Tuesday, October 12, 2010

Rifki's Autumn's Bicycle..

Sudah hampir seminggu belakangan ini matahari selalu bersinar dengan cerahnya di langit Jerman. Selamat datang musim gugur pertamaku, ucapku dalam hati begitu aku disambut dengan angin kencang dan daun-daun kuning melayang sesaat tiba di Oldenburg Hauptbahnhof. Sampai paling tidak Kamis besok, menurut ramalan cuaca yang sangat akurat ini, matahari akan setia mengawal hari, sebelum dia menghilang ditelan salju beberapa saat lagi.

Siang tadi pun menjadi titik tolak semangatku lagi di kota kecil berpenduduk seratus ribuan ini. Siang tadi adalah makan siang pertamaku bertema Indonesia, akhirnya aku bisa makan siang bareng dengan beberapa warga Indonesia yang juga menetap di Oldenburg. Kami makan ala mahasiswa Jerman pada umumnya karena kami memilih untuk nongkrong di Mensa atau kantin kampus. Aku memilih menu ayam saos dan kentang, cukup 2 Euro saja! Sedikit sekali memang orang Indonesia disini, ngumpulnya pun jarang, paling kalo ada acara makan-makan berkedok pengajian saja, itulah motif paling jamak sebagai ajang silaturahmi.

Semangat itu harus dikuatkan dari dalam hati sendiri kawan, begitulah pelajaran penting yang kutelan selama aku sendiri di kota ini. Self motivated, begitu bahasa kerennya. Jangan salah, sebab kolom self motivated adalah salah satu point penting dalam wawancara beasiswa atau pengisian Curriculum Vitae. Bagaimana kita berdamai dengan tekanan dan berbagai kondisi tidak nyaman yang kita alami, bagaimana kita bisa mengontrol diri agar tidak larut dalam ketidaknyamanan tersebut, begitulah kira-kira intinya. Terus semangat kawan, ketidaknyamanan itu akan hilang jika kau tidak menganggapnya masalah.

Hal baru yang juga jadi penyemangatku adalah sepeda. Bersepeda di OIdenburg ini adalah mayoritas. Semua masyarakat disini dipastikan bisa bersepeda dengan baik dan benar. Selain karena jalur transportasi dalam kota yang tidak se-mapan di kota besar, banyaknya jalan kecil dan jalur sepeda yang eksklusif dan professional juga turut membuat sepeda menjadi barang paling dicari di kota ini. Layaknya mobil mewah di Jakarta atau kota-kota besar di Indonesia, maka sepeda disini bisa kita setarakan sebagai mobil mewah dalam tingkat pemeliharannya. Harga sepeda baru nan canggih bisa mencapai puluhan juta jika dirupiahkan. Tapi aku tak se-gila itu kawan, aku rela menunggu seminggu untuk membeli sepeda bekas di Flohmarkt (pasar loak) tiap sabtu paginya.

Pegasus, begitulah nama sepedaku. Tertera jelas di batang kokoh menuju bulatan rantai gagahnya. Berwarna belang putih metalik dan merah terang membuat kesan garang bagi pengendaranya. Terdapat pegas mini di stang depan dan tempat duduk kekarnya, membuat aku hanya merasakan sedikit saja guncangan jika aku tak sengaja melewati lubang atau mengayuh terlalu kencang, nyaman bukan buatan. Lampu senter untuk syarat bersepeda malam pun sempurna, hanya pindahkan ujung dinamo ke roda sehingga dia ikut berputar mengejar ban dan bergerak menghasilkan energi penerang bagi lampu, canggih!! Itulah manifestasi pemikiran mekanis dan efektif tipikal orang Jerman.

Sistem „drin“ atau kita menyebutnya gigi juga mengejutkan bagiku. Rantai sepedanya tidak bertingkat layaknya sepeda bergigi di Indonesia yang sering kulihat. Sederhana saja, namun setiap kita mengatur dengan ujung tangan layaknya mengendarai Vespa, maka semakin ke atas, kecepatan akan semakin tinggi dan ditandai dengan kayuhan yang semakin berat, begitupun sebaliknya. Apalagi ditambah tanduk minimalis khas banteng jantan Barcelona di kanan-kiri stangnya, mantap sudah! Canggih, efektif, keren dan gagah. Begitulah kiranya aku menyebut tipe sepeda di Jerman ini. Tak rugi rasanya aku menawar sepeda ini dengan kakek berjenggot putih itu sehingga dikorting 10 Euro, dapatlah aku mengayuh sepeda itu langsung dari pasar menuju asramaku, cukup 40 Euro dan 5 Euro untuk gemboknya. Puas hatiku ketika pertama kali mengendarainya. Sepeda adalah resolusi luar biasa bagi kehidupan mahasiswa Eropa. Terkutuklah bagi siapa saja yang dulu ketika kecilnya tidak belajar bersepeda, dan ketika nantinya dia sudah besar bercita-cita untuk kuliah di Jerman, Eropa!

