atau gap pendidikan antara laki-laki dan perempuan yang terjadi di Indonesia dan juga Negara berkembang lainnya antara lain disebabkan oleh factor budaya dimana sebagian masyarakat Indonesia beranggapan bahwa pendidikan tinggi untuk wanita dianggap tidak penting karena setinggi apapun pendidikan seorang wanita tidak akan berguna karena pada akhirnya wanita hanya akan menjadi pengurus rumah tangga, selain itu ada anggapan lain bahwa setinggi apapun kemampuan atau pendidikan seorang wanita hal itu tidak akan sebanding dengan pria karena anggapan bahwa derajat perempuan lebih rendah daripada pria dan memang itu sudah menjadi kodrat wanita.
Hal ini jugalah yang menjadi penyebab mengapa kebanyakan orang tua, baik di Indonesia maupun di NSB lainnya masih membedakan alokasi pendidikan untuk anak-anak mereka, dimana biasanya anak laki-laki disekolahkan sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Karena kebanyakan orang tua berpendapat bahwa menyekolahkan anak mereka itu merupakan suatu investasi sehingga para orang tua berpikir bahwa kalau menyekolahkan anak perempuan mereka yang pada akhirnya hanya menjadi ibu rumah tangga maka investasi mereka tidak akan mendapat return yang mereka inginkan, hal ini berbeda dengan pendidikan yang dialokasikan kepada anak laki-laki
II. WANITA DALAM BIDANG KESEHATAN
Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia pada tahun 2006 termasuk tertinggi di kawasan Asia, yaitu 307/100.000 kelahiran. Provinsi penyumbang kasus kematian ibu melahirkan terbesar ialah Papua 730/100.000 kelahiran, Nusa Tenggara Barat 370/100.000 kelahiran, Maluku 340/100.000 kelahiran. Hal ini menunjukkan masih buruknya tingkat kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Selain itu kasus kekerasan dalam keluarga, perdagangan, tekanan budaya dan adat istiadat, pendidikan rendah, dan dominasi pria dalam rumah tangga masih menimpa sebagian besar perempuan.
Pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan perbaikan akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, seperti pelatihan dukun bayi; pengembangan klinik kesehatan ibu dan anak; pembangunan rumah sakit; pengembangan puskesmas; pondok bersalin desa dan posyandu; pendidikan dan penempatan bidan di desa; dan penggerakan masyarakat untuk penyelamatan ibu hamil dan bersalin. Namun hasilnya belum menggembirakan.
Program Maternal and Neonatal Health (MNH) yang diterapkan pada tahun 2000 untuk menekan penyebab langsung dan tidak langsung kematian ibu, menerapkan system “Desa Siaga” yang menjadikan keselamatan kelahiran sebagai tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Prosedurnya adalah dengan pemberitahuan kehamilan kepada tenaga medis setempat, pendanaan kedaruratan, transportasi, dan mekanisme donasi darah. Program ini sedikit berhasil diterapkan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat yaitu tahun 2003 terjadi penurunan kematian ibu jadi 24 jiwa dari 19.567 kelahiran yang tahun sebelumnya angka kematian ibu 28 jiwa dari 28.550 kelahiran. Namun program ini belum bisa mewakili keseluruhan Indonesia.
AKI yang masih tinggi dengan angka penurunan yang lambat di banyak Negara berkembang termasuk Indonesia mendorong dibentuknya Initiative for Maternal Mortallity Programme Assessment (IMMPACT). IMMPACT merupakan inisiatif riset global yang bertujuan menemukan strategi penurunan kematian ibu yang cocok dalam arti efektif berdasarkan bukti dengan konteks social budaya di banyak Negara berkembang, dan menilai kelayakan strategi dalam mendorong pemerataan dan kesinambungan pelayanan kesehatan ibu dan bayi yang baru lahir.
Strategi program IMMPACT dimulai dengan pengembangan instrument sebagai alat evaluasi strategi upaya penyelamatan ibu dan bayi baru lahir, identifikasi upaya yang layak evaluasi, penelitian evaluasi, dan pada akhirnya penemuan strategi yang efektif dengan konteks Indonesia.
