Dia seorang gadis yang memiliki ambisi, cepat mengambil
keputusan dan percaya pada diri sendiri. Berawal dari kegiatan KKN aku
mengenalnya.
“belum selesai juga Fan ? ini sudah larut malam, besok kita
masih banyak agenda” ujarku.
“nanggung ni Bhi, hampir selesai koq. Biar besok bisa aku
serahin ke kepala sekolah. Oiya, ada tugas tambahan nggak dari Dede buat aku?”
“kegiatan rutin aja Fan, besok partner kamu siapa ?”
“nggak tau deh” dia menghentikan jemarinya mengetik di
keybord serta menggelengkan kepala dengan menatapku. “sendiri juga nggak papa”
“besok, aku temenin ya? Boleh dong aku jadi guru tamu di SD
kamu ?”
“bukannya besok kamu harus bertemu dengan orang dinas
terkait dengan program kamu?”
“yuupz,, !! jadwalnya jam 10. Setelah dari sekolahmu, aku
akan mengantarmu ke kelurahan kemudian jam 13 ada pramuka di SD nya Rena. Setelah
itu kamu ada pertemuan dengan kelompok tani ya ? berarti kamu tak hadir di
rapat unit ?”
“o..iya... !! ada rapat unit ya ?? hadeuh.. lupa, bentrok
pula. Diwakilin deh ma kamu, hehehe. Yoopz !! selesai sudah tugas ku malam ini.”
Dia merapikan komputer yang baru ia pakai dan tiba-tiba ia berkata “o..iya,
Neena kan minta anterin ma kamu ke sub unit sebelah. Tu kan lupa.. nanti dia
ngambek, urusannya jadi kacau...”
“ha ha ha aku hampir melupakannya. Terima kasih sudah
diingatkan, dan maaf aku jadi nggak bisa menemanimu. Sekarang, masuk kamar lah
!”
“seephh!!” dia berdiri dan segera meninggalkanku “selamat
malam, terima kasih sudah menemaniku”.
Selama 60 hari aku satu rumah dengan gadis itu, mulai dari
bangun tidur hingga akan tidur. Secara tak langsung, berbagai kegiatan
membuatku mengenalnya. Dari banyaknya kegiatan, aku satu tim dengannya bisa
dihitung dengan jari. Sebenarnya aku dan dia memang satu tim, tapi ada saja
yang membuatku tak bisa berlama-lama dengannya. Tim kami terdiri dari 3 wanita
dan 4 Pria dengan ruang lingkup 10 dusun. Hal tersebut yang membuat kami harus tak
saling bergantung, akan tetapi sebisa mungkin sebagai pria melindungi rekan
wanita nya saat tugas di lapangan.
Berbeda dengan Fany, dia tidak mengharuskan dirinya ditemani
oleh seorang pria ketika tugas di lapangan. Dia terlalu fleksibel dan supel,
sehingga ada saja penduduk setempat yang berbaik hati menolongnya. Fany seorang
pendengar yang baik, dia menampung curahan-curahan hati kawan-kawannya.
Anak-anak pun menyukai dirinya. Aku hanya mampu memandanginya dari jauh ketika
anak-anak mengelilinginya untuk diceritakan sebuah dongeng.
Dua tahun KKN sudah berlalu, kami mengadakan sebuah reuni di
rumah makan. Ku cari sosoknya, tapi tak kunjung muncul. “Bhi, kamu cari siapa
sih ? dari tadi kuq lihat pintu masuk?” tanya Erwin. “temen kita yang belum
dateng siapa aja sih ?? tadi Rey telp katanya dia lagi di kalimantan, trus
Neena lagi di jakarta, Fian dateng telat” aku mencoba mengalihkan perhatian
Erwin. “Keyla masih jemput Bian, trus Fany katanya sih lagi nggak enak badan”.