Sepedaku memang sepeda bekas kawan, karena harga sepeda baru di kota ini sama dengan tiket kereta cepat dari Bremen menuju Madrid pulang pergi, ratusan Euro kawan! Lebih baik aku „berjudi“ untuk membeli sepeda bekas dan menjaga sebaik mungkin agar tidak dicuri atau rusak daripada harus membeli baru. Pencurian sepeda di kota ini termasuk kategori kriminal besar kawan, hampir setara dengan kasus korupsi di tanah air kita [ini terlalu hiperbola mungin..hehe]. Sering kulihat di stasiun banyak sepeda tua yang ditinggal begitu saja oleh tuannya. Lucu karena kadang ada sepeda yang tinggal kerangkanya saja, ban-nya sudah tidak ada. Aku baru tau hal unik tadi siang, bahwa kalau mengunci sepeda harus ban belakang, jangan kunci dikaitkan di palang saja, karena ban nya saja pun jadi juga dicuri..haha..

Di Goettingen apalagi, di depan stasiun centralnya seperti TPS (Tempat Pembuangan Sepeda), karena lahan parkir sepeda disana hampir seluas satu lapangan bola, bisa kau bayangkan kawan, lahan seluas itu isinya sepeda berjejer rapat dan konon katanya selalu penuh! Menarik juga adalah setiap tiang atau besi yang ditanam di pinggir jalan adalah halal untuk dijadikan tempat bersandar dan penguncian sepeda kita. Satu yang tidak pastinya, yaitu tiang lampu merah marka jalan...hahaha...bahkan di Goettingen kulihat ada sepeda yang dikunci dengan pohon besar berakar, ah..ada-ada saja!

Jalur sepeda di Jerman selalu ada di setiap kota, pengguna sepeda tidak dinomor duakan seperti di Jakarta. Mereka memiliki hak dan fasilitas setara bahkan dengan pengguna mobil mewah sekalipun. Biasanya jalur sepeda tergabung dengan trotoar, artinya sebelah ujung dekat jalan adalah hak sepeda sedangkan selebihnya adalah jatah pengguna jalan. Perlu perhatikan adalah di Eropa menganut paham kanan bagi pengguna jalan, artinya kita harus berada di lajur kanan untuk berjalan, bukan sebaliknya seperti di Indonesia. Satu hal penting pun aku baru tau tadi, bahwa ketika kita berada di jalur kiri jalan dan ingin berjalan melawan arah, kita tidak boleh mengayuh sepeda melainkan harus menenteng dan ikut berjalan, karena itu bukan jalur kita. Aku baru „ngeh“ ketika tadi melawan arah dan semua pesepeda yang berpapasan melihatku dengan tajam, lucunya [lebih tepat beruntung] lagi aku melewati kantor polisi tadi, untung saja polisi disini tidak se-iseng polisi tanah air yang memang ada saja yang bertugas mengawasi jalan dan menunggu uang suapan!

Pesepeda di Jerman sudah sadar akan aturan dan sistem. Mereka tidak mengayuh sepedanya dengan pelan, prinsipnya jika mereka berada di jalur yang benar maka lanjut saja, tancap gas! Sebuah filosofi sepeda yang bisa kita terapkan kawan. Bukti anyar terjadi tepat didepan mataku tadi sore, ketika pulang dari apartemen seorang kompatriotku, dipersimpangan jalan tiba-tiba muncul sepeda yang dikayuh sangat kencang karena dia sepertinya mengejar lampu hijau di depannya. Kontan dia memaki keras dan kasar kepadaku yang tiba-tiba muncul di ujung jalan yang bersikuan dengan jalurnya. Ah, tak apalah, begitulah tipikal mereka, hanya ngomong kasar, tapi bukan bertindak kasar. Biarkan saja dan semuanya akan seperti adanya.

Luar biasa kawan, aku mengalami „time setting“ yang sepertinya akan kuingat selalu. Ketika menunggu lampu hijau dipinggir trotoar yang rindang, daun-daun mapple mini kuning muda itu bergoyang dipucuk cabang yang sudah tak kuat lagi digoda angin musim gugur. Perlahan daun-daun uzur itu „hoyong“ dan melayang melewati kepalaku dan akhirnya tergeletak pasrah di trotoar, bergabung dengan jenazah-jenazah mapple mini lainnya yang sudah lebih dulu terkubur dan terinjak ban sepeda atau sepatu winter pejalan kaki, seperti bentangan karpet kuning kemerahan sepanjang trotoar itu dibuatnya. Indah sekali musim gugur kawan, angin laut utara dengan kejinya kadang merampas daun warna-warni indah itu dari cabang-cabang tuannya, tapi kadang pula daun-daun itu menyerah kalah oleh waktu yang memaksanya untuk memperindah bumi Allah ini. Luar biasa kuasa Allah, begitu indah rahmat dan karunia-Nya, semoga kita bisa terus bersyukur!

Selamat musim gugur kawan!
„Life is like riding bicycle, to keep your balance you must keep moving" by: Albert Einstein

Oldenburg, 111010, 21.21..

from : Rifki Furqan's Note


signature

0 reflection:

Post a Comment