Berkaitan dengan pengenalan IMMPACT, salah satu isu yang penting adalah munculnya kesadaran perlunya penggunaan data dalam pengembangan kebijakan, tetapi hal ini belum begitu membudaya dalam lingkungan kesehatan. Banyak data yang dikumpulkan tetapi tidak rutin digunakan, serta data yang dibutuhkan kurang tersedia. Isu lainnya adalah kecenderungan mengadopsi program atau strategi yang mungkin efektif di Negara lain tanpa pertimbangan sesuai atau tidak diterapkan di Indonesia.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah kematian ibu and anak dapat ditekan lebih cepat, syaratnya adalah program-program yang ada benar-benar dilaksanakan dengan baik, kesadaran masyarakat akan kesehatan ibu dan anak tersosialisasikan, pemberian layanan kesehatan yang prima, serta penggunaan data untuk pengambilan kebijakan yang selanjutnya dianalisis untuk menemukan makna dan implikasi kebijakan.
Reformasi yang sedang berlangsung ini bukan hanya gerakan memerangi penindasan, otoritarianisme, ketidakadilan, dan sebagainya, yang bersifat non demokratis, tetapi kita harus melihatnya sebagai proses transisi menuju demokrasi. Sekarang inilah kesempatan bagi kaum perempuan untuk mengaktualisasikan diri, serta segala bentuk subordinasi dan marjinalisasi bukan waktunya lagi tetap melekat pada diri kaum perempuan. ldeologi patriarkhis telah melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan gender dalam berbagai bidang.
Sebagai hasil bentukan sosial budaya, gender mengalami dinamika yang terus berkembang seiring perkembangan zaman. Gender bersifat spesifik dan berubah sesuai waktu dan tempat yang berbeda. Secara historis terdapat tiga masa yang dapat dijadikan bahan kajian perkembangan dinamika gender, yaitu masa awal kelompok masyarakat berkembang, masa negara dan kolonialisasi serta masa kapitalisme.
Pada awal kehidupan manusia yang ditandai dengan terbentuknya kelompok-kelompok kecil dengan kegitan utama berburu dan meramu, perbedaan peran laki-laki dan perempuan telah tampak. Laki-laki berperan dalam kegiatan berburu sedangkan perempuan berperan dalam kegiatan meramu. Perbedaan peran ini tidak mengindikasikan adanya ketimpangan gender, namun lebih ditekankan pada peran reproduktif perempuan.
Sebelum Dekade Wanita PBB dikumandangkan pada tahun 1975-1985, posisi dan peran perempuan telah diperhatikan oleh pemerintah negara dunia ketiga dan oleh organisasi internasional seperti WHO dan UNICEF. Peranan perempuan pada masa itu terbatas pada upaya pningkatan kesejahteraan keluarga dan tidak dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Perempuan menjadi sasaran program pembangunan di bidang kesehatan dan program “belas kasihan” yang menganggap perempuan perlu dikasihani.
Perempuan yang dicakup dalam program pembangunan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa mereka termasuk ruang lingkup domestik sebagai perpanjangan peran reproduktif. Peran perempuan tidak memungkinkan untuk mendapatkan penghargaan berupa materi, semua kegiatan yang dilakukan oleh perempuan dianggap bernilai sosial, sehingga pada masa 1950-1960-an perempuan memiliki peran dan tanggung jawab pada kegiatan sosial tersebut. Pembangunan dengan ciri modernisasi, terutama di bidang pertanian dengan introduksi teknologi dan mekanisasi menempatkan laki-laki sebagai agen kemajuan dan modernisasi. Perempuan ditempatkan pada peran reproduktif yaitu mengelola rumah tangga.
Kebijakan pembangunan kemudian berlanjut hingga pada akhirnya memunculkan konsep WID (Woman in Development). Konsep ini memusatkan diri pada peranan produktif perempuan yang telah mencoba merealisasikan tujuan pengintegrasian perempuan ke dalam pembangunan dalam berbagai cara, yaitu memulai program khusus perempuan untuk meningkatkan kemandirian ekonomi. Proyek yang berakar pada konsep WID ini dikenal sebagai proyek peningkatan pendapatan. Tujuan utama proyek berbasis WID ini adalah meningkatkan peran, akses, kontrol dan benefit perempuan dalam pembangunan.
Sumber :
♥ http://hizbut-tahrir.or.id
♥ http://learning-of.slametwidodo.com
♥ http://insidewinme.blogspot.com
♥ Erna Sofyan Syukrie, SH. Pemberdayaan perempuan dalam pembangunan berkelanjutan.
0 reflection:
Post a Comment