By : Nukman Luthfie (CEO Virtual Consulting)
Disajikan pada Forum “Kagama Leadership Program (KLP)” , Gd. MM UGM, 22 Februari 2005
Ditulis oleh : Danar Listiawan
Apa sebetulnya yang menggerakkan orang-orang untuk memiliki usaha sendiri alias menjadi seorang wirausahawan? Dan bagaimana motif untuk berwirausaha itu muncul? Adakah hambatannya? Pertanyaan ini kerap muncul ketika kita telah mengetahui kesuksesan yang diterima seseorang begitu
muncul dalam televisi, buku atau majalah-majalah. Pengakuan (recognition) itu bukan lah sesuatu yang mudah didapatkan. Di tengah kondisi ekonomi bangsa ini yang belum bisa dibilang normal sepenuhnya, siapa lagi yang berani menjadi wirausahawan?
Bagi orang gajian seperti kita apalagi bagi seorang eksekutif papan atas yang telah terbiasa dengan segala fasilitas yang serba 'wah' ibarat tanpa terlalu berpusing-pusing sudah kita pastikan bahwa bulan depan kita akan masih menerima gaji (kecuali bagi yang PHK tentunya), pindah kuadran banting stir menjadi seorang enterpreneur adalah sebuah keputusan yang dahsyat. Dahsyat bahwa dibalik keputusan tersebut tersembunyi potensi kegagalan yang teramat besar, hidup hanya mengandalkan dari tabungan tanpa ada suplai lagi dari institusi tempat bekerja yang selama ini kita bangga-banggakan selama usaha kita belum menghasilkan profit. Tapi dibalik potensi kegagalan yang besar itu tersembunyi pula chance, opportunity, dan energi kehidupan berupa kesuksesan luar biasa yang bahkan akan sanggup tuk menggugurkan bukit serta menyurutkan lautan. Kemapanan seperti orang gajian inilah yang sebenarnya secara tidak sadar cenderung membuat orang menjadi kurang kreatif, ya gajilah yang membuat orang tidak kreatif !
Dulu cerita tentang " Si Bodoh & Si Pintar" masih membius kita mengenai bahwa untuk jadi seorang enterpreneur ngga perlu sekolah yang tinggi-tinggi, ngga perlu jadi orang pinter, dsb lah. Si Bodoh memiliki perusahaan yang memperkerjakan orang-orang pintar dan orang-orang pintar dengan segala keahlian dan kepintarannya hanya menjadi 'budak' orang bodoh. Cerita tersebut saat ini sudah menjadi barang usang dan tidak perlu kita jadikan referensi lagi untuk langkah kita ke depan. Hanyalah orang goblog sajalah yang masih mempercayai cerita kuno seperti itu. Yang dibutuhkan saat ini adalah kepandaian, keahlian, kemampuan managerial yang mumpuni, dan juga usaha serta kerja keras dalam berusaha dan berdoa. Yang paling releven untuk saat ini adalah cerita bagaimana si pintar & ganteng seperti Mas Nukman memiliki perusahaan konsultan IT terkemuka yang mempekerjakan para lulusan terbaik dari institusi univ. dalam & luar negeri yang jauh lebih pinter dari Mas Nukman sendiri. Orang pinter mempekerjakan orang-orang yang jauh lebih pinter lagi.
Disadari atau tidak sebenarnya tren spirit enterpreneur ini telah mulai tumbuh subur di akhir abad ke-20 di seluruh belahan dunia. Berangkat dari sebuah megatren atau tren global dan juga tren lokal yang telah menggejala saat ini :
1. Tren Global
==============
Sebuah masa dimana berakhirnya era konglomerasi di berbagai belahan dunia dan dimulainya era UKM (Usaha Kecil & Menengah). Menurut sebuah survei dari sebuah lembaga internasional menyatakan bahwa tingkat kemajuan dan kemakmuran suatu negara berbanding lurus (opo malah kuadrat?) dengan rasio enterpreneur yang ada di masyarakat. Contoh : Singapura, Enterpreneur Ratio (ER)-nya 1: 300 bandingkan dengan Indonesia yang ER-nya sebesar 1:30.000. Artinya dari setiap 300 org penduduk Singapura ada terdapat 1 orang enterpreneur yang secara profesional menjalankan usahanya. Dari ketimpangan angka ER antara Indonesia - Singapura pun telah bisa menjadi sebuah indikator mutlak kesenjangan kemajuan & kesejahteraan antara Indonesia - Singapura. Sekedar catatan GDP percapita Singapura saat ini telah mencapai kurang lebih USD 18,000 jauh lebih tinggi (bahkan) dengan negara petro dolar macam Arab Saudi yang (hanya) USD 9,000 dan Indonesia yang hanya sekitar USD 750.