Ternyata orang yang aku tunggu tak akan pernah datang di
acara ini, aku penasaran dengan dirinya. Terkadang aku bingung terhadap
perasaanku sendiri, dia yang tak pernah berhasil kudapatkan hatinya justru
membuatku penasaran. Padahal aku sudah memiliki seseorang yang sangat perhatian
padaku. Rasanya belum lega jika membiarkan aku dalam sebuah penasaran dan hanya
menebak-nebak. Setelah acara reuni itu selesai, aku tetap tinggal di meja itu
dan menelponnya. Terdengar suara lemahnya menyapaku “Hai, Bhi.. ada apa ?
tumben telpon aku ? hari ini ada reuni ya... huft.. nyesel deh gag bisa dateng.”
“kata Erwin, kamu sakit. Sakit apa?”
“biasa, Cuma kecapekan aja kuq Bhi... gimana acara reuni
nya? Banyak ya yang dateng?”
“nggak seru Fan, nggak ada kamu sih.” Aku berusaha
menggombal.
“ha ha ha ha maybe next time”
“baiklah... jika lain waktu ada reuni, kamu harus datang
ya..”
“Bhi, kamu inget nggak sih waktu kita KKN ada anak yang
namanya Nadia, itu yang rumahnya belakang rumah kita, anaknya cerdas” dia
berusaha mengingatkanku pada masa KKN.
“inget,, inget,,, kenapa Fan ?”
“dia masuk SMP favorit Bhi, tadi pagi aku mendapat surat
dari nya. Aku ingin ke sana lagi Bhi. Tapi dengan keadaanku sekarang, aku tak
mungkin pergi sendiri”
Aku cukup terkejut dengan ucapannya, ada apa dengan Fany. “kenapa
kamu bilang seperti itu Fan? Tak seperti Fany yang ku kenal.”
“aku tak mungkin pergi sendiri karena aku....” dia tak mampu
melanjutkannya.
“Fan, ada apa ?”
“tak apa-apa, lupakan saja keinginanku tadi.”
“baiklah.. kalau itu mau mu. Cepat sembuh ya Fan.”
“terima kasih”
Aku mengakhiri perbicaraannya dan segera bergegas pulang ke
rumah. Malam ini aku memiliki janji dengan Gea untuk menemani ke resepsi teman
kuliahnya. Setiba di rumah, aku langsung bersiap-siap untuk menjemput Gea.
Gadis yang menemaniku beberapa bulan terakhir ini tampil sangat menawan, pria
mana yang tak tertarik padanya. Dan itulah yang masih aku pertanyakan pada
diriku sendiri.
Setiba di sebuah gedung, kami berbaur dengan tamu-tamu yang
lain. Beberapa teman Gea adalah temanku juga. Jadi aku tak merasa canggung di
acara ini. Aku hampir tak percaya dengan apa yang kulihat. Aku menemukan
seseorang dengan gaun sederhana sedang duduk. Bukan duduk di kursi tamu, tapi
duduk di sebuah kursi roda. Aku meninggalkan Gea dan mengampiri sosok gadis
yang ku kenal.
“apakah aku menganggu ?” tanya ku.
“heyy... Bhi, nggak nyangka ya kita ketemu disini.” Ujarnya.
“yoopz, aku berbeda dengan beberapa tahun lalu”.
“engga ada yang berbeda dari diri kamu kuq, tetap cantik”.
“ha ha ha bisa aja. Datang sama siapa?”
“aku sama Gea, pacarku.” Aku menunjukk seorang gadis dengan
gaun pink yang sedang asyik mengobrol dengan temannya.
“O..Ow,, aku kenal Gea. Kapan undangan bisa aku terima?’
“segera, tapi tidak tahun ini. Gimana rencana ke lokasi KKN
nya ? aku bisa mengantarmu koq”.
“tidak.. tidak.. aku tak akan merepotkanmu, rencana aku akan
menunggu kakakku pulang dari lombok dan meminta ku untuk mengantarkanku ke
lokasi. Aku memiliki beberapa proyek yang ingin ku terapkan di sana. Ya..
sebagai tindak lanjut dari kegiatan KKN kita, sayang kalau terhenti ketika KKN
usai.”
