Pernahkah engkau memperhatikan orang-orang di sekelilingmu saat berada di terminal? Di stasiun? Di mal? Di kereta? Di bis? Yang pasti aku sering melakukannya. Entah mengapa, aku tak tahu. Di tempat-tempat umum. Di mana banyak orang berlalu lalang dan berkumpul. Memandangi. Menatapi.
Seperti hari itu. Gerbong KRL Bogor-Jakarta suatu siang tidak terlalu sesak, namun tidak juga bisa dibilang kosong. Aku iseng mengedarkan pandang ke sekeliling, memandangi para penumpang lainnya, memandangi para pedagang asongan yang mondar-mandir. Tak satu pun yang kukenal. Dan tentu saja, tak ada satu pun di antara mereka yang istimewa dalam pandangan mataku. Meskipun mungkin di antara mereka ada yang sangat saleh atau sangat zalim. Meskipun di antara mereka ada yang sedang bersedih atau malah berbahagia. Meskipun di antara mereka ada yang baik atau jahat. Tak ada yang menumbuhkan perasaan tertentu kecuali kesan sekilas: tindak-tanduk dan penampilan fisik mereka. Itu saja. Tak lebih. Tak kurang.
Pun demikian halnya denganku. Pastilah, bagi mereka aku bukan siapa-siapa. Bahwa misalnya aku seorang yang berprestasi, itu tak akan berarti apa-apa bagi mereka. Bahwa misalnya aku adalah seorang yang baik hati juga tak akan menumbuhkan salut pada mereka. Bahwa misalnya aku tengah bersedih atau bermasalah, mereka juga tak akan peduli. Memangnya siapa aku? Kehadiranku hanyalah selintas saja. Sesosok tubuh bernyawa yang dijuluki manusia yang kebetulan saja hadir di sana. Berada dalam satu tempat bersama mereka. Tak lebih. Tak kurang.
Saat-saat seperti itu sering membuatku berpikir tentang keberadaan diri. Diriku. Dan kemudian bertanya-tanya dalam hati: Siapakah aku bagi mereka? Dan siapakah mereka bagi saya? Dan jawabnya: I’m nobody. Aku bukan siapa-siapa bagi mereka. Dan mereka juga bukan siapa-siapa bagiku. Aku, siapa pun aku dan apapun yang telah kulakukan, tidaklah memiliki arti apapun bagi mereka. Karena mereka tidak mengenalku.
Tapi tidak demikian halnya diriku bagi beberapa orang tertentu yang dihadirkan Allah menjadi orang-orang dekatku. Keluargaku, kerabatku, sahabat-sahabatku, teman kerjaku, tetanggaku. Orang-orang yang aku berinteraksi dengan mereka. Orang-orang yang bersama mereka aku menghabiskan waktu. Orang-orang yang memberikan sentuhan pada hidupku. Orang-orang yang telah melakukan sesuatu untukku. Bagi mereka, tentunya aku istimewa. Atau setidaknya, aku memiliki arti. Dan bagiku, mereka pun demikian adanya. Mereka memiliki arti, istimewa dan penting bagiku. Seperti apapun adanya mereka.
Demikian juga orang-orang yang lalu lalang di jalanan itu, meskipun mereka bukan siapa-siapa di mataku, pastilah mereka adalah sosok-sosok istimewa dalam kehidupan orang-orang dekat mereka: keluarga, saudara, dan sahabat.
Maka aku teringat sebuah kisah dalam buku cerita anak “LITTLE PRINCE” tentang persahabatan Sang Pangeran Kecil dengan bunga mawar yang dirawatnya sejak kecil. Suatu hari, ia pergi mengembara dan meninggalkan bunga mawarnya di rumah. Di suatu tempat, ia menemukan kebun mawar yang berisi ribuan tanaman mawar yang membuatnya bersedih karena ternyata mawarnya sama saja dengan ribuan mawar di kebun itu. Bahkan mawar-mawar baru yang ditemuinya tampak jauh lebih indah.