Enterpreneur telah menjadi pilihan hidup bagi kebanyakan masyarakat di negara maju, enterpreneur kini bukan lagi semacam keterpaksaan karena nganggur bertaun-taun dan susah nyari kerjaan akhirnya dilampiaskan ke bisnis ngga karuan yang akhirnya yang didapat hanya penyesalan dan penyesalan belaka. Dari hasil penelitian empirik bisa kita kategorikan 2 macam enterpreneur :
a.Mereka yang kuat di enterpreneurship skill tapi lemah di keahlian ataupun pendidikan akademis kebanyakan hanya akan berkutat di bisnis trading tanpa adanya kemampuan untuk memberikan nilai lebih pada bisnis mereka tersebut.
b.Mereka yang kuat di enterpreneurship skill dan juga mumpuni pada keahlian managerial dan pendidikan akademis cenderung akan berusaha untuk memberikan nilai tambah yang bermanfaat pada bisnis yang mereka jalankan. Contoh : Konsultan SDM, IT, Manajemen, dll.
2. Tren Lokal
=============
Selain adanya megatrend di dunia internasional rupanya spirit of enterpreneur pun telah menjadi sebuah tren lokal di Indonesia, gejala ini bisa kita lihat antara lain :
a.Makin banyak sarjana fresh graduate lulusan S1 yang memutuskan untuk langsung mengambil suatu keputusan besar : Menjadi Enterpreneur
b.Makin banyak eksekutif-eksekutif puncak yang pindah kuadran memutuskan menjadi seorang enterpreneur.
c.Makin banyaknya wahana untuk menjadi seorang enterpreneur baik lewat buku-buku, majalah, forum-forum pembelajaran, seminar, milis-milis di internet yang kesemuanya itu berfungsi sebagai katalis untuk memperpendek ‘learning curve’ menjadi seorang enterpreneur.
* Perbedaan mendasar antara seorang enterpreneur, leader dan manager :
“ Leaders rule the waves, Enterpreneurs use the waves, Managers measure the waves
* Persiapan-persiapan awal yang perlu disiapkan sebelum memutuskan untuk menjadi seorang enterpreneur :
- Kalkulasi segala peluang yang ada
- Persiapan mental
Persiapan mental di sini bahwa kita harus siap untuk gagal pada 2 tahun pertama dan harus siap minimal saving sebesar 1 tahun guna menghidupi keluarga kita.
* Langkah awal untuk menjadi seorang enterpreneur :
1.Cari mitra investor, share holder, top management yang 1 visi dengan kita tapi janganlah sampai kita memberi kesempatan dia untuk ikut terlibat dalam langsung dalam eksekusi.
2.Buatlah PT
3.Mencari kantor yang representatif dengah harga terjangkau
4.Langsung mencari proyek sebagai modal awal perusahaan, bahkan sebelum kantor perusahaan itu siap berdiri.
5.Gali & rebut setiap peluang yang ada
6.Agar perusahaan cepat menjadi besar carilah klien-klien besar
7.Agar bisa bernafas panjang kita haruslah pintar-pintar mengelola sebuah kombibasi terbaik antara proyek (klien) untuk jangka pendek (short term), menengah (middle term), dan jangka panjang (long term)
