Sunday, August 14, 2016

Kisah Lama #Mozaik 6

Masalah adalah hal yang biasa. Mulai dari masalah keuangan yang semakin seret menjelang akhir bulan, masalah percintaan yang pelik tiada dua, masalah keluarga, masalah mengejar cita-cita dan merancang masa depan, sampai masalah yang diada-adakan sendiri, itu hal yang biasa. Justru itulah yang membuat hidup jadi naik turun dan super asyik.

Bila hidup tanpa ada masalah, betapa hambarnya, dan betapa palsunya. Bila merasa hidup selalu baik-baik saja tanpa pernah mengalami masalah, bisa jadi memang menghindarinya. Masalah pasti pernah muncul. Tapi dengan segala kemampuan, berusaha meniadakan masalah itu dan membiarkannya mengusut tanpa pernah diselesaikan.

Banyak masalah hidup yang tak dapat diselesaikan seperti memasukan popcorn instan ke dalam microwave, seperti halnya dengan kebahagian yang mustahil dikejar seperti memasak popcorn instan.

Kedua anak kecil dihadapanku membuyarkan lamunan. “Ayah, ayo kita jalan lagi” ujar Tania dan Tobi menarik tanganku untuk segera beranjak dari tempat duduk.

Hari ini, aku mengikuti permintaan istriku untuk menemani anak-anak ke Kebun Raya Bogor.  Usia pernikahanku memasuki tahun ke 6 dan aku memiliki sepasang anak yang cerdas-cerdas. Di tempat ini, aku memutar balik memori 7 tahun yang lalu, ketika aku mengenal seorang gadis. Berjalan bersamanya seperti hal yang istimewa untukku, mengelilingi kebun raya bogor sembari bercerita banyak hal yang tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Berbincang dengannya rasanya tak cukup dalam satu malam. Perlu waktu lebih banyak untuk bisa menyelami segala pemikirannya. Tubuhnya yang lemah setia menemani hari itu, keceriaannya menutupi rasa sakitnya. Aku tak menyadarinya hingga genggaman tangannya penuh dengan keringat dingin.

Perkenalannya yang sederhana dan perjalanan kami cukup singkat. Gadis ini suka bertukar pikiran. Obrolan dengannya bisa mengalir begitu saja tanpa dibuat-buat. Dia mencari pendamping hidup, bukan orang yang bisa menandingi kecerdasannya. Aku tak perlu terlihat berupaya untuk menandinginya. Karena bukan pria seperti ini yang dia cari. Ada beberapa hal yang dia rasa bisa dilakukan sendiri. Tak perlu melarangnya untuk menjadi mandiri. Ia lebih tahu kapan akan datang kepadaku dan merengek manja. ini yang seharusnya bisa lebih menenangkanku. Gadis ini tak akan setiap saat bermanja padaku.
 
Aku sibuk dengan masalahku, perasaanku dan keegoisanku, aku tak punya waktu untuk mengembangkan diriku dan mengerti perasaannya. Aku tidak akan mengatakan itu kesalahanku, aku hanya mengekspresikan emosiku. Aku memanfaatkan kelemahan gadis ini. Pada akhirnya, dia pergi perlahan-lahan meninggalkanku. Dia lebih butuh sosok yang membuatnya selalu merasa aman. Melindungi tanpa mengekang.

Aku berjibaku untuk mengembalikan kepercayaannya lagi, meraih mimpi-mimpi yang tertunda. Pada suatu hari muncullah seorang perempuan yang mengisi kekosongan hatiku. Aku mengembalikan kepercayaannya pada orang lain, bukan padanya. Orang lain itu yang kini telah menjadi istriku. Kini aku pun belajar hal baru lagi. setiap orang punya cara yang berbeda dalam menyampaikan ekspektasi mereka. Aku pernah membuatnya kecewa.

Aku tak bisa mengembalikan air mata kecewanya, aku tak bisa memulihkan rasa sakitnya, bahkan aku membiarkan dia dengan penyakitnya dan membuatnya tertekan. Aku tak ingin dia menjadi milik siapapun. Aku mengamati social media nya. Dia suka menulis, menurut dia, tulisan yang akan mengingatkan bahwa dia pernah terlahir di dunia.

Hanya orang tuanya yang memilikinya, hingga dia benar-benar pergi meninggalkan kenangan pada setiap orang. “ketika aku mati nanti, aku ingin dikenal sebagai penulis, sahabat yang baik, dan orang yang bermanfaat. Aku tak peduli dengan rasa sakitku, aku harus bisa tersenyum” katanya beberapa tahun yang lalu. Semua kegiatan dia lakukan, hingga dia terbunuh oleh semangatnya. Itu yang membuatku kagum padanya.

Aku tak bisa membahagiakannya dan aku berjanji untuk membahagiakan keluarga kecilku. Kuikuti langkah kecil kedua anakku dan membiarkan istriku membenahi perbekalan yang kami bawa. 


14 August 2016

signature

0 reflection:

Post a Comment