Tapi kemudian, sahabat barunya memberinya tahu, bahwa bagaimana pun, mawarnya adalah lebih indah dari mawar-mawar itu. “Bunga mawarmu mungkin hanya salah satu dari sekian juta bunga mawar yang lain di dunia ini. Tapi bungamu sangat istimewa, unik dan sangat berharga bagimu karena kau telah menghabiskan waktu bersamanya, engkau menjinakkannya, engkau melakukan banyak hal untuknya. Maka kemudian engkau mencintainya. Seperti halnya sahabatmu hanya satu dari jutaan manusia di dunia ini, tapi, seperti apapun dia, dia yang terpenting bagimu. Waktu yang telah kau habiskan untuk sahabatmu lah, hal-hal yang kau lakukan untuk mereka lah yang membuat mereka istimewa bagimu.”
Maka demikianlah, kebersamaan menumbuhkan ikatan emosi yang memberi warna dalam hidup kita. Hingga karena itu, kita merasakan keberartian diri di dunia ini. Keberartian yang akan memberi kita makna dalam hidup kita, dalam rangka ibadah kita kepada Sang Pencipta dan dalam menjadi wakil-Nya mengelola bumi ini.
Maka sangat dapat dimengerti, jika keberartian diri ini mewujud dalam dien-Nya. Menjadi perintah agama dan sunnah rasul-Nya. Bahwa seorang muslim yang paling baik adalah muslim yang paling baik pada keluarga dan kerabatnya. Bahwa seorang muslim yang baik hendaknya bersikap baik terhadap tetangga-tetangganya. Bahwa Allah sangat menghargai orang-orang yang mementingkan sahabat-sahabatnya di atas kepentingan dirinya sendiri. Bahwa rasul menyebut seorang laki-laki yang bukan dari kalangan sahabat sebagai seorang calon penghuni surga hanya karena dia menyimpan ketulusan terhadap orang-orang terdekatnya.
Maka, mengapakah kita tak menjaga baik-baik ‘bunga-bunga mawar istimewa’ kita? Sedang hanya pada mereka kita mendapatkan keberartian diri yang hakiki sekaligus pada mereka kita mendulang pahala amal dari Ilahi?
sumber : eramuslim
Seperti hari itu. Gerbong KRL Bogor-Jakarta suatu siang tidak terlalu sesak, namun tidak juga bisa dibilang kosong. Aku iseng mengedarkan pandang ke sekeliling, memandangi para penumpang lainnya, memandangi para pedagang asongan yang mondar-mandir. Tak satu pun yang kukenal. Dan tentu saja, tak ada satu pun di antara mereka yang istimewa dalam pandangan mataku. Meskipun mungkin di antara mereka ada yang sangat saleh atau sangat zalim. Meskipun di antara mereka ada yang sedang bersedih atau malah berbahagia. Meskipun di antara mereka ada yang baik atau jahat. Tak ada yang menumbuhkan perasaan tertentu kecuali kesan sekilas: tindak-tanduk dan penampilan fisik mereka. Itu saja. Tak lebih. Tak kurang.
Pun demikian halnya denganku. Pastilah, bagi mereka aku bukan siapa-siapa. Bahwa misalnya aku seorang yang berprestasi, itu tak akan berarti apa-apa bagi mereka. Bahwa misalnya aku adalah seorang yang baik hati juga tak akan menumbuhkan salut pada mereka. Bahwa misalnya aku tengah bersedih atau bermasalah, mereka juga tak akan peduli. Memangnya siapa aku? Kehadiranku hanyalah selintas saja. Sesosok tubuh bernyawa yang dijuluki manusia yang kebetulan saja hadir di sana. Berada dalam satu tempat bersama mereka. Tak lebih. Tak kurang.
Saat-saat seperti itu sering membuatku berpikir tentang keberadaan diri. Diriku. Dan kemudian bertanya-tanya dalam hati: Siapakah aku bagi mereka? Dan siapakah mereka bagi saya? Dan jawabnya: I’m nobody. Aku bukan siapa-siapa bagi mereka. Dan mereka juga bukan siapa-siapa bagiku. Aku, siapa pun aku dan apapun yang telah kulakukan, tidaklah memiliki arti apapun bagi mereka. Karena mereka tidak mengenalku.