8. Siapkan segala sumber daya yang ada (resources) yang meliputi : manpower, material, metode, machine, money.
*Tantangan seorang enterpreneur/ potensi-potensi kegagalan menurut hasil survei :
-90% usaha akan bangkrut/mati pada tahun pertama
-Hanya 50% dari 10% yang bertahan pada tahun pertama akan lolos hingga pada tahun ke-3
*Faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan suatu usaha :
- Lack of skills
- Sales problem
- Financial Control
- High Cost of Finance
- Insolvent Customer
- Overheading
- Development
- Marketing Issues
Success’s philosophy from Mas Nukman :
“Gairah yang tidak pernah berhenti untuk selalu berusaha & always be positive thinking”
Ditulis oleh : Danar Listiawan
Apa sebetulnya yang menggerakkan orang-orang untuk memiliki usaha sendiri alias menjadi seorang wirausahawan? Dan bagaimana motif untuk berwirausaha itu muncul? Adakah hambatannya? Pertanyaan ini kerap muncul ketika kita telah mengetahui kesuksesan yang diterima seseorang begitu
muncul dalam televisi, buku atau majalah-majalah. Pengakuan (recognition) itu bukan lah sesuatu yang mudah didapatkan. Di tengah kondisi ekonomi bangsa ini yang belum bisa dibilang normal sepenuhnya, siapa lagi yang berani menjadi wirausahawan?
Bagi orang gajian seperti kita apalagi bagi seorang eksekutif papan atas yang telah terbiasa dengan segala fasilitas yang serba 'wah' ibarat tanpa terlalu berpusing-pusing sudah kita pastikan bahwa bulan depan kita akan masih menerima gaji (kecuali bagi yang PHK tentunya), pindah kuadran banting stir menjadi seorang enterpreneur adalah sebuah keputusan yang dahsyat. Dahsyat bahwa dibalik keputusan tersebut tersembunyi potensi kegagalan yang teramat besar, hidup hanya mengandalkan dari tabungan tanpa ada suplai lagi dari institusi tempat bekerja yang selama ini kita bangga-banggakan selama usaha kita belum menghasilkan profit. Tapi dibalik potensi kegagalan yang besar itu tersembunyi pula chance, opportunity, dan energi kehidupan berupa kesuksesan luar biasa yang bahkan akan sanggup tuk menggugurkan bukit serta menyurutkan lautan. Kemapanan seperti orang gajian inilah yang sebenarnya secara tidak sadar cenderung membuat orang menjadi kurang kreatif, ya gajilah yang membuat orang tidak kreatif !
Dulu cerita tentang " Si Bodoh & Si Pintar" masih membius kita mengenai bahwa untuk jadi seorang enterpreneur ngga perlu sekolah yang tinggi-tinggi, ngga perlu jadi orang pinter, dsb lah. Si Bodoh memiliki perusahaan yang memperkerjakan orang-orang pintar dan orang-orang pintar dengan segala keahlian dan kepintarannya hanya menjadi 'budak' orang bodoh. Cerita tersebut saat ini sudah menjadi barang usang dan tidak perlu kita jadikan referensi lagi untuk langkah kita ke depan. Hanyalah orang goblog sajalah yang masih mempercayai cerita kuno seperti itu. Yang dibutuhkan saat ini adalah kepandaian, keahlian, kemampuan managerial yang mumpuni, dan juga usaha serta kerja keras dalam berusaha dan berdoa. Yang paling releven untuk saat ini adalah cerita bagaimana si pintar & ganteng seperti Mas Nukman memiliki perusahaan konsultan IT terkemuka yang mempekerjakan para lulusan terbaik dari institusi univ. dalam & luar negeri yang jauh lebih pinter dari Mas Nukman sendiri. Orang pinter mempekerjakan orang-orang yang jauh lebih pinter lagi.
Disadari atau tidak sebenarnya tren spirit enterpreneur ini telah mulai tumbuh subur di akhir abad ke-20 di seluruh belahan dunia. Berangkat dari sebuah megatren atau tren global dan juga tren lokal yang telah menggejala saat ini :
1. Tren Global
==============
Sebuah masa dimana berakhirnya era konglomerasi di berbagai belahan dunia dan dimulainya era UKM (Usaha Kecil & Menengah). Menurut sebuah survei dari sebuah lembaga internasional menyatakan bahwa tingkat kemajuan dan kemakmuran suatu negara berbanding lurus (opo malah kuadrat?) dengan rasio enterpreneur yang ada di masyarakat. Contoh : Singapura, Enterpreneur Ratio (ER)-nya 1: 300 bandingkan dengan Indonesia yang ER-nya sebesar 1:30.000. Artinya dari setiap 300 org penduduk Singapura ada terdapat 1 orang enterpreneur yang secara profesional menjalankan usahanya. Dari ketimpangan angka ER antara Indonesia - Singapura pun telah bisa menjadi sebuah indikator mutlak kesenjangan kemajuan & kesejahteraan antara Indonesia - Singapura. Sekedar catatan GDP percapita Singapura saat ini telah mencapai kurang lebih USD 18,000 jauh lebih tinggi (bahkan) dengan negara petro dolar macam Arab Saudi yang (hanya) USD 9,000 dan Indonesia yang hanya sekitar USD 750.
