Masalah adalah hal yang biasa.
Mulai dari masalah keuangan yang semakin seret menjelang akhir bulan, masalah
percintaan yang pelik tiada dua, masalah keluarga, masalah mengejar cita-cita
dan merancang masa depan, sampai masalah yang diada-adakan sendiri, itu hal
yang biasa. Justru itulah yang membuat hidup jadi naik turun dan super asyik.
Bila hidup tanpa ada masalah, betapa
hambarnya, dan betapa palsunya. Bila merasa hidup selalu baik-baik saja tanpa
pernah mengalami masalah, bisa jadi memang menghindarinya. Masalah pasti pernah
muncul. Tapi dengan segala kemampuan, berusaha meniadakan masalah itu dan
membiarkannya mengusut tanpa pernah diselesaikan.
Banyak masalah hidup yang tak
dapat diselesaikan seperti memasukan popcorn instan ke dalam microwave, seperti
halnya dengan kebahagian yang mustahil dikejar seperti memasak popcorn instan.
Kedua anak kecil dihadapanku
membuyarkan lamunan. “Ayah, ayo kita jalan lagi” ujar Tania dan Tobi menarik tanganku
untuk segera beranjak dari tempat duduk.
Hari ini, aku mengikuti
permintaan istriku untuk menemani anak-anak ke Kebun Raya Bogor. Usia pernikahanku memasuki tahun ke 6 dan aku
memiliki sepasang anak yang cerdas-cerdas. Di tempat ini, aku memutar balik
memori 7 tahun yang lalu, ketika aku mengenal seorang gadis. Berjalan bersamanya
seperti hal yang istimewa untukku, mengelilingi kebun raya bogor sembari
bercerita banyak hal yang tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Berbincang
dengannya rasanya tak cukup dalam satu malam. Perlu waktu lebih banyak untuk
bisa menyelami segala pemikirannya. Tubuhnya yang lemah setia menemani hari
itu, keceriaannya menutupi rasa sakitnya. Aku tak menyadarinya hingga genggaman
tangannya penuh dengan keringat dingin.
Perkenalannya yang sederhana dan
perjalanan kami cukup singkat. Gadis ini suka bertukar pikiran. Obrolan
dengannya bisa mengalir begitu saja tanpa dibuat-buat. Dia mencari pendamping
hidup, bukan orang yang bisa menandingi kecerdasannya. Aku tak perlu terlihat
berupaya untuk menandinginya. Karena bukan pria seperti ini yang dia cari. Ada
beberapa hal yang dia rasa bisa dilakukan sendiri. Tak perlu melarangnya untuk
menjadi mandiri. Ia lebih tahu kapan akan datang kepadaku dan merengek manja. ini
yang seharusnya bisa lebih menenangkanku. Gadis ini tak akan setiap saat
bermanja padaku.
Aku sibuk dengan masalahku, perasaanku
dan keegoisanku, aku tak punya waktu untuk mengembangkan diriku dan mengerti
perasaannya. Aku tidak akan mengatakan itu kesalahanku, aku hanya
mengekspresikan emosiku. Aku memanfaatkan kelemahan gadis ini. Pada akhirnya,
dia pergi perlahan-lahan meninggalkanku. Dia lebih butuh sosok yang membuatnya
selalu merasa aman. Melindungi tanpa mengekang.
Aku berjibaku untuk mengembalikan
kepercayaannya lagi, meraih mimpi-mimpi yang tertunda. Pada suatu hari
muncullah seorang perempuan yang mengisi kekosongan hatiku. Aku mengembalikan
kepercayaannya pada orang lain, bukan padanya. Orang lain itu yang kini telah
menjadi istriku. Kini aku pun belajar hal baru lagi. setiap orang punya cara
yang berbeda dalam menyampaikan ekspektasi mereka. Aku pernah membuatnya
kecewa.
Aku tak bisa mengembalikan air
mata kecewanya, aku tak bisa memulihkan rasa sakitnya, bahkan aku membiarkan
dia dengan penyakitnya dan membuatnya tertekan. Aku tak ingin dia menjadi milik
siapapun. Aku mengamati social media nya. Dia suka menulis, menurut dia,
tulisan yang akan mengingatkan bahwa dia pernah terlahir di dunia.
Hanya orang tuanya yang
memilikinya, hingga dia benar-benar pergi meninggalkan kenangan pada setiap
orang. “ketika aku mati nanti, aku ingin dikenal sebagai penulis, sahabat yang
baik, dan orang yang bermanfaat. Aku tak peduli dengan rasa sakitku, aku harus
bisa tersenyum” katanya beberapa tahun yang lalu. Semua kegiatan dia lakukan,
hingga dia terbunuh oleh semangatnya. Itu yang membuatku kagum padanya.
Aku tak bisa membahagiakannya dan
aku berjanji untuk membahagiakan keluarga kecilku. Kuikuti langkah kecil kedua
anakku dan membiarkan istriku membenahi perbekalan yang kami bawa.
14 August 2016
0 reflection:
Post a Comment