Tapi tidak demikian halnya diriku bagi beberapa orang tertentu yang dihadirkan Allah menjadi orang-orang dekatku. Keluargaku, kerabatku, sahabat-sahabatku, teman kerjaku, tetanggaku. Orang-orang yang aku berinteraksi dengan mereka. Orang-orang yang bersama mereka aku menghabiskan waktu. Orang-orang yang memberikan sentuhan pada hidupku. Orang-orang yang telah melakukan sesuatu untukku. Bagi mereka, tentunya aku istimewa. Atau setidaknya, aku memiliki arti. Dan bagiku, mereka pun demikian adanya. Mereka memiliki arti, istimewa dan penting bagiku. Seperti apapun adanya mereka.
Demikian juga orang-orang yang lalu lalang di jalanan itu, meskipun mereka bukan siapa-siapa di mataku, pastilah mereka adalah sosok-sosok istimewa dalam kehidupan orang-orang dekat mereka: keluarga, saudara, dan sahabat.
Maka aku teringat sebuah kisah dalam buku cerita anak “LITTLE PRINCE” tentang persahabatan Sang Pangeran Kecil dengan bunga mawar yang dirawatnya sejak kecil. Suatu hari, ia pergi mengembara dan meninggalkan bunga mawarnya di rumah. Di suatu tempat, ia menemukan kebun mawar yang berisi ribuan tanaman mawar yang membuatnya bersedih karena ternyata mawarnya sama saja dengan ribuan mawar di kebun itu. Bahkan mawar-mawar baru yang ditemuinya tampak jauh lebih indah.
Tapi kemudian, sahabat barunya memberinya tahu, bahwa bagaimana pun, mawarnya adalah lebih indah dari mawar-mawar itu. “Bunga mawarmu mungkin hanya salah satu dari sekian juta bunga mawar yang lain di dunia ini. Tapi bungamu sangat istimewa, unik dan sangat berharga bagimu karena kau telah menghabiskan waktu bersamanya, engkau menjinakkannya, engkau melakukan banyak hal untuknya. Maka kemudian engkau mencintainya. Seperti halnya sahabatmu hanya satu dari jutaan manusia di dunia ini, tapi, seperti apapun dia, dia yang terpenting bagimu. Waktu yang telah kau habiskan untuk sahabatmu lah, hal-hal yang kau lakukan untuk mereka lah yang membuat mereka istimewa bagimu.”
Maka demikianlah, kebersamaan menumbuhkan ikatan emosi yang memberi warna dalam hidup kita. Hingga karena itu, kita merasakan keberartian diri di dunia ini. Keberartian yang akan memberi kita makna dalam hidup kita, dalam rangka ibadah kita kepada Sang Pencipta dan dalam menjadi wakil-Nya mengelola bumi ini.
Maka sangat dapat dimengerti, jika keberartian diri ini mewujud dalam dien-Nya. Menjadi perintah agama dan sunnah rasul-Nya. Bahwa seorang muslim yang paling baik adalah muslim yang paling baik pada keluarga dan kerabatnya. Bahwa seorang muslim yang baik hendaknya bersikap baik terhadap tetangga-tetangganya. Bahwa Allah sangat menghargai orang-orang yang mementingkan sahabat-sahabatnya di atas kepentingan dirinya sendiri. Bahwa rasul menyebut seorang laki-laki yang bukan dari kalangan sahabat sebagai seorang calon penghuni surga hanya karena dia menyimpan ketulusan terhadap orang-orang terdekatnya.
Maka, mengapakah kita tak menjaga baik-baik ‘bunga-bunga mawar istimewa’ kita? Sedang hanya pada mereka kita mendapatkan keberartian diri yang hakiki sekaligus pada mereka kita mendulang pahala amal dari Ilahi?
sumber : eramuslim
1 reflection:
Artikel menrik untuk direnungkan....mengatakan kita tidak ada apa-apanya dan tidak punya daya selain karenaNya...
kita hanya debu kecil di padang pasir luas...
yang menjadi pertanyaan, sebutir debu ini apakah dapat memberi manfaat kepada padang pasir dimana dia berada....
Post a Comment