Enterpreneur telah menjadi pilihan hidup bagi kebanyakan masyarakat di negara maju, enterpreneur kini bukan lagi semacam keterpaksaan karena nganggur bertaun-taun dan susah nyari kerjaan akhirnya dilampiaskan ke bisnis ngga karuan yang akhirnya yang didapat hanya penyesalan dan penyesalan belaka. Dari hasil penelitian empirik bisa kita kategorikan 2 macam enterpreneur :
a.Mereka yang kuat di enterpreneurship skill tapi lemah di keahlian ataupun pendidikan akademis kebanyakan hanya akan berkutat di bisnis trading tanpa adanya kemampuan untuk memberikan nilai lebih pada bisnis mereka tersebut.
b.Mereka yang kuat di enterpreneurship skill dan juga mumpuni pada keahlian managerial dan pendidikan akademis cenderung akan berusaha untuk memberikan nilai tambah yang bermanfaat pada bisnis yang mereka jalankan. Contoh : Konsultan SDM, IT, Manajemen, dll.
2. Tren Lokal
=============
Selain adanya megatrend di dunia internasional rupanya spirit of enterpreneur pun telah menjadi sebuah tren lokal di Indonesia, gejala ini bisa kita lihat antara lain :
a.Makin banyak sarjana fresh graduate lulusan S1 yang memutuskan untuk langsung mengambil suatu keputusan besar : Menjadi Enterpreneur
b.Makin banyak eksekutif-eksekutif puncak yang pindah kuadran memutuskan menjadi seorang enterpreneur.
c.Makin banyaknya wahana untuk menjadi seorang enterpreneur baik lewat buku-buku, majalah, forum-forum pembelajaran, seminar, milis-milis di internet yang kesemuanya itu berfungsi sebagai katalis untuk memperpendek ‘learning curve’ menjadi seorang enterpreneur.
* Perbedaan mendasar antara seorang enterpreneur, leader dan manager :
“ Leaders rule the waves, Enterpreneurs use the waves, Managers measure the waves
* Persiapan-persiapan awal yang perlu disiapkan sebelum memutuskan untuk menjadi seorang enterpreneur :
- Kalkulasi segala peluang yang ada
- Persiapan mental
Persiapan mental di sini bahwa kita harus siap untuk gagal pada 2 tahun pertama dan harus siap minimal saving sebesar 1 tahun guna menghidupi keluarga kita.
* Langkah awal untuk menjadi seorang enterpreneur :
1.Cari mitra investor, share holder, top management yang 1 visi dengan kita tapi janganlah sampai kita memberi kesempatan dia untuk ikut terlibat dalam langsung dalam eksekusi.
2.Buatlah PT
3.Mencari kantor yang representatif dengah harga terjangkau
4.Langsung mencari proyek sebagai modal awal perusahaan, bahkan sebelum kantor perusahaan itu siap berdiri.
5.Gali & rebut setiap peluang yang ada
6.Agar perusahaan cepat menjadi besar carilah klien-klien besar
7.Agar bisa bernafas panjang kita haruslah pintar-pintar mengelola sebuah kombibasi terbaik antara proyek (klien) untuk jangka pendek (short term), menengah (middle term), dan jangka panjang (long term)
8. Siapkan segala sumber daya yang ada (resources) yang meliputi : manpower, material, metode, machine, money.
*Tantangan seorang enterpreneur/ potensi-potensi kegagalan menurut hasil survei :
-90% usaha akan bangkrut/mati pada tahun pertama
-Hanya 50% dari 10% yang bertahan pada tahun pertama akan lolos hingga pada tahun ke-3
*Faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan suatu usaha :
- Lack of skills
- Sales problem
- Financial Control
- High Cost of Finance
- Insolvent Customer
- Overheading
- Development
- Marketing Issues
Success’s philosophy from Mas Nukman :
“Gairah yang tidak pernah berhenti untuk selalu berusaha & always be positive thinking”
0 reflection:
Post a Comment