“masih saja, kamu berpikiran seperti itu. Umz,, gimana kalau
weekend minggu depan ? akan aku jemput kamu jam 8 pagi.”
“bukannya kamu ada janji dengan Neena.” Sindirnya.
“tak ada lagi Neena yang merengek-rengek untuk minta antar. Ha
ha ha”.
Gea melambaikan tangannya pada saat aku dan Fany sedang
merencakanan ke lokasi KKN. Dia menghampiri kami dan menyapa Fany “hai, Fan...
apa khabar ? gimana kelanjutan proyek dari yayasan kamu ?”
“kabar baik, Gea. Baru dialokasikan 20%. Sisa nya akan ku
gunakan untuk lokasi KKN Abhi”.
“iya... Gea, kami akan ke lokasi KKN, akhir pekan besok. Bolehkan?”
“ha ha ha tentu dong sayang...”
”terima kasih sayang..” kataku dengan mesra pada Gea dan aku
mengakhiri perjumpaanku dengan Fany “okey, jangan lupa ya! Aku dan Gea pamit
pulang dulu ya..”
“ okey, terima kasih Gea sudang mengijinkan Abhi pergi denganku.
Sampai jumpa minggu depan”.
Aku meninggalkan Fany di kursi roda nya. Gea pun memulai
sebuah percakapan tentang Fany “aku salut dengannya, kecelakan itu membuat
kakinya lumpuh. Tapi semangatnya tak pernah lumpuh seperti kakinya.”
“aku cukup mengenal semangat dan ambisinya. Aku baru mengetahui
keadaannya malam ini. tadi sore, dia tak hadir di acara reuni.”
Setelah mengantarkan Gea pulang, aku pun langsung meminta
ijin untuk pulang. Hari ini terasa sangat melelahkan dan tak terduga. Aku masih
terbayang-bayang dengan sosok Fany. Yahh... ada hal yang membuatnya tak berubah
walau dia terlihat sedikit rapuh. Senyum yang sangat mempesona dan aku larut
pada memori selama 60 hari bersamanya.
Aku tak mampu membohongi perasaanku, aku tak bisa
mempertahankan Gea. Tapi Fany bukan lah orang yang ingin dikasihani dan dia tak
akan suka dengan sikapku pada Gea. Hati ini terus bergejolak. Aku memutuskan,
untuk menyelesaikan dengan Gea secara baik-baik. Aku akan menerima kemarahannya
dan aku ingin mempertahankan cinta yang tak pernah terucap pada Fany. Cinta ku
bukan dengan alasan Fany duduk di kursi roda, bukan dengan parasnya yang cantik,
bukan karena dia memenangkan proyek untuk lokasi KKN, tapi karena ambisi yang
terkadang menjadi kelemahannya.
Tak akan padam, selama dua tahun aku menyimpannya dan
mempertemukan dengan kondisi yang berbeda. Tak akan padam, ketika kaki tak
mampu melangkah dengan gesitnya, tapi semangat, ambisi, serta rasa percaya diri
tetap berkobar.
Ketika survey ke lokasi KKN tlah usai, aku menyatakan
perasaanku pada Fany. Dan benar saja, dia tak sependapat dengan tindakanku. “Bhi,
terima kasih kamu telah mengungkapkannya, tapi aku tak bisa. Aku tak memerlukan
rasa iba. Aku mampu kuq, dan akan sakit sekali perasaan Gea jika mengetahuinya.”
“Fan, kamu selalu saja memperhatikan perasaan orang lain. Tapi
pernah kah kamu memperhatikan perasaanku?”
Hening....
“maafkan aku Bhi, aku....”
“Fan, aku akan menemani langkah-langkahmu dan mimpi mulia
itu harus terwujud...”
Setelah hari ini, aku mengerti akan arti sebuah pengorbanan.
0 reflection:
Post a Comment